Campur Tangan Politik Sebabkan Korupsi di Pengadilan

Korupsi di pengadilan disebabkan dua faktor, yakni adanya campur tangan politik oleh eksekutif maupun legislatif dan adanya praktik suap yang inisiatif terbesar berasal dari lingkungan pengadilan. Akibatnya, keadilan bukanlah hak pencari keadilan, tetapi putusan hakim yang harus dibeli oleh pencari keadilan.

Hal itu diungkapkan Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis saat membacakan laporan korupsi global 2007 di Kantor TII, Jakarta, Kamis (31/5). Transparency International, sebuah koalisi global antikorupsi, memilih tema korupsi dalam sistem peradilan sebagai tema dari Global Corruption Report 2007.

Hal itu berangkat dari survei Transparency International sebelumnya yang mengungkapkan, lebih dari 25 negara, setidaknya satu dari sepuluh keluarga, harus membayar suap demi mendapat keadilan di lembaga peradilan. Di 20 negara lainnya, 3 atau lebih dari 10 keluarga melaporkan bahwa uang merupakan bagian dari usaha mendapatkan keadilan di persidangan. Khusus untuk Indonesia, angka yang diperoleh lebih tinggi, bisa jadi 5-7 dari 10 keluarga pencari keadilan harus membayar suap demi mendapat keadilan di lembaga peradilan.

Bahkan, berdasarkan indeks persepsi korupsi Indonesia 2006, inisiatif suap justru paling banyak berasal dari pihak pengadilan.

Akibat korupsi di pengadilan ini, korban yang paling banyak adalah rakyat miskin karena putusan keadilan ternyata harus dibeli oleh pencari keadilan, kata Todung.

Transparency International mengategorikan dua kelompok korupsi peradilan, yakni campur tangan politik oleh lembaga eksekutif dan legislatif maupun penyuapan.

Kewenangan Komisi Yudisial

Berdasarkan laporan dari 32 negara yang dimuat dalam Global Corruption Report, sebagian hakim dapat disuap untuk memperlambat atau mempercepat proses pengadilan, menerima atau menolak permintaan banding, memengaruhi rekan sesama hakim, atau sekadar menjatuhkan putusan tertentu.

Sebagian staf pengadilan meminta bayaran untuk pelayanan yang seharusnya bebas biaya. Sebagian pengacara juga meminta bayaran lebih untuk mempercepat atau memperlambat kasus ataupun menginformasikan nama-nama hakim yang dapat disuap kliennya, kata Todung.

Untuk itu, lanjut Todung, TII meminta agar kewenangan Komisi Yudisial (KY) dipulihkan kembali. Diperlukan langkah-langkah yang strategis untuk melakukan pengawasan terhadap para hakim. Salah satunya adalah membuka pintu pengawasan yang melibatkan masyarakat. Jadi tidak hanya dilakukan MA, tetapi yang lebih penting memberdayakan KY untuk mengawasi para hakim, katanya.

Todung menambahkan, bagaimanapun KY telah berhasil membangun budaya kontrol yang membuat hakim lebih hati-hati. Dengan dipangkasnya kewenangan KY belum lama ini oleh MK, tak ada lagi pengawasan terhadap hakim. Oleh karena itu, kewenangan KY harus kembali diperluas dengan merevisi UU. (vin)

Sumber: Kompas, 2 Juni 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan