Dari Wawancara Calon Hakim Agung; Achmad Ali Kecewa SMS-nya Diteruskan ke Mana-mana

Calon hakim agung Achmad Ali mengakui bahwa dirinya pernah berkirim pesan layanan singkat atau SMS kepada seorang jenderal guna meminta dukungan agar langkahnya mulus menjadi hakim agung. Adapun Abdulgani Abdullah mengakui menggunakan kendaraan dinas untuk pulang ke Mataram.

Pengakuan ini diungkapkan para calon hakim agung dalam wawancara secara terbuka yang diselenggarakan Komisi Yudisial, Jakarta, Selasa (31/10). Komisi Yudisial selama dua hari melakukan wawancara terbuka terhadap sembilan calon hakim agung. Kemarin, Komisi Yudisial mewawancarai enam kandidat, yakni Achmad Ali, Abdulgani Abdullah, Ahmad Mukhsin Asyrof, Aminuddin Salle, Bagus Sugiri, dan Komariah E Sapardjaja.

Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqqodas mengklarifikasi adanya SMS Achmad Ali kepada seorang jenderal. Kata Busyro, SMS tersebut mengindikasikan Achmad Ali meminta dukungan agar mulus menjadi hakim agung dengan janji Achmad Ali memberikan kompensasi untuk kasus pelanggaran HAM.

Achmad Ali mengakui, dirinya berkirim SMS kepada seorang jenderal yang merupakan teman bermain karatenya. Saya mengirim SMS karena permintaan jenderal itu untuk menjelaskan persoalan yang disebutkan Profesor Mustafa tadi. Saya menyebutkan, very confidential karena itu SMS saya untuk dirinya. Saya kecewa kalau ternyata SMS saya diteruskan ke mana-mana, kata Achmad yang menolak memberitahu identitas sang jenderal.

Sebelumnya, anggota KY Mustafa Abdullah menanyakan dua kasus yang menerpa Achmad Ali. Berkaitan dengan SMS, Achmad Ali menjelaskan, si jenderal itu menanyakan dua kasus yang menimpa dirinya yang kemudian dijawabnya juga melalui SMS. Di akhirnya balasannya, ia mengakui minta dukungan untuk menjadi hakim agung. Namun, Achmad Ali membantah adanya janji memberikan kompensasi bagi kasus pelanggaran HAM. Ia memperkirakan, kalimat itu ditambahkan.

Achmad Ali juga diklarifikasi terkait dengan kasus korupsi yang melilit dirinya. Dia menjelaskan, ada dua kasus, yaitu kasus surat perintah perjalanan dinas dan kasus proyek program pascasarjana hukum kepolisian.

Kalau kasus program pascasarjana hukum kepolisian, saya tidak pernah bertugas di sana, sedangkan kalau SPPD, kami sudah menyerahkan ke tim verifikasi rektorat. Dan, diterima oleh tim verifikasi, ujarnya.

Sementara itu, Abdulgani Abdullah membenarkan kalau ia memakai mobil dinas ke Mataram. Waktu saya menjadi Kepala BPHN, saya melihat mobil dinas eselon II sudah jelek-jelek. Lalu saya mencoba mendapatkan anggaran untuk membeli mobil dinas baru dan disetujui. Kemudian ada acara di Mataram, para pejabat BPHN ke sana juga. Lalu kami sepakat untuk memakai mobil ini ke sana. Saya ke Mataram naik pesawat. Kemudian karena sampai di Mataram, saya kepikiran untuk pulang ke kampung, ternyata mereka tertarik untuk melihat kampung saya. Jadilah kami bersama-sama ke kampung saya, kata Abdulgani.

Adapun Komariah, saat diwawancarai, mengkritik MA tidak banyak menghasilkan putusan yang berbobot. Banyak putusan itu dibuat atas dasar undang-undang bukan yurisprudensi. Padahal, banyak di antara produk undang-undang itu ketinggalan zaman. (JOS/vin)

Sumber: Kompas, 1 November 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan