BPKP Hanya Cocokkan Data Uang Pengganti; ICW Dorong Dilakukan Audit Investigasi

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman mengaku, bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP dalam memverifikasi atau mencocokkan data uang pengganti perkara korupsi yang ditangani kejaksaan dibutuhkan karena itu menyangkut masalah keuangan. Kejaksaan tidak ahli dalam masalah keuangan.

Selain itu, uang pengganti perkara korupsi yang ditangani kejaksaan tersebar di ratusan kejaksaan negeri (kejari) di daerah. Itu kan sulit, kata Kemas di Kejagung, Jakarta, Senin (27/8).

Kemas juga memastikan, audit uang pengganti di kejaksaan sudah dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dengan demikian, BPKP tak akan mengaudit lagi. BPKP hanya membantu kejaksaan untuk mendeskripsikan, mana data yang benar dan data yang masih salah. Diperkirakan, proses verifikasi uang pengganti yang melibatkan BPKP dan Bagian Pengawasan itu akan membutuhkan waktu satu bulan.

Sabtu lalu di Magelang, Jawa Tengah, Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan akan meminta bantuan BPKP untuk mengaudit dana pengganti dari terpidana kasus korupsi. Hal itu diperlukan untuk memperoleh data lebih akurat tentang uang kerugian yang harus disetorkan kepada negara (Kompas, 26/8).

Saat itu Hendarman juga menyampaikan, masih ada dana pengganti sekitar Rp 4 triliun yang belum dibayar ratusan terpidana korupsi di Indonesia. Dana itu hingga kini masih terus ditagih oleh kejaksaan. Hendarman juga membantah tuduhan adanya uang pengganti yang raib di tangan kejaksaan.

Senin, beberapa anggota BPKP bertemu Kemas di Gedung Bundar Kejagung. Menurut Kemas, pertemuan itu membahas langkah teknis BPKP dalam memverifikasi data uang pengganti. Rencananya, BPKP menggunakan perwakilan di daerah untuk memverifikasi data di kejari.

BPKP membantu menertibkan kalau ternyata datanya tidak tertib. Menurut kami kan sudah baik semua, ujar Kemas.

Ditanya apakah permintaan bantuan BPKP untuk memverifikasi data uang pengganti berkaitan dengan jabatan Hendarman Supandji sebelumnya sebagai Ketua Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang beranggotakan polisi, jaksa, dan anggota BPKP, ia pun menyangkalnya.

Emerson Yuntho, Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch, malah mendorong BPK untuk melakukan audit investigasi di kejaksaan terkait data uang pengganti itu.

Itu daripada diverifikasi ulang oleh BPKP, katanya. Audit investigasi penting untuk mengetahui dugaan korupsi. (idr)

Sumber: Kompas, 28 Agustus 2007
------------
Tenggat Verifikasi Uang Pengganti Satu Bulan
Kejaksaan diminta lebih terbuka.

Kejaksaan Agung menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memverifikasi uang pengganti. Verifikasi ditargetkan bisa selesai dalam satu bulan. Untuk menjernihkan masalah uang pengganti, kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman di Gedung Bundar Kejaksaan Agung kemarin.

Verifikasi akan dilakukan pada kejaksaan di seluruh Indonesia. Nanti BPKP akan gunakan perwakilannya di daerah untuk memverifikasi data itu (uang pengganti), kata Kemas.

Upaya ini, kata Kemas, untuk menindaklanjuti pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supandji di Magelang pada pekan lalu yang mempersilakan BPKP membantu menyelesaikan masalah uang pengganti.

Kejaksaan membutuhkan bantuan BPKP karena berkaitan dengan masalah keuangan. Kami kan bukan ahli masalah keuangan, ujar Kemas. Saat ini kejaksaan dan BPKP masih membahas bagaimana pelaksanaan teknis untuk melakukan verifikasi tersebut.

Pada Kamis lalu, Jaksa Agung Hendarman Supandji memerintahkan semua kejaksaan tinggi mendata kembali jumlah denda dan uang pengganti hukuman ini.

Ketua BPKP Didi Widayadi mengatakan pihaknya sudah bertemu dengan Jaksa Agung. Intinya Kejaksaan Agung harus terbuka, proaktif ketika dibantu oleh BPKP, kata Didi.

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat pada 2005 yang telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan, jumlah uang pengganti yang tercatat dalam rekening Kejaksaan Agung sebesar Rp 6,9 triliun. Jumlah dana tersebut tersebar dalam sejumlah rekening.

Menurut Kemas, hasil verifikasi BPKP ini nantinya akan diperbandingkan dengan data yang sudah dimiliki kejaksaan.

Kemas mengaku selama ini kejaksaan mengalami kendala dalam penagihan uang pengganti. Kendala itu tidak hanya karena terpidana tidak sanggup membayar (seperti Dicky Iskandardinata) atau yang melarikan diri, seperti Sujiono Timan dan Bambang Sutrisno. Namun, ada pula yang disetorkan ke departemen lain. Ia mencontohkan kasus uang pengganti terdakwa Probosutedjo sebesar Rp 100 miliar yang disetorkan ke rekening Departemen Kehutanan untuk reboisasi.

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution, meminta Kejaksaan Agung lebih membuka diri terhadap audit BPK. Keterbukaan diperlukan agar pihak terkait lebih memiliki dasar untuk mengambil tindakan terhadap masalah itu. Budi Saiful Haris | Rini Kustiani

Sumber: Koran Tempo, 28 Agustus 2007
---------------
Kejagung Buka Pintu Auditor
Mulai Kemarin, BPKP Verifikasi Uang Pengganti Korupsi

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mulai menyelidiki dugaan adanya ketidakcocokan data uang pengganti korupsi yang masuk ke kas negara. Sebagai langkah awal lembaga audit itu kemarin mendatangi Kejaksaan Agung.

Utusan BPKP langsung bertemu Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk membicarakan teknis memverifikasi pembayaran uang pengganti terpidana kasus korupsi di seluruh kejaksaan se-Indonesia. Hari ini (kemarin) merupakan pertemuan awal yang akan ditindaklanjuti. Dan, untuk memverifikasi uang pengganti, tadi disepakati BPKP akan menggunakan (kantor) perwakilannya di daerah-daerah, kata JAM Pidana Khusus (Pidsus) Kemas Yahya Rahman di gedung Kejagung.

Sebelumnya, BPKP sempat mengeluh saat para auditor masuk kejaksaan. Itu karena aparat jaksa di daerah dan pusat mempersoalkan wewenang BPKP dan BPK yang tumpang tindih dalam mengaudit. Keluhan BPKP itu diungkapkan Didi Widayadi, kepala BPKP, saat bertemu Wapres Jusuf Kalla. Kalla sendiri langsung meminta kejaksaan transparan.

Polemik uang pengganti kerugian negara itu berawal dari perbedaan data setoran di Kejagung, BPK, dan Departemen Keuangan (Depkeu). Adanya perbedaan itu diungkapkan sejumlah anggota DPR.

Kejaksaan sempat menyebutkan, ada rekening mata anggaran khusus yang dibuka untuk setoran uang pengganti. Namun, setelah dicek, rekening khusus tersebut ternyata milik Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan nama mata anggaran pendapatan atas denda administrasi perolehan bea hak atas tanah dan bangunan.

Data di Kejagung, JAM Pidsus Kemas Yahya Rahman membeberkan, total uang pengganti yang ditangani kejaksaan Rp 10,704 triliun dan USD 5.500. Dari jumlah itu, Rp 2,568 triliun sudah dibayar terpidana, Rp 1,114 triliun dijalani dengan penjara, dan Rp 78,530 miliar dilimpahkan ke bagian perdata dan tata usaha negara (Datun) untuk digugat perdata. Sedangkan yang belum tertagih Rp 6,969 triliun dan USD 5.500.

Dari data audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), total uang pengganti yang belum tertagih oleh kejaksaan seluruh Indonesia Rp 6,667 triliun. Rinciannya, uang pengganti yang ditangani kejaksaan bernilai total Rp 5,314 triliun dengan jumlah perkara 227. Uang pengganti yang dilimpahkan ke Datun untuk digugat perdata senilai Rp 1,353 triliun dari 107 perkara.

Kemudian, Depkeu, sebagai bendahara negara, belum mengeluarkan data resmi berapa uang pengganti negara yang sudah diterima. Tapi, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengakui masih ada perbedaan persepsi data antara Kejagung dan Depkeu, terutama soal uang pengganti dan uang sitaan.

Adanya perbedaan itulah yang membuat presiden dan wakil presiden memerintahkan BPKP mengaudit kejaksaan. Hendarman sendiri juga mempersilakan BPKB masuk kantornya.

Menurut Kemas, pelibatan BPKP untuk menindaklanjuti pernyataan jaksa agung yang menyilakan lembaga audit tersebut membantu menjernihkan polemik uang pengganti. Kami membutuhkan BPKP karena kejaksaan bukan ahli keuangan, jelas mantan kepala Kejati Jambi itu.

Kemas menegaskan, BPKP tidak melaksanakan tugas audit, tetapi sekadar memverifikasi uang pengganti. Sebab, BPK telah rutin mengaudit uang pengganti. Dalam memverifikasi, BPKP akan menyelesaikannya dalam tempo satu bulan. Dan, saya kira lebih cepat, lebih baik, bebernya.

Ditanya bagaimana jika temuan BPKP berbeda dengan data uang pengganti di Kejagung, Kemas mengatakan, semua diserahkan kepada jaksa agung. Kami juga akan membandingkan data kami dengan yang ditemukan BPKP, jelas mantan Kapuspenkum di era Jaksa Agung MA Rachman tersebut.

Kemas menegaskan, data uang pengganti di Kejagung sebenarnya sudah baik dan tidak ada masalah. Meski demikian, jika ada yang meragukan, kejaksaan tentu menyambut positif. Kami juga merasa terbantu dengan verifikasi BPK. Sebab, ini akan ikut menertibkan uang pengganti di seluruh kejaksaan, jika memang ada yang tidak tertib, jelasnya.

Di tempat terpisah, pengamat hukum Indriyanto Senoadji mengatakan, upaya BPKP ikut memverifikasi uang pengganti merupakan langkah lebih baik daripada membentuk lembaga tertentu yang bertugas menampung uang pengganti. Sebab, pembentukan lembaga tersebut dikhawatirkan menjadi ladang korupsi baru. Ditangani aparat saja masih menimbulkan polemik, apalagi ditangani lembaga khusus, jelas Indriyanto kemarin.

Menurut Indriyanto, selama proses verifikasi uang pengganti, kejaksaan di daerah harus terbuka. Sebab, mutlak dibutuhkan kejujuran aparat kejaksaan dalam penyetoran uang hasil korupsi tersebut. (agm)

Sumber: Jawa Pos, 28 Agustus 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan