Gugatan Publik untuk Koruptor
BELAKANGAN ini terdapat tiga gugatan publik yang ditembakkan kepada koruptor. Pertama, publik tidak menginginkan koruptor mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman setelah menjalani hukumannya di penjara. Kedua, hak prerogatif presiden dalam memberikan grasi kepada koruptor pun ditentang publik. Artinya, khusus koruptor, presiden disarankan tidak perlu memberikan grasi. Ketiga, ketika koruptor meninggal dunia, publik meminta mayatnya tidak perlu disalati.
Gugatan publik kepada koruptor tersebut melebihi gugatan publik kepada teroris. Kalau soal grasi dan remisi terhadap teroris, publik tidak gencar menggugat. Untuk penguburan mayar teroris, sebagian masyarakat menolak bilamana teroris dikuburkan di wilayah komunitasnya.
Sebelum adanya tuntutan tersebut, masyarakat juga sudah menggelindingkan isu penambahan dan penguatan sanksi yang ditembakkan kepada koruptor, seperti gerakan memiskinkan koruptor, hukuman mati, dan mengasingkannya dari ranah pergaulan di masyarakat. Meski tuntutan itu tidak sederas tigas aspek di atas, setidak-tidaknya ikut menguatkan gugatan publik yang bercorak menimbulkan kondisi menyulitkan koruptor.
Itu menunjukkan bahwa gugatan publik kepada koruptor semakin berat. Publik dari waktu ke waktu menuntut kepada setiap elemen negara supaya koruptor benar-benar dijadikan musuh bersama (common enemy) yang tidak sebatas dimusuhi ketika masih hidup, tetapi juga sudah meninggal dunia.
***
Sikap publik memusuhi koruptor tersebut layak dibaca dalam ranah tafsir misoginisme publik atau kebencian masyarakat kepadanya. Masyarakat sudah mulai memasuki tingkat kesadaran kolektivitas untuk memperlakukan koruptor sebagai ancaman yang tidak bisa dianggap sepele.
Pertama, tafsir misoginisme tersebut dapat dibaca lebih lanjut sebagai bentuk penolakan masyarakat terhadap berbagai bentuk regulasi negara yang memberikan kompensasi atau penghormatan bagi setiap orang, termasuk koruptor yang sudah membuktikan dirinya bisa berbuat baik selama berada di lembaga pemasyarakatan (lapas).
Kedua, penolakan terhadap hak-hak koruptor dapat dinilai sebagai wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap koruptor bahwa dia (koruptor) bisa menjadi orang baik. Artinya, hak koruptor untuk menjadi orang baik-baik, sudah atau sedang menjalani pentobatan atau berkeinginan memperbaiki diri selama berada di lapas, tetap belum dipercaya oleh masyarakat.
Ketiga, ketiadaan pemberian maaf dari publik, meski barangkali koruptor sudah berusaha menjadi orang baik-baik selama di lapas, dapat dibaca sebagai bentuk antipati masyarakat terhadap koruptor. Masyarakat menilai, apa yang dilakukan koruptor selama ini telah menimbulkan kerugian yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat sehingga kata maaf tidak perlu diberikan kepadanya.
Ketiga aspek tersebut dapat dibaca sebagai sikap perlawanan berlapis dan bermacam-macam yang ditunjukkan masyarakat kepada koruptor. Koruptor telah ditempatkan oleh masyarakat sebagai teroris kelas berat atau sosok penjahat tak berkeadaban yang telah menghancurkan peluang masyarakat menuai hidup sejahtera, menutup pintu anak-anak miskin untuk melanjutkan pendidikannya di sekolah berkelayakan, menghancurkan peluang pengangguran untuk memperoleh pekerjaan yang memanusiakan, dan membuat jutaan bayi negeri ini mengidap kekurangan gizi atau potensial menjadi generasi tak berkualitas.
Perlawanan berlapis yang dilakukan masyarakat tersebut seharusnya dijadikan peringatan keras oleh para koruptor atau siapa pun yang bermaksud membibit (mengader) dirinya menjadi penyelingkuh kekuasaan bahwa masyarakat sekarang mulai cerdas dan sadar kalau koruptor tidak boleh diberikan tempat berjaya atau menjadi jawara terus-menerus.
Ketidakpercayaan masyarakat tersebut juga beralasan. Sebab, di lapas itu terdapat dua stratifikasi narapidana yang mendapatkan stigmatisasi ''kelas bintang''. Pertama, para penjahat kerah putih (koruptor). Kedua, para penjahat beraliran sadisme, seperti perampok yang suka menganiaya atau membunuh.
Khusus untuk para penjahat kerah putih, terutama sebelum Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, sudah menjadi rahasia publik bahwa mereka adalah kumpulan anak-anak emas yang mendapatkan perlakuan istimewa selama di lapas. Kalau kamar tahanan saja bisa disulap menjadi kamar hotel berbintang, logis jika masyarakat pun berpraduga bahwa remisi yang dikeluarkan juga belum layak dijadikan parameter telah beralihnya status koruptor menjadi penobat.
***
Kasus terbongkarnya ''hotel berbintang'' yang diberlakukan untuk Artalya di lapas oleh satgas awal tahun ini setidaknya dapat dijadikan pijakan bahwa sikap masyarakat yang sangat radikal dalam menghakimi koruptor tidak bisa disalahkan. Masyarakat dihadapkan kepada realitas bekerjanya sistem pembentukan atau pembinaan narapidana yang masih rapuh dan sarat penyakit, yang di antara penyakitnya berupa simbiosis mutualisme antara napi dengan oknum aparat lapas.
Membaca fenomena itu, patut dikhawatirkan aspek lainnya bahwa masyarakat yang merasa kecewa kepada negara akibat sikapnya yang memanjakan koruptor disambut dengan pola radikalisme oleh masyarakat. Masyarakat yang merasa dikecewakan oleh negara menjatuhkan opsi dalam bentuk melaksanakan hukuman sosial kepada koruptor.
Para penjahat berdasi itu dianggap terlalu ringan dalam menjalani hukumannya di lapas sehingga perlu ditambah dengan hukuman jenis lainnya seperti diarak secara masal atau diperlakukan layaknya pencuri yang tertangkap tangan. (*/c4/)
*)Abdul Wahid, dekan Fakultas Hukum dan pengajar program pascasarjana Ilmu Hukum Unisma Malang
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 27 Agustus 2010