BPK Siap Audit Harta Soeharto

Banyak tambang emas yang bisa menjadi obyek audit.

Badan Pemeriksa Keuangan siap membantu Komisi Pemberantasan Korupsi mengaudit aset milik Soeharto untuk mengusut dugaan korupsi Presiden Indonesia kedua itu.

Kalau diminta, kami senang sekali membantu mereka kata Anwar Nasution, Ketua BPK, di Jakarta kemarin.

Sejauh ini, Anwar melanjutkan, lembaganya belum memiliki bukti audit yang menunjukkan Soeharto melakukan korupsi. Sebab, audit yang telah dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan hanya berfokus pada 12 yayasan yang dikelola Soeharto. Padahal, di luar yayasan-yayasan itu, banyak pintu masuk bagi BPK untuk membuktikan korupsi Soeharto. Banyak tambang emas pada masa dia berkuasa yang bisa menjadi obyek audit.

Tambang emas tersebut antara lain berada di sektor kehutanan, PT Pertamina, dan bank-bank milik negara. Kami bisa mengaudit itu, kata Anwar.

Selain itu, ada celah yang bisa digunakan untuk menyeret Soeharto ke pengadilan, yaitu penyalahgunaan kekuasaan. Misalnya, kata Anggota BPK, Baharuddin Aritonang, Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1996 tentang pembuatan mobil nasional untuk mendukung proyek milik Hutomo Tommy Mandala Putra. Program mobil nasional tersebut merugikan negara. Ada pajak yang tidak dibayar ke negara, kata Baharuddin.

Taufiequrachman Ruki, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, menolak mengomentari pernyataan Anwar. Saya no comment, katanya kemarin.

Sebelumnya, dia menyatakan, lembaganya dapat mengambil alih kasus korupsi dari kejaksaan jika ada hambatan dari pemerintah, lembaga yudikatif, atau parlemen (Koran Tempo, 16 Mei).

Sejumlah lembaga pemantau korupsi menyambut baik hal tersebut. Itu langkah bagus dan saya kira patut didukung, kata Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia, tadi malam.

Dia menyatakan Komisi bisa mengambil alih kasus Soeharto dari kejaksaan jika surat ketetapan penghentian penuntutan penguasa Orde Baru itu melukai kepentingan umum dan tidak sesuai dengan program pemberantasan korupsi. Ini harus dilakukan dan bisa dilakukan.

Komisi juga berwenang mengusut kasus korupsi, selain kasus 12 yayasan, yang melibatkan Soeharto tersebut tanpa harus mendapat persetujuan presiden atau pemerintah.

Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia Agung Hendarto berpendapat Komisi tidak bisa sendirian saja menuntaskan kasus-kasus hukum yang melibatkan Soeharto. Karena masalah yang terjadi sangat banyak.

Lembaga tersebut lebih baik berfokus pada kasus korupsi, sedangkan penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. AGUS SUPRIYANTO | SUTARTO | YOPHIANDI | DIMAS ADITYO

Sumber: Koran tempo, 18 Mei 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan