Dua Tahun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); Meneguhkan Fungsi Trigger Mechanism

Korupsi sudah dianggap sebagai extra-ordinary crime. Sehingga, anggota DPR merasa perlu memberikan wewenang yang sangat besar kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberantasnya. Sayangnya, kekuasaan itu hanya diberikan dalam rumusan kata-kata, tidak dalam pelaksanaannya.

Pada saat bersamaan, instansi pemerintah belum serius memberantas korupsi, meski presiden menerbitkan Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Apalagi, sebagian besar anggota masyarakat masih permisif terhadap masalah korupsi. Tulisan ini mencoba menguak sedikit suka duka yang dialami KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia dalam memasuki usianya yang kedua pada 29 Desember lalu.

Potensi dan Peluang
Secara politis, KPK sangat berpotensi karena merupakan hasil proses reformasi sebagaimana yang tertuang dalam Tap MPR No XI/1998, sehingga memperoleh dukungan luas, baik dari LSM, perguruan tinggi, media massa, maupun anggota masyarakat pada umumnya.

Bahkan, KPK yang dibentuk dengan UU No 30/2002 tersebut bisa dikatakan sebagai suatu organisasi superbodi karena memiliki beberapa kewenangan yang tidak dimiliki lembaga penegak hukum lain, khususnya dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara. Kewenangan, jika dijalankan secara optimal, akan memberikan efek jera bagi para koruptor. Sehingga, hal tersebut akan menghentikan niat untuk berkorupsi. Selain itu, bisa mengembalikan kekayaan negara yang telah dikorupsi para koruptor.

Potensi KPK yang lain adalah kondisi global. Yakni, korupsi sudah dianggap sebagai extra-ordinary crime. Sehingga, setiap pemerintahan di dunia berkepentingan memberantas korupsi di negaranya dengan cara kerja sama internasional. Dan, KPK sering dilibatkan.

Selain itu, pimpinan, tim penasihat, dan pegawai KPK yang ditetapkan melalui proses seleksi yang ketat melahirkan budaya kerja profesional, akuntabel, energik, serta transparan dalam menjawab tuntutan masyarakat, khususnya dalam memperbaiki sistem penyelenggaraan negara dan perilaku penyelenggara negara melalui pemberantasan korupsi.

Karena itu, manajemen kinerja dan sistem pengelolaan anggaran yang diterapkan KPK secara bertanggung jawab dan transparan menyebabkan penggunaan anggaran di lingkungan KPK sangat terkendali. Dengan demikian, jika diterapkan di seluruh instansi pemerintah, pola tersebut diharapkan bisa memperkecil kebocoran APBN yang ditengarai terjadi selama ini.

Kelemahan dan Kendala
Konsekuensi logis lembaga baru, dengan sendirinya, KPK memiliki beberapa kelemahan yang menghambat pencapaian kinerja yang optimal. Di antaranya, keterbatasan sarana-prasarana dan SDM. Secara eksternal, kendala utama KPK adalah kendala UU.

Dalam bagian tertentu UU No 30/2002, KPK seakan-akan superbodi. Tapi, dalam pelaksanaan tugas di lapangan, ternyata KPK dipaksa menggunakan cara-cara tradisional. Hal itu bisa dilihat dari beberapa masalah berikut.

KPK dibenarkan memeriksa rekening bank jika nasabah sudah berstatus tersangka. Padahal, berbeda dari kepolisian dan kejaksaan, KPK tidak dibenarkan mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan).

Dengan demikian, ketika menetapkan status tersangka kepada seseorang, penyidik KPK harus yakin 99 persen bahwa tersangka tersebut akan dijatuhi hukuman oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor.

Sementara itu, koruptor sangat canggih dalam melaksanakan kegiatannya. Sehingga, justru peluang yang paling besar bagi KPK mengendus jejak mereka untuk ditetapkan sebagai tersangka adalah melalui rekening bank. Tetapi, hal tersebut tidak dibenarkan dengan dalih UU kerahasiaan bank. Dalam konteks ini, tampaknya, pihak bank bermain mata dengan para koruptor.

Tidak adanya UU perlindungan saksi cukup menyulitkan penyidik KPK memperoleh informasi yang signifikan. Sebab, pejabat, karyawan, atau anggota masyarakat yang mengetahui suatu kasus korupsi takut mengalami nasib serupa yang dialami Khairiansyah.

Di satu sisi, KPK seakan-akan memiliki wewenang yang sangat besar dalam menangani kasus korupsi. Tapi, dalam pelaksanaannya, KUHAP yang lama tetap digunakan. Misalnya, untuk masalah penggeledahan, KPK masih harus memperoleh izin pengadilan negeri.

Begitu pula dalam masalah penyidikan. UU memberikan wewenang kepada KPK untuk menyidik. Tapi, KPK tidak boleh merekrut penyidik sendiri. Sebab, menurut KUHAP, penyidik harus polisi atau jaksa.

Selain kendala UU, hambatan serius yang dihadapi KPK adalah sikap anggota masyarakat. Yakni, kurangnya pemahaman masyarakat tentang tindak pidana korupsi dan fungsi serta kewenangan KPK. Sikap permisif masyarakat terhadap tindak pidana korupsi masih tinggi. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum lainnya rendah.

Hasil yang Dicapai
Secara menyeluruh, sesuai usia, sarana, prasarana, dan SDM yang dimiliki, hasil yang dicapai KPK selama 2005 bisa dikatakan memadai. Bahkan, untuk bidang-bidang tertentu, pencapaian melebihi 100 persen dari target.

Beberapa substansi pencapaian bisa disebutkan. Misalnya, Abdullah Puteh, Harun Let-Let, dan Nazaruddin Syamsuddin ditahan dan dijatuhi hukuman penjara.

Fungsi trigger mechanism KPK berhasil mendorong aparat penegak hukum, khususnya di daerah, untuk berani menindak penyelenggara negara yang terlibat korupsi, baik gubernur, bupati, wali kota, maupun anggota DPRD.

KPK berhasil mendorong dan membantu penerapan island of integrity dan good governance. Pada tahun ini, telah bertambah enam wilayah, sehingga ada tujuh wilayah (provinsi dan kabupaten) di Indonesia yang menerapkan island of integrity dan good governance tersebut.

Di bidang IT, secara internal, KPK memiliki portal dan software forensik. Sehingga, sebagian besar pekerjaan dilakukan menggunakan sistem komputer. Secara eksternal, KPK memiliki website dan menyediakan software sekaligus pelatihan bagi 33 provinsi se-Indonesia agar mereka bisa langsung mengakses data laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).

* Abdullah Hehamahua, penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 13 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan