Cermin Pemberantas Korupsi Tak Efektif

Kini sudah ada dua lembaga yang bertekad memberangus korupsi di Indonesia. Selain lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa waktu lalu Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) membentuk Tim Koordinasi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor) melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2005. Timtastipikor ini merupakan tim gabungan yang terdiri atas unsur kepolisian, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Diakui atau tidak, terbentuknya Timtastipikor itu semakin menutup ruang gerak para pelaku korupsi. Sebab, di samping Timtastipikor, ada Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan luas dan sangat khusus. Kewenangan yang dipegang KPK, misalnya, dapat menangkap dan menyidik dugaan tindak korupsi.

Bahkan, KPK dapat membuka kembali penyidikan dugaan korupsi yang sudah dihentikan penyidikannya. Tidak hanya itu, KPK bisa mengambil alih penyidikan dugaan tindak pidana korupsi yang sedang ditangani pihak kejaksaan atau kepolisian jika dianggap sangat perlu.

Dari sini timbul pertanyaan, mungkinkah Timtastipikor bisa efektif memberantas korupsi di Indonesia? Atau terbentuknya Timtastipikor di samping KPK justru menimbulkan permasalahan baru?

Dalam pandangan penulis, terbentuknya Timtastipikor tersebut merupakan cermin tidak efektifnya lembaga-lembaga penegak hukum dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia. Sebab, koordinasi antarlembaga penegak hukum masih lemah.

Lemahnya koordinasi itu merupakan salah satu indikator terbentuknya Timtastipikor, yakni berupaya merekatkan kembali cita-cita pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertanyaannya kemudian, akankah kewenangan Timtastipikor tumpang tindih dengan kewenangan yang dipegang KPK?

Dalam Keppres No 11/2005, Timtastipikor memiliki kewenangan sebagai berikut, pertama, audit aset Sekretariat Negara dan yayasan-yayasannya, sekretaris kabinet, sekretariat presiden, dan wakil presiden. Kedua, pencegahan dan pemeriksaan penyimpangan dalam pengadaan barang di seluruh departemen, BUMN, DPR, MPR, DPD, BPK, MK. Ketiga, pencegahan penyimpangan dalam pembangunan rekonstruksi Aceh. Keempat, pencegahan penyimpangan pengadaan pembangunan infrastruktur skala besar dalam lima tahun mendatang.

Kelima, proses hukum terhadap dugaan korupsi dan penyimpangan di BUMN, departemen pemerintah, swasta, dan lembaga independen. Keenam, mencari dan menemukan para terpidana dan tersangka korupsi yang melarikan diri ke luar negeri. Ketujuh, intensitas pemberantasan illegal logging, terutama arsitek dan penyandang dananya. Kedelapan, investigasi terhadap pembayar pajak dan cukai 2004, dengan prioritas 500 orang pembayar paling atas dengan nominal Rp 5 miliar lebih.

Di antara delapan tugas pokok Timtastipikor tersebut, yang harus diperhatikan adalah koordinasi antarlembaga. Artinya, Timtastipikor harus lebih mengefektifkan kerja sama dengan lembaga lain, seperti BPK, KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Ombudsman Nasional, dan sebagainya. Bila koordinasi antarlembaga itu lemah, akan timbul masalah yang bisa mengganggu kinerja antarlembaga. Misalnya, persaingan untuk berebut lahan penanganan tindak pidana korupsi atau persaingan tidak sehat karena semua berpeluang untuk menjadi yang terbaik. Akibatnya, antarlembaga yang berwenang menangani perkara korupsi tidak saling bekerja sama, melainkan saling bersaing. Itu merupakan sebuah ironi yang harus dihindari.

Saat ini saja, kesan persaingan antarlembaga penegak hukum amat terasa, terutama antara kejaksaan dan kepolisian, khususnya dalam menangani perkara tindak pidana korupsi. Timbulnya persaingan atau berlomba-lomba untuk memberantas korupsi antarlembaga pada dasarnya tidak menjadi masalah. Sebab, dengan begitu, kejaksaan ataupun kepolisian akan ramai-ramai mencari para pelaku tindak korupsi.

Namun, jika dalam persaingan tersebut sudah mengandung hal yang tidak produktif, persaingan itu justru menjadi penghalang pemberantasan korupsi di Indonesia.

Misalnya, kejaksaan tidak serius mendakwa para pelaku korupsi dengan ancaman hukuman yang berat atau memberikan peluang lolosnya pelaku dari bui setelah menerima perkara korupsi yang ditangani kepolisian. Karena itu, kian banyaknya institusi yang berwenang menangani korupsi harus disertai pula dengan pengaturan kerja sama serta pembagian kewenangan yang jelas.

Tanpa itu, pemberantasan korupsi menjadi sangat birokratis, berliku-liku, dan tersangka berpeluang lolos dari jeratan hukum karena penanganannya tidak taktis dan tidak efisien.(A. Hamied Razak, mahasiswa Fakultas Syari

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan