Divonis 4 Tahun, Bawahan Suwarna Protes; Korupsi Pengadaan Lahan Sejuta Hektare di Kaltim

Pengadilan Tipikor kemarin kembali memvonis para terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan lahan kelapa sawit sejuta hektare di Kalimantan Timur (Kaltim) yang merugikan negara miliaran rupiah. Mereka adalah Uuh Aliyudin dan Robian, mantan bawahan Gubernur Kaltim (nonaktif) Suwarna Abdul Fatah. Keduanya sama-sama divonis empat tahun.

Vonis tersebut lebih berat daripada Suwarna yang pada 22 Maret lalu divonis 1,5 tahun penjara serta denda Rp 250 juta dalam kasus yang sama.

Pada sidang kemarin di Pengadilan Tipikor itu, majelis hakim yang diketuai Krisnamenon menjatuhkan vonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 miliar. Uuh dibebaskan dari dakwaan primer pasal 2 ayat 1 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Antikorupsi). Dia hanya dikenai dakwaan subsider pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Terdakwa dinyatakan terbukti bersalah bertindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dengan tujuan menguntungkan orang lain atau korporasi dengan cara menyalahgunakan kewenangan karena jabatan, ujar Krisnamenon.

Vonis yang dijatuhkan majelis hakim tersebut berdasarkan pada bukti bahwa terdakwa menerbitkan SK izin pemanfaatan kayu (IPK) kepada perusahaan yang bergabung dalam Surya Dumai Group. Padahal, kata dia, permohonan SK tersebut tidak dilengkapi studi kelayakan dan hasil survei area lahan.

Putusan majelis hakim yang terdiri atas Krisnamenon, I Made Hendra Kusuma, Mansyurdin Chaniago, Ahmad, dan Andi Bahtiar itu sama dengan tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, ketika putusan dibacakan, tak tampak ekspresi terkejut pada wajah Uuh yang kemarin memakai batik cokelat itu. Dia hanya terlihat selalu melipat tangan di atas pangkuan sepanjang majelis hakim membacakan putusan.

Atas putusan tersebut, kuasa hukum Uuh, Faisal Husni, menyatakan banding. Dia mengungkapkan, putusan majelis hakim itu tidak memperhatikan fakta-fakta yang diajukan ke persidangan. Yakni, kerugian negara tidak diakibatkan oleh terdakwa. Kedua, terdakwa diperintah atasannya. Terdakwa diperintah untuk memberhentikan IPK dan memerintahkan menerbitkan kembali. Tapi, itu tidak dijadikan bahan pertimbangan majelis hakim, ungkapnya.

Dia pun membawa nama Dirjen PHP Kaltim Waskito sebagai atasan Uuh yang menyuruh menerbitkan SK IPK.

Menyusul Uuh, Plt Kakanwil Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim Robian dijatuhi vonis yang sama. Majelis hakim yang diketuai Andi Bahtiar juga menetapkan denda Rp 200 juta bagi Robian.(nue)

Sumber: Jawa Pos, 17 Juli 2007
----------
Dua Pejabat Kehutanan Divonis 4 Tahun

Majelis berbeda pendapat soal dakwaan primer tentang memperkaya diri sendiri.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta kepada mantan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kalimantan Timur Uuh Aliyudin. Dia terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang menyalahgunakan wewenang dan merugikan keuangan negara sesuai dengan dakwaan subsider. Terdakwa Uuh tidak terbukti bersalah pada dakwaan primer, kata ketua majelis hakim Kresna Menon di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemarin.

Keputusan majelis itu ternyata tidak diambil secara bulat. Dua hakim anggota, I Made Hendra Kusumah dan Achmad Linoh, berbeda pendapat (dissenting opinion) soal dakwaan primer. Menurut keduanya, terdakwa terbukti melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan merugikan keuangan negara. Terdakwa terbukti melanggar Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kata Hendra Kusumah.

Menurut Hendra, sebagai Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan, Uuh telah salah dalam memperpanjang izin pemanfaatan kayu (IPK) kepada 11 perusahaan di bawah bendera Surya Dumai Group. Perpanjangan itu menyalahi Peraturan Menteri Kehutanan tentang Penerbitan Izin Pemanfaatan Kayu.

Seharusnya Uuh melakukan studi kelayakan dan meminta bukti tata batas area sebelum memberikan perpanjangan. Namun, pada prakteknya tidak dilakukan, kata Hendra. Izin itu dia terbitkan hanya berdasarkan izin prinsip dari Direktur Jenderal Pemanfaatan Hutan Produksi Departemen Keuangan. Izin prinsip itu bukan perintah jabatan. Akibat tindakan itu, negara mengalami kerugian Rp 186 miliar.

Jaksa penuntut Firdaus dan Rudi Margono menyatakan pikir-pikir terhadap putusan majelis hakim. Sedangkan kuasa hukum Uuh langsung menyatakan banding. Seharusnya negara diuntungkan karena ada pemasukan dari setoran dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan, kata Yos Faisal Husni, kuasa hukum Uuh.

Dalam kasus yang sama, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemarin juga menjatuhkan vonis 4 tahun penjara serta denda Rp 200 juta kepada mantan Kepala Dinas Departemen Kehutanan Robian. Majelis hakim yang dipimpin Mansyurdin Chaniago mengatakan Robian terbukti bersalah melakukan penyalahgunaan kewenangan secara bersama-sama dan berkelanjutan dalam pemberian IPK dan perpanjangan IPK.

Mansyur menjelaskan, meskipun perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa bersama Gubernur Kalimantan Timur Suwarna A.F. dan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Kalimantan Timur Uuh Aliyudin merugikan negara lebih dari Rp 186 miliar serta menguntungkan perusahaan Surya Dumai Group milik Martias alias Pung Kian Hwa, terdakwa tidak terbukti menikmati uang tersebut. Sehingga ia tidak dikenai dakwaan primer.

Robian, yang didampingi para kuasa hukumnya, menyatakan banding atas putusan itu. Saya akan mencari keadilan. Keputusan ini belum adil bagi saya, ujarnya.

Menurut dia, pengadilan mengesampingkan surat perintah penghentian penyidikan dari Kejaksaan Agung. Selain itu, tindakan yang dilakukannya tidak menyalahi aturan yang ada. Sesuai dengan SK Menteri Kehutanan, jika secara prinsip IPK telah disetujui Dirjen PHP (Pengelolaan Hutan Produksi), izin perpanjangan dapat dilakukan. Saya tidak tahu IPK itu bermasalah, dia menegaskan.

Robian menjelaskan dirinya tidak membuat IPK baru dalam kasus yang melibatkan perusahaan Surya Dumai Group tersebut. Saya tidak bisa dipaksa untuk tahu sesuatu yang tidak saya tahu, dia menegaskan. Tito Sianipar | Budi Saiful Haris

Sumber: Koran Tempo, 17 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan