Dana DKP ke DPR, Usut via Perspektif Ganda

Dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) selama Rokhmin Dahuri menjadi menteri telah menyeretnya ke meja hijau dengan dakwaan korupsi. Rokhmin dituntut hukuman enam tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain pidana penjara, Rokhmin dituntut membayar denda Rp 200 juta subsider empat bulan penjara (Jawa Pos, 28/6/2007).

Seharusnya, tidak hanya Rokhmin yang dihukum atas kasus dana DKP itu. Sebab, berdasar catatan, aliran dana DKP mensyaratkan tidak hanya pengumpul dana yang dihukum, namun juga aliran dana DKP, khususnya yang melibatkan elite politik, pemegang kekuasaan, parpol, tim sukses, dan para calon presiden, termasuk anggota DPR.

Perlu diketahui, banyak dana nonbujeter DKP yang mengalir ke parlemen (DPR). Data terbaru yang muncul ke permukaan, pada era Menteri Freddy Numberi, dana yang masuk ke DPR mencapai Rp 2,1 miliar. Beberapa anggota DPR yang diduga menerima aliran dana DKP, antara lain, Wakil Ketua MPR A.M. Fatwa, Ketua BK DPR Slamet Effendy Yusuf, mantan Ketua Fraksi PPP Endin A.J. Soefihara, mantan Ketua Komisi III DPR periode 1999-2004 Awal Kusumah, dan kader PKS Fachri Hamzah (Jawa Pos, 20/6/2007).

Anggota DPR tersebut telah diperiksa oleh dua lembaga, yaitu Badan Kehormatan (BK) DPR dan KPK. Dua lembaga yang memiliki kewenangan berbeda. Karena itu, kewenangan masing-masing harus ditegaskan agar yang satu (lembaga etika) tidak meniadakan yang lain (lembaga hukum).

Menerima uang korupsi tentu saja perkara pidana. Bukan semata pelanggaran etika. Dari sudut pandang itu, anggota DPR yang menerima dana nonbujeter tersebut harus diusut dengan perspektif ganda, baik hukum maupun etika.

Pertama, BK DPR terus memeriksa lima wakil rakyat itu. Kemudian, bila dugaan terbukti, mereka dijatuhi hukuman pelanggaran etika yang seberat-beratnya. Yaitu dicopot sebagai anggota DPR. Kedua, tidak tebang pilih, mereka pun harus dibawa ke pengadilan. Anggota DPR bukan makhluk kebal hukum. Lagi pula, mengapa hanya lima orang? Bukankah 38 anggota DPR baik yang masih aktif maupun tidak menjabat lagi yang menikmati dana DKP?

Skandal DKP itu ibarat telor busuk yang sudah pecah, baunya menebar ke mana-mana. Penebar bau busuk itu justru kalangan elite politik dan penguasa, yang selama ini menjadi panutan masyarakat. Mereka yang selama ini selalu bicara mengatasnamakan rakyat dan menganjurkan pentingnya moralitas dan etika.

Maka, wajar jika rakyat mempertanyakan keabsahan rezim reformasi yang berhasil menumbangkan rezim Orde Baru sembilan tahun lalu. Ternyata, ketika diberi kekuasaan, mereka juga bertindak sewenang-wenang dan menyalahgunakan kekuasaan. Bahwa reformasi melahirkan kehidupan yang demokratis memang benar. Tapi, patut disesalkan, pada saat yang sama, reformasi juga melahirkan politisi dan penguasa busuk.

Bukanlah cerita burung bahwa anggota DPR suka menerima uang dalam banyak kesempatan. Namun, itu selalu sulit dibuktikan. Sekarang, fakta itu dibeberkan dalam sidang pengadilan. Kasus dana nonbujeter DKP memang bukan kasus biasa. Ia kasus spektakuler dan skandal masal karena melibatkan elite bangsa. Oleh sebab itu, KPK harus membuktikan diri bahwa dirinya tidak tebang pilih. Selain anggota DPR, publik pun menunggu keberanian KPK untuk juga memeriksa tokoh sekelas Hasyim Muzadi atau Megawati.

Itu belum semuanya. Dana nonbujeter DKP tidak hanya dikucurkan di masa Menteri Rokhmin Dahuri dalam kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri, tapi juga dilakukan Menteri Freddy Numberi dalam kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Oleh sebab itu, agar konsisten, Freddy Numberi pun harus diperiksa dan diadili. Yang jelas, menebar uang korupsi ke banyak kalangan seperti dilakukan Rokhmin Dahuri harus dilihat sebagai sebuah kesengajaan. Harapannya, karena yang menerima dana terbentang luas dari partai hingga pesantren, dari mahasiswa hingga calon presiden, kasusnya akan dipetieskan.

Namun, KPK melakukan sebaliknya. Kasus itu dibawa ke pengadilan, lalu terbongkarlah semua aliran dana yang melibatkan banyak partai dan tokoh. Dan, terjadilah heboh nasional.

Namun, apa perlunya kehebohan itu? Yang perlu dilakukan KPK adalah melangkah tuntas. Yaitu seretlah semua nama ke pengadilan agar membagi-bagikan hasil korupsi secara berjamaah tidak menjadi modus operandi baru untuk menyelamatkan diri.

Semua nama juga harus dituntaskan di pengadilan jika tidak ingin ada preseden bahwasanya sah membagi-bagikan dana nonbujeter asal ada proposal. Itulah kejahatan korupsi yang canggih karena diselimuti rasionalitas kebajikan intelektual.

Joko Riyanto, aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 2 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan