Cermin Korupsi Terstruktur

Tak perlu ragu mengatakan Indonesia adalah sarang koruptor. Tapi, bukan seperti Singapura atau negara lain yang menyimpan atau menjadi tempat persembunyian koruptor dari negara asing (termasuk Indonesia), negeri ini dengan ikhlas menyimpan dan melindungi koruptor pribumi.

Siapa pun sulit melacak koruptor pribumi di negeri ini karena tentu saja mereka tahu seluk-beluk buminya. Mulai bagaimana jenis sistem pengaman kekayaan negara, seperti apa alur pengaliran dana yang paling mungkin dan paling aman untuk dikorupsi, di mana tempat negara menyimpan harta yang pantas dijadikan sasaran empuk korupsi, hingga di mana tempat bersembunyi setelah berhasil membungkam mulut birokrasi dengan sekelumit uang yang baru dirampok. Sebab, mereka adalah bagian dari sistem, pengaman, dan birokrasi itu.

Meski mereka sangat dekat dengan masyarakat, bahkan walaupun mereka wakil rakyat yang nyaris selalu tampil di surat kabar, aparat tetap saja sulit menciduknya. Sangat sukar mengurai benang kusut perkorupsian Indonesia. Mengapa? Sebab, korupsi di negeri ini benar-benar terorganisasi dengan rapi dan diolah di prosesor atau otak-otak orang cerdas. Banyak orang atau pejabat tinggi berpengaruh yang terlibat sehingga penelusuran kasusnya tersendat-sendat. Banyak pula koruptor yang memiliki hubungan baik atau ikatan emosional dengan para penyidik.

Gampangnya begini, bagaimana jika ayah atau teman karib kita koruptor, tegakah kita melaporkannya? Mungkin kita tega, tapi pasti melalui perenungan yang lama. Keputusan yang ingin kita buat macet-macet, akhirnya belum tentu kita menjebloskan mereka.

Mengapa? Sebab, rantai korupsi di bumi pertiwi sambung-menyambung di antara orang-orang di sekitar pelaku. Uang haram tadi juga turut mengalir ke kantong orang-orang terdekat di sekeliling. Menjebloskan pelaku sama saja menceburkan diri ke meja hijau. Siapa mau berurusan dengan pengadilan? Lebih baik duduk manis dan tutup mulut sama-sama.

Kasus korupsi akbar yang menimpa lembaga negara tidak kali ini saja terjadi. KPU, DAU, sekarang DKP, dan tampaknya akan terus bertambah mengingat mulai tercium aroma korupsi di tubuh mantan Dubes Indonesia untuk Malaysia akhir-akhir ini. Adakah di antara kita yang menyangka Nazaruddin Sjamsuddin dan Mulyana W. Kusumah adalah koruptor? Atau adakah yang menyangka Said Agil Munawar, ternyata, tersandung kasus penggelapan uang rakyat atas nama dana abadi umat. Dana sumbangan dari orang naik haji!

Bahkan, seorang kiai pun silap mata melihat harta. Lalu, apa yang akan terjadi kepada orang-orang yang tak begitu paham tentang agama? Uang memang bisa membutakan segala mata. Uang bisa membuat orang kaya lupa pada kekayaannya sehingga menganggap diri miskin dan terus mengeruk kekayaan dengan cara apa pun. Bagi orang miskin, uang adalah tujuan utama yang harus dicari dan digapai dengan cara apa pun.

Manusia mana yang tak tergiur dengan uang? Saat berhadapan dengan uang, tak sedikit manusia yang berubah seperti sapi dicocok hidungnya. Terlebih jika uang itu adalah uang haram. Mereka secara serempak dan kompak berusaha menutupi keharaman tersebut.

Hampir pasti, seluruh anggota DPR atau pejabat yang turut menerima aliran dana DKP sanggup mengembalikan uang negara yang jumlahnya tak seberapa bagi ukuran orang pemerintahan itu. Namun, tak akan ada yang mau mengaku. Sebab, selain ditunggu pintu penjara, mereka telah dinanti pandangan miring masyarakat. Mereka merasa lebih baik bohong daripada mengaku telah menelan uang haram, lalu dicap sebagai orang yang memalukan.

Sabtu lalu, dalam sebuah acara ceramah agama yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta, Ustad Anwar Sanusi berkata bahwa negara menyiapkan tiga macam rumah untuk pejabatnya. Rumah dinas, rumah sakit, dan rumah tahanan.

Mantan pejabat sekaliber presiden pun, paling tidak, pernah merasakan rumah macam kedua yang tak seorang pun di dunia ini memimpikan menginap di sana dalam keadaan seperti mantan presiden tadi. Beberapa mantan pejabat lain pernah merasakan semua macam rumah tersebut. Hal itu menandakan bahwa pejabat di negeri ini, sebenarnya, rawan dengan penyakit, terutama penyakit pikiran, yaitu stres dan terali besi.

Namun faktanya, banyak calon pejabat yang bersedia mempertaruhkan sangat banyak uang demi sebuah jabatan. Berkampanye mengumbar janji ke sana-ke mari yang belum tentu ditepati. Dia sendiri belum tentu jadi.

Beberapa waktu lalu terdengar kabar bahwa seorang bakal calon gubernur menghabiskan ratusan juta untuk pencalonannya, meski akhirnya gagal. Bayangkan, jika pada awalnya telah mengeluarkan uang terlampau banyak, siapa mau rugi? Semua pasti mencari kembaliannya, yang tentu lebih besar. Maka, korupsi pun terjadi lagi untuk mengembalikan modal kampanye sang pejabat.

Untuk mempertahankan jabatannya di kemudian hari, dia bisa jadi kembali menyuap orang-orang penting yang kiranya mampu ikut mempertahankan kursi kekuasaan. Mungkin, falsafah ini pula yang melatarbelakangi seorang saudara kita yang dituntut enam tahun penjara itu membagi-bagikan dana DKP pada tim sukses pemilu dan banyak anggota DPR.

Sebuah kata mutiara diungkapkan sang maestro, Muhammad bin Abdullah, bahwa fakir (kemiskinan) sangat dekat dengan kufur (kesesatan). Jika kita kembangkan, yang beliau maksud fakir tentu tidak hanya diartikan sebagai fakir secara material, namun juga mental dan spiritual. Saat mental seseorang diguncang uang, sementara tabung spiritualnya turut terlena oleh harta, miskinlah fondasi iman, lalu dia pun tersesat.

Rio Febriannur Rachman, mahasiswa Sastra Inggris Unesa Surabaya

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 3 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan