Ekstradisi Pelengkap Pertunjukan Hukum...

Hari itu, 15 Juli 2003, sebuah rumah mewah di Jalan Jambu Nomor 88 Menteng, Jakarta, dipadati anggota tim eksekutor Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Rumah mewah itu milik Samadikun Hartono, mantan Komisaris Utama PT Bank Modern, yang divonis empat tahun penjara oleh Mahkamah Agung karena menyalahgunakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI pada saat krisis ekonomi dan merugikan negara Rp 11,9 miliar.

Menurut penjaganya, Rudi Atmoko, yang mengaku baru bekerja tiga minggu, rumah itu sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Kepada wartawan, ia juga mengatakan tidak pernah melihat keponakan Samadikun bernama Benny yang disebut-sebut sebagai penunggu rumah itu.

Keterangan Rudi ini bertentangan dengan keterangan para tetangga, yang diwawancarai wartawan ketika itu. Menurut Eni, pembantu rumah tangga yang bekerja di depan rumah Samadikun, rumah itu belum lama ditinggalkan Samadikun. Ia melihat anak-anak Samadikun dan pembantunya pergi dari rumah itu seminggu sebelumnya. Kalau dihitung mundur, sekitar tanggal 7 atau 8 Juli 2003.

Eksekusi baru dilakukan kejaksaan setelah bolak-balik sejak awal Juli 2003, memanggil melalui surat, tetapi Samadikun tak memenuhi panggilan. Empat hari setelah eksekusi gagal, Kejaksaan Agung baru mengakui bila Jaksa Agung MA Rachman, melalui Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Basrief Arief, mengeluarkan izin kepada Samadikun untuk berobat ke Jepang. Awal Agustus 2003, setelah Samadikun lari ke luar negeri, Kejagung mencabut izin berobat itu.

Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Imigrasi, kaburnya Samadikun Hartono, karena ia mengantongi surat izin bepergian ke luar negeri yang dikeluarkan Jaksa Agung RI cq JAM Intelijen tertanggal 27 Maret 2003 bernomor B-4422/D/Dsp/3/03/2003. Samadikun diberi izin untuk mengecek penyakit yang dideritanya di Shonan Kamakura General Hospital Tokyo, Jepang. Padahal, 21 Maret 2003 atau enam hari sebelum izin berobat itu diberikan, Samadikun dicegah ke luar negeri dengan Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP 023/D/Dsp.3/03/2003.

Kejagung baru menanyakan kepada imigrasi pada 23 Juli 2003 soal penggunaan izin berobat. Atau Kejagung baru tergerak menanyakan kepada imigrasi setelah Samadikun pergi ke luar negeri. Kejagung juga tidak berhasil memanggil Nelly Chandra, istri Samadikun.

Bila fakta kaburnya Samadikun dipelajari secara cermat, publik terpaksa menerima tontonan permainan penegakan hukum. Entah apakah betul Kejaksaan Negeri Jakpus, yang kala itu dipimpin Salman Maryadi, betul-betul tidak mengetahui soal surat sakti Jaksa Agung itu, ataukah sebenarnya mereka tahu kalau surat sakti Rachman telah digunakan Samadikun? Hanya kejaksaan yang bisa menjawab soal kebenaran di balik kaburnya Samadikun itu.

Kasus kaburnya Samadikun merupakan satu contoh betapa mudahnya terpidana atau tersangka korupsi, yang notabene berduit banyak, bisa dengan mudah meninggalkan negeri ini. Setelah mereka kabur, barulah pejabat, penegak hukum, dan anggota DPR ribut untuk mengejar mereka dan juga asetnya.

Salah satu tempat yang disorot publik Indonesia sebagai pelabuhan bagi koruptor adalah Singapura. Penelitian Merryl Linch & Co pernah menunjukkan kalau sekitar 18.000 orang dari 55.000 orang kaya di Singapura adalah orang Indonesia. Total aset mereka Rp 506,8 triliun.

Upaya terkini yang dilakukan pemerintah adalah penandatanganan perjanjian ekstradisi dengan Singapura dan perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana alias mutual legal assistance treaty (MLA). Perjanjian itu juga dilakukan dengan Laos, Kamboja, Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, dan Vietnam. Publik pun berharap, perjanjian ini mampu mengejar para koruptor dan asetnya.

Pakar hukum pidana internasional dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Romli Atmasasmita, mengatakan, perjanjian ekstradisi dan MLA tak bisa menyentuh aset korupsi. Ia menilai, Indonesia sebenarnya rugi banyak dengan adanya perjanjian ekstradisi dan MLA ini. Buat apa orang bisa dibawa pulang, tetapi asetnya tidak bisa ditarik sama sekali.

Khusus untuk kasus dana BLBI, Romli mengatakan sudah diselesaikan dengan tiga opsi dari pemerintah, terutama terkait pengembalian kerugian negara. Singapura pasti menolak sebab beranggapan BLBI diselesaikan secara perdata dengan tiga opsi itu. Sementara ekstradisi dan MLA berada pada ranah pidana, ujarnya.

Romli mempertanyakan inkonsistensi kebijakan pemerintah itu. Pada perjanjian ekstradisi disebutkan bisa mundur sampai 15 tahun ke belakang, tetapi di MLA yang justru bisa untuk menarik aset para koruptor berlaku sejak tanggal ditandatangani. Ini kenapa? kata mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) itu dalam sebuah seminar di Jakarta.

Beberapa persoalan juga akan muncul, kata Romli, terkait dengan beberapa hal yang menjadi dasar penolakan ekstradisi, misalnya kalau permohonan ekstradisi diduga terkait dengan persoalan politis, etnis, atau ras. Ekstradisi juga tidak bisa dilakukan jika putusan hukuman berdasarkan hasil persidangan in absentia.

Jaksa agung harus memilah mana kasus yang bisa diajukan untuk dimintakan diekstradisi. Syaratnya dipenuhi. Pemerintah coba penuhi itu, jika dalam waktu enam bulan Singapura mempersulit, Indonesia bisa keluar dari perjanjian itu, kata Romli.

Ketua Masyarakat Profesional Madani (MPM) Ismet Hasan Putro menyayangkan hasil perjanjian ekstradisi dan MLA yang sulit untuk menarik aset para koruptor di Singapura.

Perjanjian ekstradisi Singapura-Indonesia merupakan pepesan kosong. Apalagi Singapura melakukan perjanjian ekstradisi itu karena ada tekanan internasional, terutama dari Thailand, China, dan Filipina yang tidak menghendaki negara itu sebagai bungker koruptor. Jadi, jangan bangga dahulu kalau itu keberhasilan diplomasi Indonesia. Perjanjian ekstradisi itu bisa ditandatangani Singapura karena adanya tekanan dari negara-negara lain, kata Ismet.

Ismet menjelaskan, kenapa disebut pepesan kosong? Singapura diuntungkan dengan citra yang positif dan perjanjian pertahanan itu. Sementara Indonesia tidak dapat apa-apa karena aset koruptor sudah terbang ke mana-mana, sudah dialihkan ke perusahaan di Singapura, katanya. Ismet menyarankan, pemerintah hendaknya memfokuskan pada aset para koruptor BLBI yang masih berada di Indonesia.

Kalau di Singapura, pasti sudah tidak dapat apa-apa lagi. Malah delapan orang yang dikejar itu asetnya tidak lebih dari Rp 2,3 triliun. Sementara berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2006, beberapa koruptor BLBI itu masih punya tunggakan puluhan triliun. Jadi, kejar saja yang di dalam negeri, kata Ismet.

Inilah wajah pemberantasan korupsi Indonesia. Di dalam negeri, tersangka atau terpidana bisa dengan mudah kabur ke luar negeri, dengan berbekal surat dari penegak hukum, juga dengan membawa lari uang hasil korupsi dan asetnya. Setelah kabur ke luar negeri, Indonesia tak mampu menarik aset mereka. Padahal, di sisi lain, jutaan rakyat miskin dan kelaparan turun ke jalan serta jutaan rakyat miskin tak bisa mengakses kesehatan dan pendidikan.

Rakyat hanya berulang kali diberikan tontonan seolah pemerintah serius memberantas korupsi. Rakyat hanya diberi tontonan seolah penegak hukum serius menjerat koruptor.

***

Beberapa Pasal Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura

Artikel 2

Berlaku mundur 15 tahun sejak tanggal perjanjian ini ditandatangani

Artikel 3

1. Jika suatu permintaan ekstradisi dibuat, buron akan diserahkan hanya jika, berdasarkan hukum pihak diminta, merupakan kasus prima facie atau ada kecukupan bukti

2. Buron yang telah divonis sesuai dengan ketentuan perjanjian ini dapat diekstradisi hanya jika ada bukti kalau orang yang dicari adalah orang yang divonis pengadilan pihak diminta.

Artikel 4

Pengecualian Proses Ekstradisi

Ekstradisi tidak berlaku jika :

1. Kasusnya adalah kejahatan politik

2. Jika buron telah menjalani hukuman, telah dibebaskan, atau dimaafkan oleh suatu otoritas atau pengadilan berkompeten

3. Jika orang yang diminta untuk diekstradisi dapat disidangkan pengadilan atau ekstradisi diminta dengan tujuan menjalani hukuman yang dikenakan pengadilan

4. Jika kejahatan itu termasuk kejahatan di bawah hukum militer pihak diminta dan juga bukan pelanggaran di bawah hukum pidana bias

5. Jika pihak yang diminta mempunyai alasan-alasan substansial untuk percaya bahwa permintaan untuk ekstradisi dibuat untuk tujuan menuntut atau menghukum orang lain yang dicari karena latarbelakang ras, agama, etnis, atau opini politik

6.Jika pihak diminta mempunyai alasan-alasan substansial untuk percaya kalau buronan tersebut dikembalikan mungkin dirugikan saat diadili atau dihukum, akan dibatasi kebebasan pribadinya dengan alasan ras, agama, kebangsaan, suku, atau pendapat politik

7.Jika ekstradisi seorang buronan dilakukan untuk tujuan menjalani hukuman, dan keputusan hukuman itu merupakan hasil dari persidangan in absentia.

Beberapa Pasal Perjanjian MLA

Bantuan Timbal Balik (Mutual Assistance) termasuk:

1.Mendapatkan bukti atau menggali pernyataan dari seseorang

2.Membuat janji dengan orang yang akan memberikan bukti atau membantu dalam masalah pidana

3.Membantu dalam menyediakan dokumen yudisial

4.Memeriksa obyek dan tempat

5.Menyediakan dokumen asli atau fokopi dari dokumen-dokumen yang tersedia, catatannya, dan bukti-bukti.

6.mengidentifikasi atau melacak properti

7.membekukan properti yang didapat dari komisi kejahatan

8.melokasikan dan mengidentifikasi saksi dan tersangka

Artikel 31

Perjanjian berlaku sejak masing-masing pihak meratifikasi dan menerima.

Sumber : Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura dan Perjanjia Mutual Legal Assistance in Criminal Matters

Vincentia Hanni

Sumber: Kompas, 5 Juni 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan