Denyut Sekarat Jiwa KPK

Oleh Jeremy Mulholland dan Zainal Arifin Mochtar
Ilustrasi: tempo.co/Kendra Paramita

Sejak akhir tahun 2019, Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, telah mengubah secara mendasar wajah KPK. Ujung tombak pemberantasan korupsi yang dulu tangguh dan independen ini kini menjadi lembaga penegak hukum dengan berlapis-lapis pengawasan internal dan eksternal. Anggota stafnya pun kini berstatus aparatur sipil negara.

Kita tahu proses pembuatan aturan itu dipenuhi kepentingan dan manipulasi politik. Dewan Perwakilan Rakyat tak menggubris aspirasi ratusan ribu mahasiswa dan pelajar yang turun ke jalan memprotes revisi undang-undang itu. Harus diakui, KPK bukan “lawan” tangguh untuk menandingi koalisi Presiden Joko Widodo dan partai-partai pendukungnya, terutama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di bawah Megawati Soekarnoputri. Koalisi yang mendominasi kekuasaan eksekutif dan legislatif ini memiliki riwayat permusuhan dengan KPK.

Dalam demokrasi prosedural di Indonesia, salah satu dampak dinamika persaingan intra-elite adalah sulitnya membangun dan mewujudkan konsep ideal anti-korupsi. Konsep ini meniscayakan supremasi hukum dan kemampuan penegak hukum menjinakkan korupsi politik yang telah melembaga.

Karena itu, penangkapan Menteri Sosial Juliari Batubara serta Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo pada akhir 2020 megusik benak banyak orang. Ada yang menilai kasus itu membuktikan KPK masih berjalan efektif dan bisa menindak kasus-kasus besar. Namun ada juga yang skeptis. Mana yang benar?

 

Pola Kinerja KPK yang Memburuk

Untuk pertama kalinya sejak 2008, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun lalu menurun. Fakta ini jelas berkorelasi dengan pelemahan KPK. Pada tahun-tahun sebelumnya pola kinerja KPK yang baik selalu memberikan sentimen positif terhadap indeks tersebut.

Tak bisa dimungkiri, kinerja KPK sendiri memang merosot, di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, yang menjabat Ketua KPK sejak 20 Desember 2019. Ini tampak dari sejumlah indikator: penurunan jumlah operasi tangkap tangan (OTT), turunnya jumlah penyelidikan dan penyidikan kasus, penurunan kualitas kepemimpinan, serta memburuknya komunikasi KPK kepada publik.

Sejak Filri memimpin KPK, hanya ada tujuh OTT pada 2020. Pada 2016-2019, jumlah OTT berkisar antara 18-30 per tahun. Dalam hal penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, saat ini sebagian besar kasus adalah warisan dari KPK kepemimpinan Agus Rahardjo sebelum 2020. Pertambahan jumlah kasus baru melambat secara drastis.

Dari segi penanganan kasus-kasus besar, KPK terlihat pasif membidik megaskandal badan usaha milik negara (misalnya Jiwasraya dan Asabri) serta kasus yang melibatkan konglomerat (misalnya Joko Tjandra). Bahkan KPK mulai terlihat absen membidik penyalahgunaan kekuasaan dan praktik-praktik korup di bidang pertambangan, sumberdaya alam, dan kehutanan. KPK juga menjauh dari upaya penegakan hukum di kepolisian dan kejaksaan. Bisa dibilang saat ini strategi dan peta jalan penanganan korupsi oleh KPK tidak lagi jelas arahnya.

Faktor lain yang tidak bisa kita anggap sepele adalah berubahnya postur dan wajah pegawai yang bekerja untuk KPK. Penataan ulang KPK yang disertai kewajiban mengalihkan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara menjadi faktor krusial melemahnya KPK. Ketika semua pegawainya sudah menjadi aparatur sipil negara, makin besar ancaman atas independensi personel KPK melalui kuasa eksekutif dalam penempatan, promosi dan mutasi para pegawai lembaga itu.

Staf KPK tampak tak nyaman dengan status dan situasi ini. Sejak Firli menjadi ketua, pada Januari-November 2020 saja, sudah ada lebih dari 38 pegawai KPK yang mundur.

 

Perlawanan dalam Kungkungan Politik

Posisi setiap menteri di kabinet Jokowi mencerminkan kesepakatan politik Jokowi dengan partai pendukungnya. PDIP dan Partai Gerakan Indonesia Raya termasuk di antaranya. Karena itu, Wakil Ketua Umum Gerinda Bidang Ekonomi dan Lingkungan Hidup Edhy Prabowo dan Wakil Bendahara Umum PDIP Juliari Batubara mendapat kursi menteri.

Keduanya kemudian menyalahgunakan kekuasaan politik. Edhy mengumpulkan dana informal politik dengan memperkenalkan sistem kuota ekspor benur lobster. Sedangkan Juliari menggelembungkan nilai kontrak pengadaan bantuan sosial, lalu mengutil paket bansos untuk masyarakat miskin yang menghadapi kesulitan di masa pandemi Covid 19. Yang menarik, meski semua anggota koalisi Jokowi pada dasarnya kawan seiring dalam kabinet, bukan berarti mereka tidak berseteru. Semua partai politik pada dasarnya bersaing dalam realitas politik menuju Pemilihan Umum 2024. Selain itu, friksi dan perselisihan partai kian kerap terjadi.

Di Gerindra, misalnya, terjadi “friksi ideologis” antara kubu yang mau oposisi terhadap pemerintah Jokowi dan kubu yang menghendaki Gerindra masuk koalisi. Mereka yang konsisten memilih beroposisi bisa ditandai dari dukungan kepada tokoh ulama kontroversial, Rizieq Shihab. Akibat konflik internal ini, beberapa tokoh terpental dari kepengurusan Gerindra.

Konflik serupa terjadi di lingkup internal PDIP. Perseteruan di dalam kubu Banteng diduga terkait dengan penempatan dan pengisian posisi-posisi kunci di sejumlah lembaga pemerintah, termasuk kursi Kepala Kepolisian RI.

Semua konfik elite inilah yang membuka kesempatan terjadinya pengungkapan sejumlah kasus korupsi seperti yang kita lihat belakangan ini. Cukup didukung satu atau dua Komisioner KPK dan memperoleh restu Dewan Pengawas, tim penyidik KPK bisa membongkar kasus dugaan korupsi Edhy Prabowo di Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan kasus Juliari Barubara di Kementerian Sosial.

Namun gebrakan-gebrakan KPK ini bisa dipastikan tak akan bernapas panjang. Sesaat setelah penyidikan dimulai dan penangkapan diumumkan, berbagai upaya penyempitan lingkup skandal korupsi yang tengah disidik berlangsung dengan cepat. Arah penanganan kasus mulai kabur, seiring dengan langkah-langkah administrasi di tubuh KPK untuk membatasi penanganan perkara di level tertentu saja. Kondisi ini bisa dikaitkan dengan pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan seusai penangkapan Edhy Prabowo. Ketika itu, Luhut seolah-olah menyuarakan ancaman terselubung bagi para penyidik KPK agar memakai rem dan tak memperluas proses penyidikan lagi.

Dalam kasus Edhy dan Juliari, terlihat adanya intervensi dan pembelokan fungsi-fungsi pemanggilan serta interogasi KPK yang bertujuan memutus kasus ke para pelaku kunci. Misalnya, dalam kasus kuota ekspor benur lobster, beberapa nama (seperti Prabowo Subianto, Antam Novambar, dan Fahri Hamzah) yang disebutkan sejumlah media mendapatkan manfaat dari kasus ini terlihat masih dikecualikan dari pemeriksaan lebih lanjut.

Kasus korupsi bantuan sosial setali tiga uang. Hilangnya nama anggota parlemen dari PDIP, Ihsan Yunus, dalam surat dakwaan memperlihatkan kejanggalan proses penegakan hukum. Padahal, dalam gelar perkara KPK, Ihsan jelas mengirim operator untuk menerima dana korupsi tersebut. Hilangnya nama Ihsan dapat memutus rantai perkara ke Ketua Komisi Hukum DPR Herman Hery. Belum lagi jika ditarik ke sebutan Madam yang dianggap sebagai tokoh kunci dalam kasus tersebut.

 

Kesimpulan

Kerja keras KPK mengekspos beberapa perkara besar belakangan ini tidaklah murni kerja kolektif KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi. Keberhasilan itu merupakan resultan dari beberapa faktor. Salah satu faktor yang penting adalah masih adanya pegawai independen yang mau bekerja dengan semangat pemberantasan korupsi, meski jumlahnya dikhawatirkan terus menyusut seiring dengan kewajiban alih status menjadi aparatur sipil negara.

Sebagaimana pepatah “nasi sudah menjadi bubur”, KPK bisa jadi saat ini sudah menjadi lembaga yang rusak permanen. Pelemahan lembaga ini berbuah kinerja yang ala kadarnya. Dalam kontestasi elite di Indonesia, tumpulnya taring KPK berarti makin sulitnya pembongkaran praktik korupsi dan penegakan hukum jika menyentuh pembesar politik dan bisnis penguasa. Dengan KPK yang “compang-camping”, sulit membayangkan pemberantasan korupsi akan terlaksana dengan baik.

KPK memang masih berdenyut. Tapi itu hanya penanda dia masih hidup meski tengah sekarat. Membiarkan lembaga itu terus melemah pasti berakibat pada makin mandeknya pemberantasan korupsi. Cepat atau lambat, Presiden Jokowi harus menanggung risiko politik yang besar akibat kebijakannya merevisi Undang-Undang KPK lama. Risiko yang bukan tak mungkin bakal menodai kredibilitas dan warisan politiknya.

 

Jeremy Mulholland (@JeremyJeremypm), Peneliti dalam Bidang Pemasaran Bisnis Internasional sekaligus Indonesianis dari Fakultas Ekonomi La Trobe University, Australia

Zainal Arifin Mochtar (@zainalamochtar), Pengajar Ilmu Hukum dan Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Sumber:

https://majalah.tempo.co/read/kolom/162737/kolom-jeremy-mulholland-dan-zainal-arifin-mochtar-soal-nasib-kpk-pasca-revisi-uu

https://www.eastasiaforum.org/2021/03/16/indonesias-corruption-eradication-commission-in-dire-straits/

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags