BPK Minta Pemerintah Hentikan Pemekaran

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendesak pemerintah agar tak lagi mengusulkan pembentukan daerah baru karena pemekaran berdampak negatif bagi perekonomian. BPK meminta pemerintah mengevaluasi hasil pemekaran terdahulu. Bagaimana APBD mereka, bagaimana proporsi anggaran untuk publik, dan kualitasnya, kata anggota BPK, Baharuddin Aritonang, di kantornya di Jakarta kemarin.

Menurut Baharuddin, meskipun secara teori pemekaran memudahkan pelayanan publik, Pada prakteknya dana publik malah habis terserap untuk dana politik. Maka pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati tak lagi mengusulkan pembentukan daerah baru.

Sebab, dalam praktek, katanya, pemekaran daerah justru menggerogoti keuangan negara. Berdasarkan hasil audit BPK, daerah baru butuh investasi besar karena tak punya aset perangkat pemerintahan dan infrastruktur.

Pemerintah baru lalu menutup kebutuhan biaya dari porsi dana pelayanan publik. Baharuddin mencontohkan pemekaran daerah di Kalimantan Timur. Pembangunan aset daerah membutuhkan duit Rp 900 miliar atau sebesar total anggaran pendapatan dan belanja daerah tersebut.

Persoalan semakin rumit apabila daerah baru lalu menutup kekurangan anggaran dengan berutang. Kasus ini banyak ditemukan dalam hasil audit BPK. Gara-gara membangun gedung baru, pelayanan publik terabaikan, kata mahasiswa program doktoral ilmu hukum tata negara Universitas Gadjah Mada ini.

Anggota Komisi Pemerintahan DPR, Ferry Mursyidan Baldan, mengatakan pemerintah tetap akan memekarkan wilayah. Namun, pembentukan daerah baru itu dilakukan satu hingga dua tahun ke depan karena pemerintah belum punya aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Ferry menganggap berlebihan apabila pembentukan daerah baru dianggap menyerap dana publik untuk kepentingan politik. Apalagi dampak pemekaran bisa dilihat dalam jangka waktu lama. Jakarta saja belum maju setelah 400 tahun berdiri, katanya. Tidak ada daerah baru yang langsung jadi. AGUS SUPRIYANTO | GUNANTO ES

Sumber: Koran Tempo, 27 April 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan