Cicak Versus Beruang
TERANG benderang kepanikan DPR dengan terkuaknya banyak kasus yang menjerat politikus, tercermin dengan model klarifikasi, konsultasi, keluh kesah, bahkan ancaman untuk membubarkan KPK. Operasi pelemahan KPK akan terus dilakukan. Berawal tahun 2009 dari pernyataan Kabareskrim (waktu itu) Susno Duadji yang mengibaratkan KPK sebagai cicak dan Polri sebagai buaya. Kemudian, menyusul kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.
Poros-poros kekuasaan terus berupaya melemahkan KPK melalui berbagai cara, mulai desain kualitas draf RUU Tipikor yang buruk guna mengebiri kewenangan KPK, hingga menggulirkan wacana pembubaran KPK sebagaimana dilontarkan Fahri Hamzah (PKS) dalam sidang DPR. Sesi ini adalah kompetisi cicak versus beruang. Sebelumnya, Marzuki Alie (Ketua DPR, Partai Demokrat) juga melontarkan wacana pembubaran KPK.
Beruang, binatang buas berbulu tebal, senang makan madu, memiliki penglihatan dan pendengaran yang kurang peka, serta kaku dalam penampilan. Tapi jangan berpikir ia lamban. Ia dapat berlari 48 kilometer per jam dan memanjat pohon meski tubuhnya besar. Tulisan ini hendak meletakkan beruang sebagai simbol komunitas berduit, yang tidak memedulikan bagaimana cara memperolehnya.
Lontaran dari Fahri Hamzah, dari partai yang mengusung slogan jujur, peduli, bersih, dan profesional terasa mengagetkan. Terlebih dia mengklaim ikut membidani kelahiran KPK. Pada titik ini seyogianya ia membuka kembali semangat yang mendasari lahirnya KPK dan siapa yang kukuh memperjuangkan.
Sejarah mencatat bahwa kelahiran KPK bukan dari suprastruktur politik melainkan murni dari arus bawah, diawali gerakan LSM bersama masyarakat menuntut terbentuknya Tim Pemberantasan Korupsi, yang kemudian lahir Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) pada 23 Mei 2000. Delapan dari 25 anggota TGPTPK adalah dari elemen LSM. Insititusi ini tidak berumur panjang karena gugatan para tersangka korupsi yang berujung dibubarkan tim itu pada 8 Agustus 2001.
Selanjutnya LSM mendesak pemerintah dan parlemen untuk membentuk lembaga antikorupsi yang lebih permanen, dan kemudian lahir sebagai KPK. Masyarakat dan LSM memfokuskan upaya pembuatan kerangka hukum yang kuat bagi KPK dan pengadilan khusus korupsi. Ironisnya, para pembuat kebijakan tidak menunjukkan ketertarikan dan lebih memilih mengandalkan lembaga-lembaga penegak hukum konvensional.
Hal ini tidak mengherankan karena banyak politikus dan pejabat diduga terlibat korupsi sehingga mereka khawatir lembaga antikorupsi baru tersebut akan secara langsung mengancam kepentingan mereka. Namun di bawah tekanan kuat yang terus-menerus dari masyarakat sipil, DPR akhirnya sepakat membentuk KPK.
Bangkit Kembali
Sungguhpun demikian, saat itu kebanyakan politikus Senayan ingin agar KPK memiliki kewenangan terbatas, hanya berfokus pada penuntutan tersangka tanpa wewenang untuk penyadapan, penyelidikan, dan penyidikan (Budi Setiyono, 2010). Dalam kerangka memperkuat suara mereka, tahun 2001 LSM membentuk Advokasi untuk Komisi Anti Korupsi (AKAK). Tujuannya bukan semata memastikan bahwa lembaga ini segera dibentuk, tetapi juga embaga itu harus memiliki kewenangan komprehensif untuk memerangi korupsi, karena aparat konvensional tidak akan pernah dapat memotong akar dan rantai korupsi.
Dengan memahami semangat dan sejarah kelahiran KPK maka wacana yang digulirkan oleh Fahri Hamzah bukan saja merupakan langkah mundur dengan mengandalkan penegak hukum konvensional melainkan lebih dari itu dia telah sesat sejarah. Benar yang dikatakan Bung Karno bahwa jangan sampai melupakan sejarah, dan ucapannya itu terkenal dengan Jasmerah.
Penting pula dicermati bahwa skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2010 adalah 2,8. yang berarti satu kelas dengan negara Benin, Bolivia, Gabon, Kosovo dan Solomon Islands, di urutan 110. Indonesia kalah dari negara tetangga seperti Singapura (9,3), Brunei Darussalam (5,5), Malaysia (4,4), dan Thailand (3,5).
Meski potretnya masih buram, patut disyukuri karena ada peningkatan dibanding tahun 1999 yang IPK-nya 1,7. Indonesia bersama Azerbaijan, Kamerun, Ethiophia, Liberia, dan Uzbekistan adalah negara-negara nomor 6 terkorup. Dengan kondisi ini, wacana dari komunitas beruang perlu diwaspadai, dan cicak perlu kembali bangkit melawan sebagaimana ketika berhadapan dengan buaya.
Skor IPK tahun 2010 sama dengan tahun 2009 berarti pemberantasan korupsi masih jalan di tempat karena serangan yang tiada lelah dari komunitas beruang dan teman-temannya yang terus mencari bentuk, ujung-ujungnya korupsi jalan terus: corruption as usual. (10)
Oleh Mahfudz Ali
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 8 Oktober 2011