BPK Pertanyakan Fatwa Mahkamah Agung

Badan Pemeriksa Keuangan menilai fatwa Mahkamah Agung tentang pemisahan aset kekayaan negara dengan badan usaha milik negara tidak bisa dijadikan landasan hukum.

Badan Pemeriksa Keuangan menilai fatwa Mahkamah Agung tentang pemisahan aset kekayaan negara dengan badan usaha milik negara tidak bisa dijadikan landasan hukum. Artinya, perusahaan negara yang melakukan pemotongan piutang tetap bisa dianggap merugikan negara.

Anggota Pembina Auditor Utama Badan Pemeriksa Keuangan, Baharuddin Aritonang, mengatakan fatwa tersebut tidak bisa diterima karena melemahkan keberadaan undang-undang. Kedudukan fatwa itu di mana? Kalau sudah ada aturan perundangannya yang jelas, buat apa lagi fatwa itu? katanya kepada Tempo kemarin.

Mahkamah Agung, melalui surat keputusan tertanggal 16 Agustus 2006, menyatakan piutang perusahaan negara tidak dapat disebut sebagai piutang negara. Fatwa itu menanggapi surat yang diajukan Menteri Keuangan pada 26 Juli 2006 tentang revisi Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005. Dengan fatwa tersebut, pengelolaan aset badan usaha milik negara mengacu pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas

Baharuddin mengatakan fatwa tersebut diperlukan jika terjadi kekosongan hukum. Tapi sekarang sudah ada Mahkamah Konstitusi yang mengambil ruang itu, ujarnya.

Menurut dia, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebutkan keuangan negara yang dipisahkan tetap merupakan keuangan negara yang harus diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Sehingga, kata Baharuddin, pemotongan piutang oleh bank-bank negara tetap bisa dianggap sebagai kerugian negara jika Badan Pemeriksa Keuangan menemukan ada penyimpangan prosedur. Selain itu, kerugian negara bisa dilihat dari apakah kredit yang dipotong merugikan negara atau tidak. Tapi, yang jelas, fatwa MA tidak bisa digunakan sebagai dasar hukum, katanya.

Namun, ahli hukum Erman Rajagukguk tidak sependapat dengan Baharuddin. Dia menilai bank-bank negara tetap bisa melakukan pemotongan piutang karena kekayaan negara sudah dipisahkan. Pemotongan itu tergantung kebijakan bank-bank tersebut, ujarnya kepada Tempo kemarin.

Erman menjelaskan kekayaan perusahaan negara yang telah menjadi perusahaan publik merupakan kekayaan badan hukum tersendiri. Artinya, kata dia, pemotongan piutang belum tentu merugikan negara. Karena keputusan rugi atau tidak itu tergantung rapat umum pemegang saham, katanya.

Pengamat perbankan Ryan Kiryanto juga pernah mengungkapkan bahwa bank-bank negara masih sangsi bisa melakukan pemotongan piutang. Sebab, dia menambahkan, ada kontroversi, apakah mungkin revisi sebuah peraturan pemerintah bisa mengalahkan undang-undang yang hierarki kekuatan hukumnya lebih tinggi. AGUS SUPRIYANTO

Sumber: Kompas, 25 September 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan