DPR: DPRD Telah Dikriminalisasi; Hentikan Tebang Pilih Proses Hukum Anggota DPRD

Proses hukum yang dilakukan atas anggota DPRD dalam berbagai kasus korupsi, sudah mengarah ke kriminalisasi politik kebijakan pemerintah daerah. Karena itu DPR meminta Presiden Yudhoyono segera merehabilitasi dan memulihkan nama baik serta segenap hak anggota DPRD dan kepala daerah.

DPR menilai penegakan hukum yang dilakukan pemerintah bersifat diskriminatif dengan nuansa tebang pilih. Karenanya Presiden diminta menginstruksikan aparat penagak hukum untuk tidak diskriminatif dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD dan kepala daerah.

Bahkan, DPR meminta Presiden Yudhoyono menegur keras Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang dinilai tidak mampu memimpin aparat kejaksaan di daerah, menangani kasus korupsi. Penanganan dilakukan dengan dasar hukum tidak tepat.

Permintaan mengejutkan ini tertuang dalam rekomendasi Panitia Kerja Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah. Rekomendasi itu disampaikan Ketua Panja Trimedya Panjaitan (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Sumatera Utara II) dalam rapat Badan Musyawarah DPR, Selasa (3/10).

Panja DPR yang merupakan gabungan Komisi II dan III DPR ini bekerja mulai Maret 2006 dan dibentuk sehubungan dengan pengaduan anggota DPRD dan kepala daerah yang mengalami proses hukum berbagai dugaan korupsi dan penyimpangan.

Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar (Fraksi Kebangkitan Bangsa, Jawa Timur I) itu, wakil 10 fraksi sepakat membawa rekomendasi ke rapat paripurna DPR 10 Oktober untuk diputuskan sebagai sikap DPR.

Trimedya menyebutkan penanganan kasus korupsi di daerah telah menggunakan dasar hukum yang tidak tepat --yang menunjukkan kelemahan Jaksa Agung mengendalikan aparatnya.

Perlakuan diskriminatif juga tampak ketika sangat sedikit kepala daerah yang diperiksa ataumantan anggota DPRD Fraksi TNI/Polri yang dibiarkan lolos. Begitu menjadi sikap politik DPR, (kalau diabaikan Presiden), hubungan eksekutif dan legislatif menjadi taruhannya, katanya.

Tidak dijelaskan, apa alasan DPR yang alih-alih meminta kejaksaan jangan diskriminatif, tapi malah meminta anggota DPRD yang sedang diproses hukum direhabilitasi. DPR tampaknya memilih daripada tebang pilih lebih baik semua dibebaskan.

Intervensi Politik
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra yang dihubungi Selasa menilai rekomendasi Panja DPR merupakan intervensi politik terhadap proses hukum. Presiden tak perlu terikat rekomendasi itu dan diharap meneruskan agenda memberantas korupsi tanpa diskriminasi. Ini sekaligus ujian bagi SBY menghadapi rongrongan politik dalam memberantas korupsi, katanya.

Jika rekomendasi Panja diteruskan, akan terbuka kemungkinan para koruptor untuk memanfaatkan jalur politik di DPR untuk mencari perlindungan.

Dengan rekomendasi itu, Panja bahkan melanggar kode etik sebagai anggota DPR. Lebih baik pimpinan parpol melakukan pendampingan hukum kadernya yang tersangkut kasus korupsi, bukan menuntut pembebasan.

Saldi sependapat eksekutif di daerah juga harus diproses karena tidak mungkin anggaran cair tanpa keterlibatan mereka. Mungkin memang ada penanganan yang menggunakan dasar hukum tidak tepat. Tapi kan tidak semua begitu, kata Saldi.

Wakil Ketua Panja Priyo Budi Santoso (Fraksi Partai Golkar, Jawa Tengah VII) menekankan, rekomendasi itu tidak berarti DPR asal melindungi kadernya di daerah. Untuk yang terbukti korup, DPR mempersilakan proses hukum diteruskan. Hanya saja, dasar hukum yang digunakan harus benar dan tidak diskriminatif.

Menurut Priyo perlakuan diskriminatif itu dialami kader hampir seluruh partai politik yang punya wakil di DPR. Presiden dan Wakil Presiden diminta sungguh memperhatikan rekomendasi itu. Kalau diabaikan, posisinya akan tidak menguntungkan pemerintah, kata Priyo.

Priyo khawatir, model penegakan hukum diskriminatif itu melahirkan apatisme di daerah atau melahirkan gerakan masif dan kolektif yang kecewa dan marah pada pemerintah. Priyo menyebut yang dilakukan penegak hukum atasdugaan korupsi di daerah itu sangat reaktif dan berlebihan dan mengarah pada skenario deparpolisasi, di mana pimpinan politik di daerah bisa dipenjara bersamaan.

Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali memenuhi permintaan Kepala Polri Jenderal Pol Sutanto dan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh untuk memeriksa sembilan bupati dan wakil bupati yang diduga terlibat korupsi dan penghinaan. Menurut Juru Bicara Presiden Andi Mallarangeng, izin tertulis itu ditandatangani Senin (2/10) lalu. (dik/har)

Sumber: Kompas, 4 Oktober 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan