Efektifkah Penayangan Koruptor di Televisi?

Bagaimanakah cara menangkap para koruptor yang kabur? Aparat Kejaksaan Agung yang bertanggung jawab menangani problem ini lebih memilih menggunakan prosedur yang terdapat dalam film-film koboi, yaitu menempel gambar penjahat yang dicari ke seluruh negeri dengan membubuhi tulisan Wanted.

Perkembangan kemajuan teknologi komunikasi, terutama televisi, menjadikan wajah-wajah koruptor buronan itu tidak ditempel di setiap ruang publik, melainkan cukup ditayangkan melalui layar kaca. Gejala itu dapat diamati pada acara Wanted yang ditayangkan ANTV setiap Senin pukul 21.00.

Tragisnya, sekalipun foto wajah Sudjiono Timan, Eko Edi Putranto, dan Lesmana Basuki telah ditayangkan, belum ada satu pun tanggapan dari masyarakat. Bahkan, teknik yang digunakan pihak kejaksaan itu belum atau tidak mampu menyajikan kejutan dan menghadirkan perasaan ingin tahu masyarakat secara luas. Namun, langkah perburuan ala film- film koboi itu terus saja bergulir. Apakah langkah ini serius atau sekadar mencari sensasi?

Menjadi tertawaan
Problem substansial lain yang layak dikemukakan adalah Apakah penayangan figur-figur koruptor yang ditambahi dengan data kasus kejahatan mereka cukup efektif? Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan optimismenya. Menurutnya, upaya kejaksaan ini untuk mengimbangi langkah penjahat saat ini yang cukup lihai, misalnya dengan melakukan operasi plastik untuk mengubah ciri-ciri di tubuh atau wajah mereka. Ini mungkin efektif. Kalau ada yang lihat, diceritakan ke orang lain. Mudah-mudahan bisa ketangkap, tegasnya.

Selain itu, menurut Jaksa Agung, target penayangan para koruptor yang buron ini adalah supaya masyarakat teringat wajah mereka dan bisa dilaporkan kepada pihak kejaksaan jika mereka melihat wajah para koruptor ini.

Menjadi terlihat benar bahwa usaha perburuan koruptor yang dijalankan aparat kejaksaan menimbulkan perasaan geli, bahkan tertawaan berkepanjangan. Bukankah wilayah jangkauan siaran televisi kita hanya sebatas pada lingkup nasional? Atau, paling jauh hanya sampai negeri Malaysia atau Singapura. Memang, Singapura selama ini dikenal sebagai negeri yang nyaman dan aman bagi para koruptor untuk bersembunyi. Akan tetapi, masih adakah orang-orang yang peduli dengan para koruptor buron yang telah merampok uang negara yang jumlahnya berlimpah tersebut?

Ini belum lagi dengan persoalan hukum yang berkaitan dengan belum adanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Jadi, misalnya, kalau ada koruptor yang tertangkap karena efek penayangan di televisi ternyata sangat signifikan, belum tentu sang koruptor dapat diseret ke negara kita.

Sang komandan
Permasalahan lain yang layak disoroti adalah penggunaan media televisi untuk menampilkan figur-figur koruptor itu. Kejaksaan memiliki pola berpikir yang mapan jika wajah-wajah koruptor itu ditayangkan, dengan ditambahi data diri yang lengkap beserta ciri-ciri fisik dan kasus korupsinya, seakan-akan masyarakat tergerak secara otomatis melakukan penangkapan. Gejala ini menunjukkan bahwa kejaksaan mendudukkan diri sebagai sang komandan yang memberikan instruksi, televisi dipakai sebagai sarana untuk menyalurkan perintah, dan masyarakat kebanyakan diberlakukan layaknya pasukan yang andal.

Jelas, seluruh pemikiran instruktif itu akan meleset. Tampaknya Jaksa Agung sedemikian terobsesi dengan teori jarum hipodermik yang menyabdakan bahwa media massa sangat penuh kekuatan (powerful) dalam menyampaikan informasi. Apa pun pesan yang digelontorkan media dengan sendirinya akan dipatuhi khalayaknya. Teori ini menyatakan bahwa efek-efek merupakan reaksi spesifik terhadap stimuli yang spesifik pula. Jika seseorang menerapkan teori ini dapat mengharapkan dan memprediksikan hubungan yang dekat antara pesan media dan reaksi khalayak.

Teori ini, sebagaimana diuraikan Denis McQuail dan Sven Windahl (dalam Communication Models: For the Study of Mass Communications, 1981: 42) mengandaikan keterlibatan tiga elemen, yakni (1) stimulus atau rangsangan dalam wujud pesan- pesan atau informasi; (2) organisme yang tidak lain merupakan khalayak yang berkedudukan sebagai penerima pesan; dan (3) respons yang merupakan efek yang dipastikan muncul sebagaimana yang dikehendaki oleh pemberi pesan.

Ringkasnya adalah khalayak yang diberlakukan layaknya organisme biologis akan menyajikan tanggapan yang pasti sesuai dengan rangsangan yang disemburkan oleh sumber yang memberikan informasi. Jalinan stimulus- organisme-respons (S-O-R) pun dengan sendirinya akan tertata dengan rapi.

Namun, terdapat aspek-aspek yang disadari sekaligus tidak dipahami pihak Kejaksaan Agung. Dimensi yang dimengerti sepenuhnya oleh aparat penegak hukum ini adalah media massa, dalam kasus ini televisi, merupakan sarana berkampanye untuk memobilisasikan perilaku yang sesuai dengan maksud-maksud dari lembaga yang memiliki kekuasaan sedemikian hebat.

Kejaksaan Agung, selain juga kepolisian dan ketentaraan, adalah institusi negara yang memiliki otoritas untuk membatasi ruang gerak bagi seseorang yang disangka melakukan tindakan kriminalitas. Aparat represif negara ini diperbolehkan untuk menggunakan media massa sebagai sarana untuk melumpuhkan penjahat yang hendak kabur.

Kesalahan fatalistik yang tidak dipedulikan, atau sengaja dimasabodohkan, oleh pihak kejaksaan adalah teori jarum hipodermik memandang masyarakat modern sebagai agregat (kumpulan) individu-individu yang mengala- mi atomisasi. Individu-individu menjalankan tindakan sesuai dengan kepentingan-kepentingan mereka karena terdapat ikatan sosial yang sedemikian kecil. Individu-individu dianggap tidak lebih layaknya atom-atom sosial yang satu sama lain saling mengalami keterasingan, sehingga dengan begitu gampang dan cerobohnya didikte oleh pesan-pesan media yang berperan sebagai dogma. Karena ketiadaan ikatan solidaritas sosial, maka individu- individu mendapatkan perlakuan sebagai robot yang mudah diindoktrinasi.

Sekadar ilusi

Instruksi jarum hipodermik gaya Kejaksaan Agung hanya akan menjadikan kegundahan dan kejengkelan masyarakat semakin menggunung. Sebabnya adalah masyarakat dipandang sebagai penonton yang hanya mampu bersikap pasif dan menunjukkan kepatuhan tanpa penolakan. Masyarakat pun hendak disulap menjadi segerombolan koboi atau milisi yang akan berperang dengan segenap kesungguhan hati dalam suatu perang suci yang bernama pemberantasan korupsi.

Kalau skenario ini yang memang dikehendaki kejaksaan, jelas yang akan dituai adalah sekadar ilusi. Hal ini disebabkan bahwa kejaksaan hanya berpikir secara sepihak, yakni tentang apa yang diperbuat media terhadap masyarakat, dan bukan sebaliknya bahwa masyarakat pun memiliki kemampuan untuk memperlakukan isi media sesuai dengan seleranya.

Masyarakat bukanlah atom- atom yang mengalami alienasi, melainkan agen-agen yang akan menunjukkan kemampuan subyektivitasnya dalam menanggapi pesan-pesan media. Masyarakat merupakan pihak yang dapat bertindak aktif untuk membaca dan memaknai setiap pesan media yang melintas dan menghunjam benak kesadarannya. Masyarakat mampu menunjukkan kelihaiannya dalam menegosiasikan pesan-pesan media. Sampai pada titik yang sulit diramalkan kepastiannya, masyarakat pun akan melakukan oposisi atau perlawanan terhadap pesan-pesan media itu sendiri. Selain dipertimbangkan, pesan-pesan media akan mendapatkan subversi tanpa henti.

Masyarakat tidak identik dengan sekumpulan individu dungu yang begitu lugu melakukan perintah kejaksaan. Masyarakat pasti melakukan pembacaan secara intertekstual, yaitu memberikan pemaknaan terhadap penayangan koruptor buronan di televisi itu dengan fakta lain yang relevan. Misalnya saja, masyarakat pasti membuka katup memorinya yang bercerita bahwa kaburnya para koruptor kakap itu akibat ketelodoran aparat penegak hukum sendiri.

Apa saja yang telah diperbuat oleh aparat kejaksaan, kepolisian, intelijen, dan aparat imigrasi selama ini? Bukankah penayangan figur para koruptor dan jenis kejahatan yang mereka lakukan justru menelanjangi ketidakbecusan para penegak hukum negeri ini?

Triyono Lukmantoro Pengajar Sosiologi Komunikasi pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro, Semarang

Tulisan ini disalin dari Kompas, 30 November 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan