Edwin Situmorang dan Pemberantasan Korupsi

Penegakan hukum yang tidak diskriminatif, konsisten, tuntas, dan tegas merupakan tekad Edwin Pamimpin Situmorang, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan. Selama delapan bulan menjabat Kepala Kejati Sumsel, 28 kasus korupsi yang menyeret orang pemerintah, swasta, dan badan usaha milik negara diproses sampai ke pengadilan.

Namun, kasus yang ditanganinya belum menyentuh pejabat level teratas. Menurut pria kelahiran Laguboti, Kecamatan Toba Samosir, Sumatera Utara, 53 tahun silam ini, ada dua penyebab pejabat tinggi yang disebutnya top manajemen itu tidak terjamah dalam penyidikan kasus korupsi.

Pertama, secara hukum, pejabat tinggi itu tidak terbukti terlibat dalam korupsi. Kemungkinan kedua, dia terlibat korupsi, tetapi kami belum menemukan alat buktinya papar Edwin.

Beberapa kasus korupsi yang ditangani Kejati Sumsel antara lain dugaan korupsi DPRD Musi Banyuasin Rp 5,4 miliar periode 2002-2003, korupsi penjualan besi tua Pertamina Rp 1,36 miliar, korupsi program pelayanan angkutan domestik haji tahun 2003-2005 Kanwil Departemen Agama Sumsel Rp 1,06 miliar, dan dugaan korupsi Wali Kota Prabumulih Rachman Djalili untuk proyek pengadaan tanah Rp 3 miliar dan anggaran transportasi PON Rp 207,75 juta.

Di antara kiprahnya itu, ada satu pekerjaan rumah yang belum dikerjakannya, yaitu pemeriksaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di 10 kabupaten/kota dan Provinsi Sumsel tahun 2004 sebesar Rp 328 miliar hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sumsel.

Sesuai prosedur pemeriksaan keuangan pemerintah, pihaknya hanya dapat memeriksa kasus itu setelah laporan BPK disampaikan ke DPR dan Dewan Perwakilan Daerah. Apabila ada indikasi korupsi, DPR akan melaporkannya ke kejaksaan. Tanpa laporan ke kejaksaan, Kejati kesulitan melakukan penyelidikan, katanya.

Ia menyadari stereotip di kalangan masyarakat yang beranggapan bahwa kejaksaan rawan disuap ketika menangani perkara-perkara korupsi.Saya ingin citra kejaksaan di Sumsel ini mendapat hati di masyarakat. Tetapi, penegakan hukum hanya berhasil apabila aparat penegak hukum mendapat kepercayaan dari masyarakat katanya.

Di sisi lain, ia mengharapkan masyarakat berperan serta memberantas korupsi dengan tidak mencoba memengaruhi jaksa melakukan perbuatan tercela. Selain itu, belum adanya kesamaan sikap dan langkah dari aparat penegak hukum menjadi kendala yang harus diatasi.

Harus ada kesamaan langkah. Penegak hukum harus bisa membuat orang takut dan malu berbuat korupsi, kata pria yang menyelesaikan studi S1 di Universitas Padjajaran Bandung tahun 1977. (BM LUKITA GRAHADYARINI)

Sumber: Kompas, 13 Februari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan