Calon Hakim Agung Akui Terima Honor dari Pemerintah Daerah

Calon hakim agung I Ketut Suradnya membenarkan bahwa dirinya menerima honor dari Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan. Honor itu diberikan karena dia menduduki posisi sebagai Penasihat Musyawarah Pimpinan Daerah. Saya menerima itu, kata Suradnya ketika menjalani uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung di gedung Dewan Perwakilan Rakyat kemarin.

Menurut Suradnya, yang saat ini menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar, honor itu diterima setiap bulan sejak Agustus 2003. Awalnya Rp 4,25 juta, tapi sejak Januari lalu menjadi Rp 6 juta. Pemberian ini sesuai dengan surat keputusan gubernur yang telah disepakati dewan perwakilan rakyat daerah. Saya tidak merasa ini korupsi, karena pemberiannya sudah disetujui wakil rakyat, ujarnya lagi.

Anggota Komisi Hukum DPR, Benny Kabur Harman, mengecam pemberian honor itu. Politikus dari Partai Demokrat ini menilai pemberian itu akan mempengaruhi independensi institusi pengadilan. Semua orang tahu perkara tata usaha negara pasti berkaitan dengan pemda, katanya. Karena itu, bagaimana mungkin pengadilan bisa memberikan keputusan yang adil jika hakimnya menerima honor dari pemerintah daerah.

Selain menguji Suradnya, Komisi Hukum juga melakukan fit and proper test terhadap tiga calon lainnya, yakni Khalilurrahman (Ketua Pengadilan Tinggi Agama Semarang), Komariah E. Sapardjaja (pengajar di Universitas Padjadjaran), dan Mahdi Soroinda Nasution (hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Bandung).

Dalam kasus Khalilurrahman, anggota Dewan menyoroti masalah gelar master yang disandang Ketua Pengadilan Tinggi Agama Semarang ini. Sebab, gelar itu diperoleh dari Jakarta Institute of Management Studies, perguruan tinggi yang sudah dinyatakan melakukan praktek jual-beli gelar. Saya belajar di situ karena kangen dengan suasana keilmuan, kata Khalilurrahman saat dimintai klarifikasinya soal gelar master of bisnis administration yang disandangnya.

Khalilurrahman membantah jika dikatakan gelar itu diperoleh secara ilegal. Sebab, dia selalu mengikuti perkuliahan setiap minggu. Apalagi Khalilurrahman tidak tahu Jakarta Institute sudah dimasukkan ke blacklist oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Setahu saya, institut itu hanya belum ada izinnya, katanya. Rini Kustiani - TNR

Sumber: Koran Tempo, 4 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan