Buruk Muka Tetap Dibela

Panitia Kerja Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah DPR menyimpulkan bahwa pemberantasan korupsi yang melibatkan anggota DPRD dan kepala daerah dilakukan dengan dasar hukum yang tidak tepat, diskriminatif, mengkriminalisasi kebijakan daerah, dan mengarah pada skenario deparpolisasi.Karena itu, dalam rekomendasi yang disampaikan kepada publik, Panitia Kerja mendesak Presiden merehabilitasi dan memulihkan nama baik anggota DPRD dan kepala daerah.

Rabu, 11 Oktober 2006
Opini

Rekomendasi itu tentu mengejutkan karena keluar dari ruang Komisi II dan Komisi III DPR, yang notabene merupakan tempat pemberantasan korupsi seharusnya mendapat dukungan politik besar. Sayangnya, kekuatan itu justru digunakan untuk mengintervensi sekaligus mengerdilkan upaya penegakan hukum korupsi. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan politikus daerah nyatanya tidak digunakan sebagai cermin untuk berbenah diri, tapi justru untuk menyalahkan proses penegakan hukumnya.

Yang sangat disayangkan, rekomendasi itu tidak mengarah pada upaya perbaikan dan peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum dalam menangani korupsi, tapi lebih menonjol sebagai upaya untuk menghentikan proses hukum korupsi atas politikus daerah. Padahal desakan untuk menghentikan proses hukum korupsi merupakan bentuk nyata dari adanya intervensi politik. Tekanan politik semacam ini tentu saja telah menjadi ancaman serius bagi usaha-usaha yang dilakukan untuk menegakkan hukum, sekaligus dapat mengendurkan semangat pemberantasan korupsi.

Proteksi politik demikian sebenarnya merupakan skenario panjang yang telah diupayakan politikus Senayan dalam beberapa waktu terakhir. Dalam rapat dengar pendapat Komisi III DPR dengan Kejaksaan Agung, misalnya, agenda utama yang menjadi perhatian serius (baca: isu favorit) anggota komisi adalah kasus korupsi DPRD. Hal itu berlanjut dengan permohonan kepada Mahkamah Agung agar mengeluarkan surat edaran yang intinya supaya pengadilan menolak kasus korupsi yang berkaitan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000.

Ditilik dari kesimpulan-kesimpulan yang ditarik Panitia Kerja Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah DPR yang berujung pada kesimpulan demikian, ada beberapa hal yang perlu dikritik secara lebih mendalam. Pertama, penggunaan dasar hukum yang tidak tepat dalam memproses kasus korupsi DPRD/kepala daerah. Memang tidak keliru jika Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tidak lagi digunakan sebagai dasar untuk menjerat anggota DPRD/kepala daerah karena telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Namun, yang harus diingat, korupsi yang melibatkan DPRD/kepala daerah tidak melulu sekadar pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000, tapi sangat beragam dan multidimensi.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, ada beberapa modus yang biasanya terjadi dalam kasus ini, dari penggelembungan (markup) anggaran, pendapatan ganda (anggaran dobel), rekayasa sumber penerimaan yang ilegal (mengada-adakan sumber penerimaan), dan pengeluaran fiktif. Dari berbagai modus tersebut, pelanggaran Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 hanyalah satu dimensi, di samping pelanggaran hukum lain yang berkaitan dengan aturan keuangan negara ataupun prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, memanfaatkan isu pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 untuk menghentikan proses hukum terhadap para anggota DPRD/kepala daerah sangat tidak relevan dengan konteks hukumnya.

Kedua, diskriminasi hukum. Harus diakui bahwa proses hukum kasus korupsi, khususnya yang berhubungan dengan korupsi DPRD, kental dengan nuansa diskriminasi. Namun, diskriminasi ini harus dipandang dalam konteks keadilan masyarakat, yakni ketika para koruptor diberi kekhususan penanganan dibandingkan dengan pelaku kejahatan lain. Tidak mengeksekusi anggota DPRD yang telah dinyatakan bersalah dan mendapatkan putusan tetap (in kracht) merupakan kebijakan diskriminatif. Tidak memproses secara adil semua pelaku korupsi APBD juga diskriminatif.

Namun, penyikapan politik dengan meminta pembersihan nama baik anggota DPRD/kepala daerah akibat perlakuan diskriminatif aparat penegak hukum merupakan agenda yang telah keluar dari visi pemberantasan korupsi. Sebaliknya, penyikapan politik secara demikian tak lebih dari upaya untuk melindungi politikus daerah dari jangkauan hukum, dengan berlindung di balik kewenangan mengawasi penegakan hukum yang dimiliki anggota DPR. Seharusnya, ketika praktek diskriminasi terjadi, DPR secara konsisten mendesak aparat penegak hukum menjerat semua pelaku yang terlibat.

Ketiga, kriminalisasi kebijakan publik. Yang harus dipahami, korupsi terjadi karena ada kewenangan dan kekuasaan yang disalahgunakan. Dalam proses pembuatan kebijakan publik, praktek korupsi diselundupkan. Dalam proses pembuatan kebijakan publik pula, kepentingan-kepentingan sangat mempengaruhi. Tidak mungkin perbuatan korupsi lahir tanpa beralaskan kebijakan. Dalam keputusan pengadaan barang/jasa yang dilakukan dengan penunjukan langsung, terkandung dimensi korupsi. Dalam keputusan proyek yang dilakukan menjelang tutup tahun, tersembul dimensi korupsi.

Pendek kata, kebijakan tidak akan pernah steril dari kepentingan koruptif sehingga kerap melahirkan kebijakan koruptif. Hal ini akan menjadi urusan aparat penegak hukum jika kemudian ditemukan kerugian negara yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut, apalagi jika secara nyata pejabat yang bersangkutan diuntungkan dari kebijakan yang telah dibuatnya. Pertanyaannya kemudian: di mana kriminalisasi kebijakan publik itu dilakukan?

Keempat, deparpolisasi. Dalam penggunaan isu deparpolisasi pada kasus korupsi DPRD/kepala daerah, justru terkuak kepentingan sebenarnya atas agenda Panitia Kerja Penegakan Hukum dan Pemerintah Daerah DPR. Seharusnya anggota DPR melihat bahwa pelaku korupsi yang tengah diproses secara nyata adalah para politikus, bukan pegawai birokrasi atau swasta. Menjadi terkesan sangat masif karena praktek korupsi itu dilakukan secara beramai-ramai/bersama-sama. Jika ada pemimpin partai politik yang dipenjara karena korupsi, yang perlu diingat, pada saat diproses hukum, posisinya adalah sebagai pejabat publik, bukan pemimpin partai politik.

Tiadanya etik politik dalam sistem politik di Indonesia pada akhirnya memang membawa kegagalan untuk memisahkan secara tegas pejabat publik dengan elite politik. Tiadanya pemisahan itu membawa risiko adanya kesan deparpolisasi atas pengusutan kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik yang secara kebetulan merupakan pemimpin partai politik atau elite politik. Membenahi institusi politik yang rawan dari praktek korupsi agaknya jauh lebih visioner dibanding mempersoalkan anggota DPRD yang diproses hukum.

Adnan Topan Husodo, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 11 Oktober 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan