Calon Hakim Agung Tidak Ingat UU MA

Hasril Hertanto : Kemampuan calon Hakim Agung sangat menyedihkah

Jakarta, 10 Mei 2007 (Antikorupsi.org)KY mulai Kamis, 10 Mei 2007 hingga Selasa, 15 Mei 2007 menggelar wawancara terhadap 16 calon hakim agung.Sebanyak 16 calon hakim agung yang tersisa itu terdiri atas sepuluh hakim karir dan enam non karir.

Sepuluh calon yang berlatar belakang hakim karir adalah Hakim Tinggi Pengawas MA Abdul Wahhid Oscar, Ketua TUN Makassar I Ketut Suradnya, Ketua PT Agama Semarang Khalilurrahman, Hakim Tinggi PT Bandung Mahdi Soroinda Nasution, Ketua PT Manado M Zaharuddin Utama, Wakil Ketua PT Lampung Mohammad Saleh, Ketua PT Agama Pekanbaru Mukhtar Zamzami, Ketua PT Kendari R Bukaidi Zulkifli, Panitera MA Satri Rusad, dan Wakil Ketua PT Palembang Suparno.

Sedangkan enam calon yang berasal dari non karir adalah Staf ahli Menkumham Bidang Pengembangan Budaya Hukum Achmad Ubbe, Lektor Kepala Fakultas Hukum Universitas Mataram Anang Husni, Mulyoto yang berprofesi sebagai Notaris di Boyolali, Resa Bayun Sarosa yang berprofesi sebagai advokat di Probolinggo, pensiunan Jaksa Robert Sahala Gultom, dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Sudjito. Pada Kamis (10/5), KY menggelar wawancara terhadap empat calon, yaitu Abdul Wahid Oscar, Achmad Ubbe, I Ketut Suradnya, serta Anang Husni.

Calon hakim agung dari kalangan hakim karir, Abdul Wahid Oscar, yang mendapat giliran pertama dalam wawancara harus tergagap di depan tujuh anggota Komisi Yudusial (KY) saat ditanya soal UU Mahkamah Agung dan UU Kekuasaan Kehakiman. Oscar menjawab tidak bisa mengingat nomor dan tahun kedua UU tersebut.

UU MA nomor berapa? Dan kalau UU Kekuasaan Kehakiman nomor berapa? tanya Wakil Ketua KY Thahir Saimima. Oscar yang telah 39 tahun berkarir menjadi hakim itu menjawab, UU MA nomor empat atau lima, kalau UU Kekuasaan Kehakiman saya tidak begitu ingat, maaf.

Thahir pun segera mengoreksi jawaban Oscar, UU MA itu Nomor 5 Tahun 2004, sedangkan UU Kekuasaan Kehakiman No 4 Tahun 2004. Oscar yang saat ini menjabat hakim tinggi pengawas di Mahkamah Agung (MA) hanya terdiam mendengar jawaban Thahir itu.

Saat Achmad Ubbe mendapat giliran wawancara. Oleh anggota KY Soekotjo Soeparto, Ubbe ditanya soal rumahnya yang terlihat paling mencolok di antara tetangganya di Kompleks Perwira Polri Pulogadung, Jakarta Timur. Ubbe menjelaskan, ia menempati rumah itu karena fasilitas yang didapat oleh istrinya yang seorang perwira menengah di kepolisian.

Menurut dia, karena ia dan istrinya sama-sama bekerja, maka mampu untuk mendandani rumah itu sehingga terlihat berbeda dari para tetangganya. Ia menjawab, pekerjaan istrinya di bidang logistik Polri tidak ada sangkut pautnya dengan renovasi tempat tinggalnya.Ubbe yang berlatarbelakang peneliti dan mendalami hukum pidana sebelum bekerja sebagai staff ahli Menkumham Bidang Pengembangan Budaya itu memiliki kekayaan Rp1,354 miliar.

Calon hakim agung dari non karir yang menjalani tes wawancara di KY kemarin adalah Kepala Fakultas Hukum Universitas Mataram Anang Husni dan Ketua Pengadilan Tinggi (PT) TUN Makassar, Sulawesi Selatan.Anang mengaku lebih baik dipenggal kepalanya dan dilempari comberan daripada harus mengikuti suatu keputusan yang tidak sesuai dengan keyakinannya.

Anggota KY bertanya apakah ia bersedia apabila nantinya saat menjadi hakim agung diminta oleh Ketua MA untuk membebaskan terdakwa yang bersalah.Saya akan jelaskan yang sebenarnya bagaimana. Lebih baik dipancung kepala saya daripada membebaskan terdakwa yang bersalah, ujarnya.

Namun, Anang yang terlihat tegang selama wawancara lebih banyak terdiam saat ditanya soal teknis yuridis. Sedangkan I Ketut Suradnya saat wawancara mengaku, meski ia menjabat Ketua PT TUN dan menjadi ketua majelis hakim saat menangani perkara, ia pernah mengalami pendapat minoritas saat musyawarah majelis hakim dan mengeluarkan pendapat berbeda (diisenting opinion).

Kedudukan kita sebagai hakim sama, tidak bisa memaksa, ujarnya. Suradnya yang memiliki kekayaan Rp 306 juta itu mengaku menerima pendapatan bulanan dari Pemda Sulawesi Selatan sebesar Rp4,25 juta setiap bulannya.

Uang itu, menurut dia, diperoleh sebagai penasehat Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida), bersama dengan jajaran penasehat muspida lainnya seperti Ketua Pengadilan Tinggi, Kepala Kejaksaan Tinggi, dan Kapolda. Meski menerima uang dari Pemda setiap bulannya, Suradnya mengaku hal itu tidak mempengaruhinya dalam memutus perkara yang melibatkan Pemda.Lagipula, kebetulan perkara-perkara Pemda yang selama ini ada sudah benar, sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, katanya.

Sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan seperti YLBHI, LBH Jakarta, MAPPI FH UI, LeIP, Kontras, dan ICW tampak hadir memantau proses wawancara yang dilakukan pada hari pertama seleksi. Hasril Hertanto dari MAPPI FH UI yang sejak awal hadir dalam acara tersebut menyatakan kekecewaanya terhadap kualitas para calon.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan