Dicky Dituntut Mati; Kasus Pembobolan BNI Rp 1,3 Triliun

Dicky Iskandar Dinata benar-benar shock berat. Kemarin bos PT Brocolin International itu dituntut hukuman mati dalam kasus pembobolan Bank BNI Rp 1,3 triliun. Tuntutan itu lebih berat daripada tuntutan terhadap aktor utamanya, Adrian Waworuntu.

Dicky yang kemarin mengenakan kemeja batik cokelat dan celana gelap terdiam sesaat di kursi pesakitan. Dia terlihat sangat shock. Sebagian kerabatnya yang duduk di kursi pengunjung bahkan menangis sesenggukan sambil berpelukan. Sang anak yang juga sutradara Nia Dinata ikut larut dalam kesedihan.

Tuntutan terhadap Dicky merupakan tuntutan terberat sepanjang persidangan kasus L/C fiktif Bank BNI. Aktor utama Adrian Waworuntu sendiri hanya dituntut seumur hidup dan dijatuhi hukuman yang sama. Mantan Kabid Pelayanan Luar Negeri BNI Kebayoran Baru Edi Santosa juga dituntut seumur hidup.

Kasus pembobolan BNI itu melebar ke mana-mana. Selain melibatkan beberapa orang di grup Gramarindo dan BNI, kasus itu menyeret jenderal di Mabes Polri. Mantan Kabareskrim Komjen Suyitno Landung dan mantan Direktur II Ekonomi Khusus Brigjen Samuel Ismoko kini ditahan karena dianggap menerima suap saat mengendalikan penyidikan kasus itu.

Jaksa penuntut umum (JPU) Sahat Sihombing meyakini Dicky terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Dia menikmati uang Rp 49,2 miliar dan USD 2,99 juta hasil pencairan L/C fiktif BNI Kebayoran Baru.

Mantan menantu Bustanil Arifin (mantan Kabulog) yang nama lengkapnya Achmad Sidik Mauladi Iskandar Dinata itu juga dituntut membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Jaksa menyebut banyak hal yang memberatkan. Perbuatan terdakwa sangat bertentangan dengan program pemerintah dalam memberantas KKN. Korupsi Dicky dilakukan semasa negara dalam kondisi krisis ekonomi dan moneter.

Dicky dikategorikan residivis yang pernah dihukum berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus korupsi pula, yaitu di Bank Duta. Dalam kasus tersebut, mantan direktur Bank Duta itu dihukum delapan tahun. Dia telah menjalani hukuman itu. Terdakwa juga sama sekali tidak membayar uang ganti rugi Rp 800 miliar, ujar Sahat dalam sidang yang dipimpin hakim Efran Basuning ini.

Dia mengakui, dalam sidang Dicky kooperatif dan sopan. Namun, hal itu tidak dapat dijadikan pertimbangan untuk meringankan tuntutannya.

Menurut jaksa, Dicky bersama Adrian dan Maria Pauline Lumowa (kini masih buron) mengawali rencana pembobolan BNI pada 2003. Mereka membicarakan masalah investasi dalam bentuk penanaman modal asing maupun dalam negeri.

Dalam pertemuan itu disebutkan bahwa PT Gramarindo Grup, PT Sagared Team Consultant, PT Adhitya Putra Pratama Finance, PT Magna Graha Agung, dan PT Bhineka Pasific seolah-olah sebagai eksporter. Namun, faktanya perusahaan tersebut tidak pernah beroperasi alias fiktif.

Lima perusahaan itu berlagak mengimpor barang dari luar negeri dengan fasilitas pembayaran L/C (letter of credit). Padahal, dokumen kelengkapan ekspor tidak pernah diterbitkan perusahaan pelayaran. Sedangkan L/C yang diterbitkan seolah-olah benar dari sejumlah bank penerbit yang disetorkan ke BNI Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Dalam pertemuan disepakati PT Brocolin menerima aliran dana hasil pendiskontoan L/C. Karena itu, jaksa menilai Dicky sengaja menempatkan kekayaan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan.

Agar peran Dicky dan Adrian tersamar, diangkatlah Suharna bin Husin sebagai direktur. Sedangkan Adrian menjadi komisaris PT Brocolin, jelas Sahat dalam tuntutannya.

Suharna bertugas menandatangani bilyet giro untuk mempermudah transfer dana. Atas perintah Dicky, Suharna membuka tiga rekening di Bank Permata Cabang Menara Imperium. Dua rekening untuk menampung uang rupiah dan satu rekening untuk dolar.

Begitu tercium adanya aliran di PT Brocolin International dari pencairan L/C fiktif BNI, Dicky melakukan pembukuan transaksi yang seolah-olah benar. Hal itu dilakukan bersama Suharna, Agus Julianto, dan Marhaeni Atmandiyah (tiga staf Dicky yang telah dituntut enam tahun).

Di akhir sidang, Dicky yang tampak pucat menyatakan siap mengajukan pleidoi (tanggapan atas tuntutan), baik secara pribadi maupun lewat pengacaranya, Augustinus Hutajulu. Sidang dilanjutkan Selasa pekan mendatang (13/6).

Usai sidang, pengacara Robin yang mewakili Augustinus menolak berkomentar. Dia minta wartawan menunggu pembacaan pleidoi kelak. Sedangkan Augustinus yang dihubungi tadi malam menilai banyak kejanggalan dalam tuntutan. Salah satunya status uang di PT Brocolin.

Menurut dia, uang yang masuk PT Brocolin itu bukan uang negara meski uang itu hasil pembobolan BNI lewat Gramarindo. Dalam UU Korupsi, definisi uang negara adalah uang yang ditempatkan di BUMN atau lembaga pemerintahan, jelasnya.

Dia menilai, tuntutan tidak seharusnya didasarkan dakwaan tindak pidana korupsi, tetapi tindak pidana penadahan. Dicky sejatinya tidak tahu-menahu bahwa asal muasal uang di PT Brocolin itu hasil pembobolan BNI. Klien saya orang profesional. Beliau hanya menjalankan usaha PT Brocolin yang uangnya dari Gramarindo, beber Augustinus yang kemarin tidak mengikuti sidang karena jadwal molor.

Bahkan, lanjut Augustinus, aset PT Brocolin yang bukan dari Gramarindo ikut disita. Nilainya Rp 180 miliar. Padahal, hasil audit BPK, aliran dana Gramarindo yang masuk ke PT Brocolin hanya Rp 70 miliar.

Soal fakta bahwa Dicky ikut merencanakan pembobolan BNI bersama Pauline dan Adrian, Augustinus membantah. Bahkan, jelasnya, fakta tersebut sudah terbantah dalam persidangan karena tidak ada saksi yang menguatkan.

Aliran dana (Gramarindo ke Brocolin) terjadi pada April-Mei 2003. Sedangkan penbobolan BNI terjadi jauh sebelumnya, pada Desember 2002, tegasnya. (agm)

Sumber: Jawa Pos, 7 Juni 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan