Diskursus Antikorupsi pada Bank BUMN

Seperti disebut dalam press release Humas Departemen Keuangan (16 Oktober 2006), revisi itu dimaksudkan untuk menyamakan level of playing field antara bank BUMN dan bank swasta.

Pada awal 2006, kalangan bank badan usaha milik negara berkeberatan atas kebijakan pemimpin Badan Pemeriksa Keuangan yang mempublikasikan lewat situs laporan hasil auditnya mengenai pengelolaan kredit pada salah satu bank BUMN. Pasalnya, dalam laporan itu terungkap sejumlah ketidakberesan (untuk tidak menyebut frauds) dalam pengelolaan kredit, yang dianggap memandulkan sistem pengawasan internal, sehingga tidak efektif mencegah piutang bermasalah--non-performing loan (NPL)--yang menurut data Bank Indonesia telah mencapai Rp 84,8 triliun hingga akhir 2005.

Reaksi kalangan bank BUMN pun melebar hingga ke soal wewenang Departemen Keuangan dalam pengurusan piutang macet perusahaan negara/daerah yang dianggap out of date, karena didasari Undang-Undang Nomor 49 Prp/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, yang ditetapkan dalam keadaan darurat. Salah satu aturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 14/2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, dianggap menghambat penyelesaian NPL bank-bank BUMN dan, karena itu, harus direvisi.

Ide revisi yang diumumkan pada Juli 2006 sebagai bagian dari paket kebijakan ekonomi itu sempat mengundang pro-kontra (DPR, BPK, kejaksaan) karena dianggap menghambat upaya pemberantasan korupsi di lingkungan bank BUMN. Namun, setelah mendapat petuah atau fatwa dari Mahkamah Agung, pemerintah akhirnya merevisi PP Nomor 14/2005 dengan menerbitkan PP Nomor 33/2006 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87/PMK07/2006 untuk mencabut seluruh aturan penghapusan piutang macet BUMN yang merujuk ke UU Nomor 49 Prp/1960.

Dengan aturan yang baru itu, penghapusan kredit macet BUMN dipisahkan dari pengurusan piutang negara dan selanjutnya dilakukan sendiri oleh masing-masing BUMN. Seperti disebut dalam press release Humas Departemen Keuangan (16 Oktober 2006), revisi itu dimaksudkan untuk menyamakan level of playing field antara bank BUMN dan bank swasta.

Kasus-kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan kinerja bank pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional lebih dari cukup sebagai pelajaran pahit mengenai pengelolaan NPL oleh bank-bank swasta yang tentu saja tidak layak dijadikan model untuk bank BUMN. Model yang pas untuk bank BUMN adalah bank yang konservatif mengelola piutang; yang tidak menyuap debitor dengan haircut karena tidak tertekan moral hazard; yang menghajar debitor nakal dengan debt collector sangar atau jalur hukum; dan yang tidak pernah menghapus NPL tanpa persetujuan dan kata putus dari pemilik bank. Bank swasta seperti ini adalah pelaku sejati substansi UU Nomor 49/Prp/1960.

Bank seperti itu masih ada di Indonesia. Buktinya, pengadilan selalu disibukkan dengan sengketa perdata atau pidana kredit macet. Mereka sadar penghapusan NPL menghilangkan potensi pemulihan kerugian akibat pembebanan biaya piutang tak tertagih (bad debt expenses). Mereka tidak memoles kinerja bank secara window dressing karena itu adalah produk management by hypocrisy.

Sekiranya itu model bank swasta yang hendak diadopsi oleh bank BUMN, yang seharusnya direvisi bukan PP Nomor 14/2005, melainkan UU Nomor 49 Prp/1960, yang perlu disempurnakan agar lebih efektif mencegah korupsi pada bank-bank BUMN. Sekurang-kurangnya ada empat alasan untuk itu.

Pertama, berdasarkan UU Nomor 28/1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi-kolusi-nepotisme (pasal 2 angka 7 dan penjelasannya), pejabat struktural dan komisaris bank BUMN masuk kategori penyelenggara negara yang memiliki fungsi strategis dengan tugas dan wewenang yang rawan praktek korupsi, kolusi, nepotisme.

Kedua, pokok kredit atau piutang adalah aset bank. Sedangkan hasilnya berupa bunga adalah pendapatan. Namun, jika piutang menjadi macet, menyimpang dari perjanjian, pokok dan bunga yang seharusnya menjadi aset dan pendapatan terpaksa dibebankan menjadi biaya. Dari sisi pandang ekonomi-akuntansi, NPL bank BUMN adalah kejadian yang pasti telah menimbulkan kerugian keuangan negara walaupun belum tentu NPL-nya berakar praktek korupsi-kolusi-nepotisme.

Ketiga, pengurusan piutang adalah operasi normal bank sehari-hari. Namun, ketika piutang menjelma jadi NPL, yang berarti melanggar loan agreement, dari sisi pandang good corporate governance, penghapusan NPL bukan lagi urusan internal. Berdasarkan UU Nomor 49 Prp/1960--hingga saat ini belum dicabut--penghapusan NPL bank BUMN adalah urusan pemerintah (PUPN).

Keempat, berdasarkan UU Nomor 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, UU Nomor 17/2003 tentang keuangan negara, UU Nomor 19/2003 tentang BUMN, UU Nomor 1/2004 tentang perbendaharaan negara, dan UU Nomor 15/2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, jelas dan tegas bahwa aset-piutang BUMN masuk scope keuangan negara.

Dibandingkan dengan pembentukan PP Nomor 33/2006, keempat butir di atas adalah diskursus gerakan antikorupsi yang mencerminkan sensitivitas kalangan bank BUMN terhadap praktek korupsi. Tanpa mempermalukan pemerintah, agaknya masih ada satu lagi tahap penyempurnaan. Seperti disebut dalam press release, pemerintah akan membentuk komisi pengawas untuk memastikan pelaksanaan good corporate governance dalam pengurusan NPL bank BUMN.

Itu berarti masih ada tahap untuk melakukan penyempurnaan buat mempertegas pemenuhan asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta asas ketepatan lembaga dan organ pembentuk, yakni tiga dari tujuh asas dalam UU Nomor 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang terabaikan dalam penetapan PP Nomor 33/2006.

Namun, jika UU Nomor 10/2004 masih terabaikan dan UU Nomor 49 Prp/1960 pun masih dikesampingkan dalam pembentukan komite pengawas dimaksud, misalnya mengabaikan unsur audit investigatif serta penyelidikan dan penyidikan dugaan korupsi, menjadi jelaslah bahwa PP Nomor 33/2006 memang akan menghambat pemberantasan korupsi pada bank-bank BUMN.

Jult M. Lumban Gaol, Auditor Ahli Madya pada Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 28 November 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan