Gegap Gagap Kasus Gayus
Kemampuan Gayus untuk merusak penegakan hukum terhadapnya sebenarnya tidak terlalu mencengangkan. Kita semua paham betapa bobrok cara negeri ini membangun penegakan hukum yang rapi. Tetapi bukan berarti tidak menimbulkan sensasi.
Kasus Gayus, yang terlihat disorot oleh media sangat kuat dan gencar, juga melibatkan teropongan tim khusus semisal Satgas Mafia Hukum dan Tim Independen bentukan Kapolri sebelumnya, masih mampu dipermainkan oleh Gayus. Dalam kasus Gayus, penegakan hukum terlihat gegap gempita dengan banyaknya upaya penanganan, tetapi tetap saja gagap untuk melantunkan suara keadilan.
Sejujurnya, jika ditanyakan mengapa Gayus tak kunjung usai membuat sensasi di panggung penegakan hukum kita, jawabannya bisa dua hal. Pertama, Gayus memang memiliki sumber daya yang kuat untuk itu. Di tangan Gayus terdapat segepok uang yang mampu dia jadikan free pass untuk keluar dari penegakan hukum terhadap dirinya. Pada saat yang sama, Gayus juga memiliki informasi yang banyak soal polisi nakal, jaksa yang mudah disogok, pengusaha ”pemain” pajak, bahkan atasan dan sejawatnya yang punya pola dan kerjaan serupa dengannya.
Kedua, kita telah membiarkan Gayus ditangani secara ”jauh” dari layak. Jauh dari kualitas penegakan hukum yang seharusnya dan sejatinya. Selama ini kita membiarkan kasus Gayus ditangani dan dikelola oleh kepolisian dan perangkat penegak hukum klasik lainnya yang boleh jadi sangat dipertanyakan kemampuan dan kemauannya membukanya secara terang benderang. Uang dan informasi yang Gayus miliki dengan seketika bisa menjadi ”mantra” penjinak penegakan hukum.
Dua hal ini berkolaborasi dengan mentalitas aparat penegak hukum yang tidak pernah belajar dari kesalahan. Dalam kasus Gayus, tak ada yang mau bertanggung jawab, bahkan dengan cepat melempar kesalahan kepada yang lain. Dalam kasus ini, kejaksaan dan kepolisian sempat saling lempar penanganan jaksa nakal, dan kembali terjadi saling lempar dengan Kemhuk dan HAM soal penanggung jawab melenggangnya Gayus dari Rutan Brimob.
Batu pijakan
Sesungguhnya, kasus Gayus harus bisa menjadi cermin betapa besar kebutuhan kita akan perbaikan penegakan hukum di negeri ini. Cermin semacam ini sebenarnya telah berkali-kali muncul, tetapi tak kunjung dijadikan ajang refleksi untuk perbaikan negeri. Karena itu, kali ini, harus dijadikan batu pijakan perbaikan yang bukan hanya untuk ke depan, tetapi bisa dimulai dengan kasus Gayus.
Pertama, mustahil berharap banyak untuk dapat membongkar kasus-kasus tertentu yang melibatkan unsur aparat penegak hukum hanya dengan menggunakan aturan hukum yang ada. Ada sekian nama besar yang disebutkan Komisaris Polisi Arafat dalam sidang kode etik sebagai orang yang terlibat dan ikut bertanggung jawab atas kasus Gayus, tetapi nama-nama tersebut menghilang begitu saja.
Mengharap kepolisian menyelesaikan ini hanya karena berdasar aturan hukum bahwa kepolisian yang berwenang untuk hal ini hanya akan mendatangkan potensi involutif. Harus ada upaya yang lebih berani dengan menggunakan terobosan hukum dan kemampuan nalar hukum untuk menegakkan hukum subtantif. Bukan hukum yang pura-pura.
Pada kasus yang melibatkan aparat penegak hukum, penting diciptakan mekanisme yang independen untuk menangani perkaranya. Sulit untuk berharap pada lembaga penegak hukum yang lebih bernafsu membebaskan daripada membongkar perkara tersebut. Semisal pada kasus Gayus, KPK seharusnya punya tugas besar untuk menjalankan makna independensi tersebut. Memang, akan ada perdebatan perihal perkara ini masuk ke wilayah koruptif atau tidak.
Ataupun bisa saja dibiarkan lembaga klasik ini menangani perkara tetapi dengan supervisi. Nah, pada posisi ini peran lembaga seperti KPK atau tim seperti Satgas Mafia Hukum diperlukan.
Kedua, sistem dan mekanisme penanganan para mafia hukum serta pemberian efek jeranya. Menangani mafia hukum tentu tidak bisa serampangan. Mereka bahkan bisa merusak, baik ketika di rutan dalam kaitan masih tahanan titipan maupun ketika telah dijatuhkan sanksi penjara. Kasus Gayus dan Ayin mengingatkan saya pada tulisan Saudara Hasrul Halilli (Kompas, 12/8/2008) yang berjudul ”Tak Gentar dengan Penjara”. Para koruptor dan mafia memang tak gentar dengan terali besi. Mereka mudah menerabas karena buruknya sistem dan personel yang ada di sana.
Perbaikan niscaya harus dilakukan. Meski sedang dititipkan sebagai tahanan, bukan berarti memutuskan pemantauan dan tanggung jawab terhadap tahanan berjenis mafia ini. Kemhuk dan HAM yang memang memegang pembinaan atas keseluruhan rutan dan lapas tidak boleh melepaskan tanggung jawab.
Pada saat yang sama, merancang hukuman yang menjerakan bagi para koruptor dan mafia juga menjadi tugas penting. Ide penguatan hukuman, hukuman yang memiskinkan dan hukuman kerja sosial bisa menjadi alternatif selama tidak melanggar prinsip-prinsip HAM akan cruel and unusual punishment.
Pertanyaan akhirnya lagi-lagi, mampukah? Maukah? Kita sudah bosan dengan penegakan hukum yang hanya gegap terlihat, tetapi gagap untuk ditegakkan. Para pemegang kuasa harus melakukannya sekarang. Termasuk Presiden SBY yang memiliki kuasa besar untuk melakukan tero- bosan tanpa perlu menggolongkannya sebagai intervensi. Makanya, harus mampu dan mau!
Zainal Arifin Mochtar Pengajar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum UGM Yogyakarta; Direktur PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Kompas, 22 November 2010