Dugaan Suap di Polri; Episode Baru Opera Sabun BNI
Kamis 11 Mei lalu, di halaman 26 harian ini diturunkan tulisan berjudul Opera Sabun Kasus BNI. Kisah bermula dari skandal pembobolan bank pelat merah itu oleh Grup Gramarindo pada tahun 2002-2003 senilai Rp 1,2 triliun. Rupanya, kisah dalam tulisan itu masih terus bergulir dengan kelanjutan episode yang makin menggelitik.
Sebelumnya, episode sempat memanas ketika muncul fakta krusial dalam persidangan perkara pidana dengan terdakwa mantan Kepala Unit II/Perbankan dan Pencucian Uang Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Kombes Irman Santosa, yakni kesaksian mantan penyidik Bareskrim Komisaris Siti Kumalasari perihal kuitansi senilai Rp 8,5 miliar bertuliskan biaya operasional untuk Trunojoyo I dan Rp 7 miliar untuk biaya operasional di Bareskrim. Kesaksian itu diberikan Kumalasari dalam sidang Irman pada 13 April 2006.
Tak lama, muncul cerita baru adanya uang prestasi (success fee) Rp 1,8 miliar yang diterima Komjen (sekarang purnawirawan) Erwin Mappaseng saat ia masih menjabat Kepala Bareskrim. Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto akhirnya mengungkapkan sendiri hal itu dalam rapat kerja dengan anggota Komisi III DPR 15 Mei lalu.
Belakangan diketahui, Kumalasari telah dicopot sebagai penyidik. Dia kini hanya mengurusi surat menyurat di Bareskrim. Dua penyidik mantan anak buah Irman yang lain juga telah dimutasi, yaitu Ajun Komisaris Aria Devanata dan Ajun Komisaris Pandit Purnawan.
Seolah untuk mempertahankan minat para penontonnya, kelanjutan kisah itu pun diwarnai bumbu cerita yang mengejutkan.
Kepala Bareskrim Komjen Makbul Padmanagara menyebut apa yang disampaikan Kumalasari hanyalah ocehan dan igauan semata. Masa orang ngigau dicari kuitansinya? jawab Makbul saat ditanya apakah ada dugaan kuitansi yang disaksikan Kumalasari itu telah diganti dengan kuitansi lain yang memuat keterangan berbeda.
Makbul berkali-kali mengatakan, kuitansi yang menyebut- nyebut Trunojoyo I dan Bareskrim itu tidak pernah ada. Yang ada hanyalah, dua lembar kuitansi yang tertulis keterangan: biaya administrasi dengan kepolisian. Menurut Makbul, mungkin Kumalasari lupa apa yang sebenarnya pernah dilihatnya.
Tentu saja ini mencengangkan. Bagaimana mungkin seorang jenderal polisi berbintang tiga dapat menyebut kesaksian di bawah sumpah dalam persidangan sebagai ocehan, bahkan igauan?
Padahal, Irman Santosa di persidangan akhirnya juga menyatakan pernah melihat kuitansi untuk Trunojoyo I dan Bareskrim itu saat diperiksa di Bareskrim Polri.
Menurut Makbul, dana dari kedua kuitansi itu dikelola Ishak, bekas penasihat hukum Adrian H Waworuntu, terpidana seumur hidup perkara BNI. Menurut Makbul, oleh Ishak total dana Rp 15,5 miliar dari kuitansi itu sebagian telah dibelikan Nissan X-Trail untuk Kepala Bareskrim (waktu itu) Komjen Suyitno Landung. Sisanya digelapkan, makanya Ishak ditahan. Jadi tidak ada yang mengalir ke sana (Trunojoyo I), kata Makbul.
Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat Benny K Harman menilai, pernyataan subyektif Makbul soal kesaksian di sidang itu menunjukkan gejala mulai hilangnya akal sehat di Polri menanggapi kasus dugaan suap.
Adapun pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia Indriyanto Seno Adjie berpendapat, apa yang diucapkan Makbul merupakan penghinaan terhadap keadilan. Pernyataan itu lebih daripada penghinaan terhadap peradilan (contempt of the court). Sebab, pernyataan tersebut disampaikan saat sidang masih berlangsung, ujar Indriyanto.
Aroma politik
Indriyanto bahkan menduga, bertubi-tubinya bantahan pejabat teras Polri dalam kasus kuitansi itu disebabkan kuatnya resistensi institusional dalam menyikapi kasus itu. Namun, apakah memang hanya itu penyebabnya?
Pertanyaan ini rupanya mengarah pada episode baru yang lebih kompleks. Bau politis itu tampak jelas ketika sejumlah fraksi di Komisi III menunjukkan sikap yang tak satu.
Saat rapat kerja di DPR beberapa waktu lalu, boleh dibilang hanya anggota dari Fraksi Partai Golkar yang berkali-kali mencecar Sutanto. Awalnya Sutanto menyebut Mappaseng menerima dana dari BNI karena berhasil memulihkan aset BNI terkait kasus Bank BPD Bali. Setelah didesak anggota DPR, Sutanto akhirnya mengakui, penerimaan success fee tak dapat dibenarkan.
Dalam wawancara Rabu (24/5) di ruang Sekretariat Komisi III DPR, Trimedya Panjaitan (F-PDIP) menilai upaya kepolisian dalam menangani dugaan suap di Mabes Polri sudah cukup memuaskan. Sebab, jenderal bintang tiga seperti Suyitno Landung bisa sampai diperkarakan. Suyitno kini telah menjadi tersangka kasus penyuapan terkait perkara BNI.
Sudah bagus lho, tapi tidak perlulah sampai sempurna. Sutanto perlu tegas memberi pernyataan bahwa tidak akan ada lagi tersangka baru dalam kasus ini, itu yang kami inginkan, ujar Trimedya.
Menurut seorang sumber di DPR, peliknya pengungkapan kasus dugaan suap itu karena persoalannya sudah mulai memasuki ranah pergulatan politik. Persisnya, pergulatan antara kubu yang tengah berkuasa dan pihak lawan yang menyatakan sebagai oposisi.
Sementara itu, mantan Kepala Polri Jenderal (Pol) Da