Detasemen Antikorupsi Kepagian
Di tengah pelbagai serangan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan politikus belakangan ini, ada ide baru untuk mendorong pembentukan Detasemen Khusus Anti-Korupsi. Ide ini mengemuka dengan dukungan kuat dari politikus Senayan berupa janji fasilitas, penguatan, dan dana yang lumayan besar.
Kita perlu menyambut penuh sukacita ide ini sebagai iktikad untuk memberantas korupsi yang lebih serius. Apalagi jika ide itu didatangkan dalam wacana Kepala Polri, yang mengepalai lembaga yang selama ini dianggap gagal memberantas korupsi sehingga menjadi alasan di balik pembentukan KPK pada 2002.
Hanya, ide tersebut terlalu sumir karena nyaris tanpa pemikiran yang matang tentang politik hukumnya. Sekadar menyitir Mahfud Md., politik hukum dapat dimaknai dalam tiga aras: pertama, cetak biru yang matang; kedua, tarik-menarik kepentingan politik dalam penyusunannya; dan ketiga, bagaimana memastikan implementasinya. Dalam hal inilah ide Detasemen Khusus Anti-Korupsi masih jauh dari matang.
Perihal cetak biru, kita belum melihat apa sebenarnya yang diinginkan dengan Detasemen Khusus Anti-Korupsi. Apa dasar hukumnya nanti? Bagaimana bentuk lembaganya? Bagaimana fungsinya? Bagaimana mekanisme kerjanya? Bagaimana relasi dengan lembaga lain? Dan seterusnya.
Itu semua bukan pertanyaan sederhana karena jawabannya akan sangat menentukan kelembagaan detasemen itu. Misalnya, pilihan hukumnya menggunakan undang-undang atau peraturan presiden atau malah peraturan Kapolri? Pilihan menggunakan aturan bukan tanpa konsekuensi karena akan sangat menentukan bentuk kelembagaan serta, jika harus menegasikan atau mengecualikan, menetapkan hal yang telah diatur dengan undang-undang atau peraturan lain.
Mengapa pertanyaan ini muncul karena belum jelas apa yang akan dilakukan oleh detasemen tersebut. Yang baru ada masih seputar pernyataan bahwa Kapolri senantiasa menjanjikan tidak akan mengganggu dan menegasikan peran lembaga yang sudah ada, yakni kejaksaan dan KPK. Lalu ada pula ide yang berseliweran tentang mau menggabungkan fungsi di dalam detasemen ini dengan penuntutan (kejaksaan) dan kerja pendukung lainnya (misalnya Badan Pemeriksa Keuangan). Pada ide ini saja masih akan mendatangkan perdebatan serius, apalagi tatkala ide itu belum ada tapi ujug-ujug sudah membicarakan kemungkinan sokongan dana negara hingga triliunan demi mendorong kerja lembaga ini.
Untuk memperkuat kepolisian dalam menangani perkara korupsi sebenarnya tak perlu membentuk lembaga semacam detasemen khusus. Penguatan fungsi dan personel di unit kepolisian yang selama ini menangani perkara korupsi tetap dapat dilakukan. Ini termasuk penanganan berbagai perkara non-korupsi yang ditengarai terjadi di kepolisian dengan model penanganan koruptif.
Kita semua masih mendengar cerita langsung dari orang-orang yang beperkara di kepolisian yang dimintai dana sangat besar dengan semua tetek bengek pungli. Ini perkara non-korupsi yang ditangani secara koruptif. Masalah tersebut bisa banyak penyebabnya. Bisa karena kualitas aparat yang buruk, gaji yang minim, dan kemungkinan lain, seperti biaya operasional yang kurang. Biaya operasional ini bukan hal sepele. Sebab, dengan ratusan ribu laporan perkara setiap tahun, lemahnya biaya operasional penanganan perkara sering berdampak terhadap kualitas penanganan perkara.
Jika dana triliunan ke detasemen khusus itu bisa terwujud, rasanya lebih baik menggunakan dana tersebut untuk penguatan kelembagaan dan fungsi kepolisian daripada memaksakan pembentukan Detasemen Khusus Anti-Korupsi. Adalah kesalahan besar jika membayangkan sumber korupsi di kepolisian adalah tatkala menangani kasus korupsi. Kasus non-korupsi yang ditangani secara koruptif adalah juga sumber utama korupsi. Maka, ide Detasemen Khusus Anti-Korupsi ini adalah ide yang kepagian di antara sekian tahun masalah kualitas penanganan perkara di kepolisian.
Belum lagi soal mekanisme dan kerja kelembagaannya. Bagaimana mereka akan bekerja dan berkoordinasi dengan lembaga lain akan menjadi pekerjaan rumah yang tidak kalah rumitnya. Bayangkan, bahkan KPK-yang sudah punya kewenangan koordinasi dan supervisi secara kuat-masih tertatih-tatih dalam melaksanakannya karena berbagai faktor aturan maupun praktis. Kita semua paham, perkara korupsi menghadapi tembok besar yang namanya kepentingan. Dalam langgam kepentingan inilah koordinasi dan supervisi itu mudah terbengkalai.
Tentu masih ada banyak pertanyaan lain karena tak jelasnya cetak biru detasemen ini. Padahal "setan datangnya di detail". Detail yang jelas dan baik itulah yang akan menentukan apakah ide ini memang lahir dari pemikiran yang jernih soal pemberantasan korupsi atau malah hanya akan menjadi pengganggu ritme pemberantasan korupsi yang dilakukan kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Zainal Arifin Mochtar, Ketua PuKAT Korupsi Fakultas Hukum UGM