BUMN dan BUMD Badan Publik

Perdebatan keras proses legislasi RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) antara Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR RI dan pemerintah yang diwakili Departemen Informasi dan Komunikasi (Depkominfo) terfokus pada pendefinisian apa yang disebut sebagai badan publik. Kemudian, lembaga-lembaga semacam apa yang masuk dalam kategori badan publik.

Sofyan Djalil, Menkominfo saat itu, bersikeras bahwa BUMN bukanlah badan publik. Alasannya, BUMN sudah diatur tersendiri oleh rezim ekonomi melalui berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, misalnya UU PT, UU Pasar Modal, dan UU Rahasia Dagang.

Di dalam berbagai peraturan tersebut juga sudah ada kewajiban bagi BUMN untuk membuka informasi kepada pemegang saham dan melaporkan kondisi keuangan hasil audit melalui media massa.

Dikhawatirkan, seandainya BUMN termasuk ke dalam badan publik, dalam pengertian bahwa publik dapat mengakses informasi seluas-luasnya, persaingan usaha menjadi tidak sehat.

Banyak hal rahasia dalam kalkulasi bisnis yang bisa diketahui pihak lain. Demikian kira-kira argumentasi Depkominfo sehingga BUMN harus dikeluarkan dari definisi badan publik.

Konsep
Untuk membongkar justifikasi-justifikasi tersebut, kita bisa mulai membedahnya dari konsep badan publik yang dianut RUU KMIP. Paling tidak, ada tiga kriteria dasar yang berlaku parsial sebuah institusi dapat dikategorikan sebagai badan publik. Pertama, menggunakan anggaran negara dan atau anggaran daerah.

Kedua, penyelenggara negara yang tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan penyelenggaraan negara.

Ketiga, pihak-pihak lain yang bukan penyelenggara negara, akan tetapi mendapatkan anggaran dari negara atau anggaran daerah maupun yang mendapatkan dana dari sumbangan masyarakat atau sumber luar negeri, termasuk LSM dan partai politik.

Merujuk pada konsep badan publik di atas, sejatinya BUMN dan BUMD masuk kategori badan publik karena menggunakan anggaran negara dan atau anggaran daerah. Meski orientasi yang dibangun BUMN dan BUMD adalah mengejar laba, dana yang digunakan untuk menjalankan aktivitas bisnisnya diperoleh dari anggaran negara.

Apa yang disebut sebagai anggaran negara atau keuangan negara sudah diatur tersendiri di dalam UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Dalam pasal 1 UU itu disebutkan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Lebih lanjut, UU Keuangan Negara mengatur tentang ruang lingkup keuangan negara yang meliputi hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman. Serta, kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga, penerimaan negara, pengeluaran negara, penerimaan daerah, pengeluaran daerah, kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah, kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum maupun kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Jelas
Dengan demikian, semakin jelaslah bahwa perusahaan negara atau daerah termasuk dalam definisi keuangan negara sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara. Perusahaan negara juga menjadi bagian dari badan publik sebagaimana konsepsi dalam RUU KMIP itu sendiri.

Selain itu, BUMN/BUMD perlu dimasukkan sebagai badan publik karena fakta menunjukkan bahwa praktik bisnis di perusahaan negara dan daerah sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sudah bukan rahasia umum selama ini perusahaan negara dijadikan sebagai sapi perah untuk kepentingan politik.

Dari catatan ICW, selama kurun waktu 2006, BUMN dan BUMD merupakan sektor yang tinggi angka korupsinya. Di luar kalangan eksekutif (69 kasus), BUMN dan BUMD menempati posisi kedua dengan jumlah kasus mencapai 49.

Tanpa diikuti kewajiban untuk membuka akses seluas-luasnya kepada publik untuk melakukan pengawasan, BUMN dan BUMD akan terus digerogoti korupsi. Tak ayal, berita mengenai BUMN dan BUMD yang terus merugi adalah ongkos mahal yang harus dibayar seandainya BUMN dan BUMD tidak diwajibkan membuka akses informasi kepada publik.

Langkah pemerintah untuk menerapkan Good Corporate Governance (GCG) saja tidak cukup. Sebab, GCG hanya akan dapat bekerja di saat lingkungan BUMN dan BUMD steril dari kepentingan di luar bisnis.

Sebaliknya, ketika pemilihan direksi BUMN dan BUMD masih ditentukan dan diintervensi kelompok politik tertentu dan saat kalangan profesional kehilangan kesempatan mengelola BUMN dan BUMD secara mandiri, GCG merupakan konsep di atas kertas yang menemui jalan buntu.

Karena itu, jika ada batas-batas atas akses publik nantinya, hal tersebut masih bisa diterima. Pertimbangannya tentu saja berkaitan dengan informasi mengenai desain bisnis, formulasi usaha, hak cipta, dan hal-hal lain yang bersentuhan langsung dengan persaingan usaha. Sebab, meski ada batas-batas yang kemudian dilanggar, mekanisme sengketa informasi telah disediakan melalui Komisi Informasi yang akan menilai laik tidaknya informasi itu diberikan.

Yang harus diingat, dalam bisnis BUMN dan BUMD, terdapat berbagai macam kegiatan yang berada di luar konteks persaingan usaha, namun potensi korupsinya tinggi. Sebut saja, misalnya, pengadaan barang dan jasa yang menjadi wilayah paling rawan untuk dikorupsi. Di luar itu, kegiatan semacam penjualan aset BUMN dan BUMD yang juga tidak luput dari praktik korupsi.

Kasus seperti penjualan saham yang merugikan Perusahaan Gas Negara (PGN) karena ditengarai penuh rekayasa untuk memperkaya beberapa gelintir pihak merupakan justifikasi faktual bahwa BUMD ataupun BUMD harus bisa diawasi publik.

Dengan demikian, kerugian yang timbul dari kegiatan usaha BUMN dan BUMD bisa dilihat apakah disebabkan kegiatan bisnis murni yang penuh dengan resiko. Atau, kerugian itu diakibatkan perbuatan direksi dan komisaris yang melanggar hukum sehingga dapat diproses melalui dugaan tindak pidana korupsi.

Terakhir, meski BUMN telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, hal itu hanya membatasi keterbukaan perusahaan negara pada pemiliknya, yakni pemegang saham. Sementara itu, RUU KMIP memperluas keterbukaan BUMN dan pertanggungjawabannya sampai ke ranah publik. Pada dasarnya, keuangan BUMN dan BUMD merupakan bagian dari keuangan negara yang tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban publik.

Adnan Topan Husodo, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 19 Juni 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan