Buku Pelajaran dalam Bantuan Operasional Sekolah

Bantuan operasional sekolah yang akan digulirkan tahun ini akan ditambah komponen satu buku pelajaran untuk setiap murid senilai Rp 20 ribu. Total dana yang disepakati pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebesar Rp 800 miliar. Sedangkan untuk daerah yang nilai ujian nasionalnya rendah, buku pelajaran gratis yang disediakan sebanyak dua buah.

Adanya niat baik pemerintah dan DPR untuk membantu orang tua murid tentu mesti disambut positif. Soalnya, walau berfungsi menunjang proses belajar-mengajar, buku pelajaran justru dianggap sumber masalah bagi orang tua murid. Hasil riset Indonesia Corruption Watch pada 2005 memperlihatkan buku pelajaran menempati urutan ketiga pungutan paling memberatkan pada tingkat sekolah dasar negeri di Jakarta, Garut, Semarang, dan Kupang.

Namun, ada beberapa catatan agar kebaikan tersebut tidak malah diterima birokrasi pendidikan atau orang yang tidak berhak. Soalnya, dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan buku pelajaran yang melimpah sangat menarik banyak orang untuk ikut menikmati.

Pertama, kejelasan penerima. Dasar pemberian buku pelajaran hanyalah asumsi, baik jumlah murid maupun besaran harganya. Dalam pertemuan dengan DPR, pemerintah merevisi jumlah murid yang tadinya diasumsikan 45 juta menjadi 40 juta, sedangkan nilai buku tiap murid diasumsikan Rp 20 ribu. Benarkah data tersebut? Agak keterlaluan apabila pemerintah tidak mampu mengetahui jumlah murid di Indonesia. Namun, melihat mudahnya penggantian angka, seperti yang dilakukan dalam pertemuan dengan DPR, kita patut curiga.

Sebab, peluang terjadinya kesalahan dalam penghitungan jumlah murid penerima dana buku pelajaran sangat terbuka lebar. Misalnya, dalam panduan BOS yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama, ada satu klausul yang menyatakan sekolah kaya (mapan) yang mampu secara ekonomi yang saat ini memiliki penerimaan lebih besar dari dana BOS mempunyai hak untuk menolak. Masalahnya, apakah pemerintah telah memasukkan sekolah yang berpotensi menolak dalam asumsi di atas?

Kesalahan dalam penghitungan jumlah murid akan diikuti kesalahan dalam penentuan alokasi dana. Satu juta saja berubah, negara akan dirugikan setidaknya Rp 10 miliar. Jika digunakan asumsi hasil riset Indonesia Corruption Watch, dana tersebut setidaknya bisa digunakan untuk menggratiskan seluruh biaya buku pelajaran bagi 500 ribu murid SD.

Kedua, kecukupan dana. Dalam riset yang dilakukan Indonesia Corruption Watch, buku yang dibeli oleh murid tidak sedikit. Untuk satu mata pelajaran setidaknya mesti disediakan tiga buah: buku pelajaran pokok, buku penunjang, serta buku latihan (lembar kerja murid). Semakin banyak buku yang dibeli, semakin besar pengeluaran orang tua murid. Ambil contoh pada tingkat SD, total biaya yang dikeluarkan untuk membeli buku rata-rata Rp 205.673 setiap tahun.

Sedangkan dana yang disediakan pemerintah untuk buku pelajaran BOS hanya Rp 20 ribu. Walaupun niat awal pemerintah adalah membantu, dampaknya tidak akan terlalu berarti dalam meringankan beban orang tua murid. Itu pun kalau diasumsikan dananya tidak dikorupsi.

Ketiga, teknis proses pengadaan buku. Setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2005 mengenai buku teks pelajaran, sekolah dalam bentuk apa pun dilarang menjual buku kepada murid. Model pengadaan bergantung pada asal dana. Apabila dana bersumber dari masyarakat, masing-masing diberi kebebasan mencari buku pilihannya. Sedangkan jika dana bersumber dari negara, digunakan model block grant--pengadaan diserahkan langsung kepada sekolah. Rencananya, BOS buku pelajaran akan memakai cara yang kedua.

Namun, kedua pola tersebut mudah disiasati. Caranya dengan mengarahkan sekolah atau murid membeli buku dari penerbit tertentu. Jika dana berasal dari masyarakat, sekolah (kepala sekolah) yang menjadi aktor. Murid diharuskan membeli buku dari penerbit yang sudah memiliki perjanjian kerja sama dengan sekolah. Sedangkan bila yang digunakan uang negara, biasanya pejabat dinas yang menjadi pelaku. Sekolah diarahkan untuk membeli buku dari rekanan mereka.

Penyimpangan pengadaan buku pelajaran lewat BOS mungkin akan menggunakan pola kedua. Buku yang dibeli sekolah adalah hasil rekomendasi dinas. Ini berarti sangat dimungkinkan buku pelajaran yang digunakan sekolah di tiap-tiap daerah akan seragam. Selain itu, dipastikan munculnya persaingan tidak sehat antarpenerbit untuk memperebutkan rekomendasi dari dinas atau sekolah.

Keempat, keterlambatan pencairan dana. Walau sudah memasuki tahun ajaran baru, pemerintah masih disibukkan dengan berbagai masalah mendasar. Misalnya penentuan buku pelajaran yang akan digunakan dan ketidakcocokan nilai BOS buku pelajaran dengan harga buku di pasar.

Badan Standar Nasional Pendidikan, yang ditugasi melakukan seleksi buku bermutu, misalnya, mengaku tidak diajak berbicara oleh pemerintah, sehingga belum dapat menentukan buku yang layak dibeli sekolah. Begitu pula Ikatan Penerbit Indonesia, yang menganggap harga buku BOS sebesar Rp 20 ribu lebih kecil dibandingkan dengan harga buku yang sudah direkomendasikan Badan Standar Nasional Pendidikan.

Kejadian tahun lalu bisa terulang. Proses pengucuran dana BOS terlambat. Akibatnya, banyak sekolah yang menerima dana setelah tiga bulan proses belajar-mengajar berjalan. Artinya, penyebaran buku akan terlambat pula sehingga manfaat yang didapat murid menjadi berkurang. Malah bukan tidak mungkin buku yang dibeli sudah tidak bisa digunakan.

Mudah-mudahan Departemen Pendidikan Nasional, yang dibayar mahal oleh rakyat, telah mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan tersebut. Mudah-mudahan.

Ade Irawan, Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch dan Sekretaris Koalisi Pendidikan

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 28 Juli 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan