Di Balik Tembok KPK, Mencetak Kultur Baru

Malam sudah larut, waktu sudah beranjak mendekati pergantian hari. Di tengah Jakarta yang mulai terlelap, beberapa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi justru baru saja meninggalkan Gedung KPK yang renta.

Dengan tas ransel punggung, para penyidik yang rata-rata masih berusia sekitar 30 tahun itu menuju sebuah mobil sambil berbincang seru dan saling menggoda rekannya. Mereka hendak pulang bersama. Seorang di antaranya berjalan kaki ke luar gedung berarsitektur Belanda itu, mencari sebuah angkutan umum untuk pulang ke rumah.

Pemandangan itu adalah pemandangan umum yang setiap hari terjadi di KPK. Bila kantor pemerintah lain pada pukul 17.00 sudah mulai sepi ditinggalkan para karyawan dan pejabatnya, Gedung KPK justru nyaris tak pernah sepi. Minimal untuk saat sekarang ini.

Pimpinan KPK pun kerap kali pulang larut malam, sama seperti anak buahnya yang baru pulang saat hari sudah mau berganti. Tak jarang pula, Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean rela tak pulang ke rumah, menunggu anak buahnya menyelesaikan tugas pemeriksaan, terlebih bila sedang terjadi penangkapan.

Anak-anak belum pulang dan masih memeriksa, masak saya tinggal pulang, ujar Panggabean yang juga seorang jaksa.

Mereka tak lagi memusingkan lewatnya batas waktu kerja. Bahkan, mereka pun rela meninggalkan keluarga mereka demi pilihan bekerja di KPK. Bekerja demi sebuah perubahan.

Khaidir Ramly, misalnya, rela meninggalkan keluarganya di Padang, Sumatera Barat, untuk bekerja di KPK. Jaksa yang pernah menyeret bupati aktif Padang Pariaman, Nasrul Sahrul, dan beberapa anggota DPRD Sumatera Barat ke pengadilan ini cuma berpesan kepada putra putrinya di Padang.

Saya ingin negara ini berubah. Sedih rasanya melihat rakyat yang selalu saja miskin, sementara para pejabat begitu kayanya, berganti mobil dengan enak, memiliki rumah banyak. Padahal, rakyat untuk makan saja sulitnya minta ampun, kata Khaidir.

Khaidir memang sosok sederhana. Meski sudah 18 tahun menjadi jaksa, ia tetap hidup sederhana. Hanya rumah BTN yang baru lunas dua tahun lalu dan mobil Toyota Kijang tua buatan tahun 1982. Padahal, rekan- rekan seangkatannya pun terbilang makmur dan menduduki posisi penting di kejaksaan.

Jalan hidup orang lain-lain, saya masih beruntung dibandingkan dengan banyak rekan jaksa yang lain, ujar Khaidir.

Bagi Khaidir, kemewahan hidup hanyalah bisa dirasakan sebatas tenggorokan, tak lebih. Ia tak pernah menyesal bertahan pada prinsipnya.

Selama menjalankan tugasnya, bukan berarti tak ada tawaran atau iming-iming yang berseliweran. Namun, toh ia memilih hidup cukup dengan gaji jaksa Rp 2,7 juta sebulan serta rumah BTN dan mobil tuanya. Khaidir merasa beruntung, anak tertuanya sudah kuliah dan anak keduanya duduk di bangku SMA.

Saat terpilih menjadi penuntut umum di KPK, Khaidir berharap ia bisa meningkatkan kesejahteraan keluarganya dari penghasilan resmi yang ia peroleh, bukan dari penghasilan plus entah dari mana.

Saya bilang sama anak-anak, saya hidup jauh dari mereka supaya hidup kami lebih sejahtera. Saya berharap dengan bekerja di KPK, saya bisa menyekolahkan anak-anak saya ke perguruan tinggi dengan penghasilan resmi saya, jelas Khaidir yang jadi jaksa penuntut umum dalam kasus terdakwa Abdullah Puteh.

Untuk itu, Khaidir berharap pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Kepegawaian KPK, agar para pegawai KPK semakin pasti memperoleh penghasilan resmi dari pemerintah. Hal ini penting untuk membentengi pertahanan bagi pegawai KPK dari tawaran dalam berbagai bentuk untuk menyuap pegawai KPK. Teror pun sudah menjadi bagian dari pekerjaan.

Jangan pernah coba-coba menyuap atau menyogok penyidik dan penuntut umum KPK. Kami bekerja di KPK dengan niat ingin negara ini berubah, kata Khaidir.

Pendapat Rony Samtana dan Adi Deriyan Jayamarta, dua penyidik KPK asal Polri, pun sama. Bekerja di KPK pasti tak lepas ada tawaran atau iming-iming uang atau yang lain.

Kalau kami menerima suap, kami kehilangan semuanya, kehilangan harga diri. Bukan cuma nama baik kami saja, keluarga pasti malu, dan yang lebih parah nama KPK pasti hancur di mata dunia. Kami sungguh berhati- hati membawa nama KPK, ujar Adi, mantan pengawal Amien Rais saat kampanye calon presiden.

Menggali talenta
Enjoy banget kerja di KPK, jelas Rony. Ada dua alasan, menurut Rony, pertama kebutuhan dasarnya terbilang tercukupi dan persoalan aktualisasi diri menjadi perhatian utama di KPK.

Di KPK kebutuhan aktualisasi diri terpenuhi, tidak ada intervensi macam-macam, tidak ada tuntutan macam-macam. Beban yang kami tanggung adalah beban kerja, tidak ada tuntutan lain di luar tugas kami sebagai penyidik, jelas Rony yang pernah lama bertugas di Timor Timur.

Adi pun berpendapat sama. Hal yang menyenangkan bagi penyidik di KPK adalah mereka bisa bekerja secara otonom, tidak pernah ada intervensi dari pimpinan. ”Saya belajar banyak dari rekan-rekan lain, seperti jaksa dan BPKP. Dalam mengungkap kasus korupsi, bendera kami satu, yaitu KPK,” jelas mantan Kepala Kepolisian Sektor Jonggol dan Anyer ini.

Para pegawai KPK memang berasal dari berbagai latar belakang. Jumlah pegawai seluruhnya 158 orang, terdiri dari polisi 31 orang, jaksa 19 orang, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) 27 orang, dan selebihnya staf KPK.

Iswan Elmy, Direktur Penyelidikan, misalnya, memiliki latar belakang BPKP. Dulu, pola pikirnya masih audit investigatif yang berangkat pada sistem dan aturan. Kini saya belajar banyak soal hukum, jelas Iswan.

Sistem satu atap antara penyelidik, penyidik, dan penuntut umum membuat semua pihak memahami perjalanan perkara sejak awal. Komunikasi antara penyelidik, penyidik, dan penuntut umum, kata Adi, tak terlalu formal. Komunikasi bisa dilakukan di mana saja, di ruangan, di dapur, bahkan di kamar mandi.

Tak heran jika surat dakwaan jaksa penuntut umum KPK jauh lebih runut, logika mudah dipahami, dan duduk perkara jelas. Beda sekali kalau kita bandingkan surat dakwaan antara jaksa KPK dan jaksa dari kejaksaan. Surat dakwaan jaksa KPK runut dan logis, ujar seorang panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Manajemen modern
Schiller dalam bukunya Beyond the Chains of Illusion di tahun 1788 sudah mengingatkan pentingnya peran manusia sebagai kekuatan. Ia menulis, Negara hanyalah hasil dari kekuatan manusia. Manusia adalah kekuatan dan sumber itu sendiri serta pencipta pemikiran.

Pentingnya peran manusia di dalam sebuah organisasi sangat disadari KPK.

Wakil Ketua KPK Erry Rijana Hardjapamekas mengatakan, sumber daya manusia adalah kekuatan dan modal utama KPK meski mereka berasal dari latar belakang yang berlainan.

Pimpinan KPK pun menyiapkan suasana kerja, kultur kerja, dan memperjuangkan sistem imbalan, serta meningkatkan kompetensi pegawai KPK. Aturan main bersama dan kode etik yang disepakati oleh semua.

Kami, pimpinan, memberikan otonomi yang cukup memadai bagi penyelidik dan penyidik. Pimpinan tidak akan intervensi dan dilarang untuk membuat nota dinas dan e-mail yang bersifat instruktif kepada penyidik, kata Erry.

Aneka pelatihan pun digelar, termasuk bantuan pelatihan yang diberikan oleh lembaga- lembaga donor. Salah satunya pelatihan modern investigation dengan mendatangkan polisi dari Jepang, Australia, dan FBI. Tukar-menukar pengalaman dengan lembaga antikorupsi dari negara lain.

Erich Fromm, seorang filsuf, mencatat, Satu dunia baru akan terwujud hanya bila manusia baru muncul. Manusia yang mencintai negaranya karena dia mencintai umat manusia. Manusia yang mencintai kehidupan, bukan hanya dirinya sendiri.
Oleh: VINCENTIA HANNI S

Sumber: Kompas, 15 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan