Haji dan Pemberantasan Korupsi

Ibadah haji dianggap sebagai rites de passages (ibadah peralihan) bagi setiap Muslim. Haji menjadi satu fase transisi dalam kehidupan orang Islam.

Setelah menunaikan ibadah haji, tahap kehidupan baru dimulai. Diharapkan ada perubahan pada jemaah haji sepulang dari Tanah Suci. Karena itu, haji menjadi ungkapan ruh zaman. Haji memberi warna bagi masa kapan ia dilaksanakan.

Sarana penyadaran
Pada masa penjajahan abad XIX, ibadah haji menjadi sarana penyadaran penduduk Hindia Belanda (Indonesia) tentang kemerdekaan bangsanya. Jadilah para haji-haji sebagai penggerak antipenjajahan (Wiltox:1997). Paruh pertama abad XX, haji dilihat sebagai jembatan tercepat meraih martabat di tengah masyarakat. Misalnya di Minangkabau, banyak anak muda yang ingin melaksanakan ibadah haji, dilanjutkan menuntut ilmu dengan tekun. Sekembalinya dari Tanah Suci, mereka dihormati dan dengan segera akan dilamar untuk menikah (Vredenbergt:1997). Lalu, apa ruh dan makna haji pada masa sekarang?

Kini, haji mungkin hanya menjadi pendongkrak status sosial di masyarakat. Seseorang yang semula kurang terpandang di masyarakat mendadak dihargai usai melaksanakan ibadah haji. Tak sedikit orang akan marah jika tak dipanggil haji. Jadi, di Indonesia haji sebatas simbol berupa tambahan gelar di depan nama H (haji) dan memakai peci putih yang tidak memiliki manfaat bagi orang banyak.

Bagi seorang ustadz, kiai, atau tuan guru gelar haji akan meningkatkan ”daya jual” di umat. Misalnya, di Makassar dan Mataram, tanpa gelar haji mereka dilihat dengan sebelah mata.

Di kalangan pejabat kita banyak yang telah berhaji, tetapi tidak ada perubahan yang dibawanya, semisal berkurangnya korupsi. Yang terjadi malah sebaliknya, praktik korupsi justru menjadi-jadi.

Karena itu, pernahkah menyoal hakikat kehajian Anda sepulang dari Tanah Suci? Selama ini, pertanyaan seperti itu sering ditujukan pada individu atau masing-masing jemaah haji. Tetapi, pernahkah Anda mempertanyakan hal itu dalam konteks nasional? Tegasnya, mengapa banyak rakyat Indonesia yang berhaji, tetapi tidak mampu mengubah kondisi bangsa?

Korupsi
Terbongkarnya kasus korupsi yang melibatkan sejumlah mantan pejabat Departemen Agama menjadi bukti otentik betapa penyelenggaraan haji sarat korupsi. Jika dirunut, mulai dari pendaftaran hingga kepulangan jemaah haji, akan dijumpai betapa jemaah selalu dikuntit praktik korupsi oknum-oknum. Jika demikian, bagaimana mungkin jemaah haji Indonesia dapat diharapkan sebagai ”agen perubahan” masyarakat.

Hal ini diperparah kenyataan, banyak orang yang berpikir ibadah haji adalah upaya pembersihan harta kekayaan yang berasal dari korupsi. Haji menjadi bentuk tobat penyucian diri koruptor. Mereka berpikir, ibadah haji yang mereka lakukan akan membersihkan semua kesalahan. Orang yang melakukan kesalahan, lalu bertobat dan pergi haji tentu dipuji, tetapi tidak dengan uang haram.

Para ulama sepakat, uang yang berasal dari sesuatu yang haram, seperti menang lotre, judi, hasil korupsi, dan memeras orang, tidak boleh digunakan untuk kebaikan, seperti haji. Sarana ibadah yang dihasilkan dari uang haram tidak akan diterima. Nabi menjelaskan, Allah tidak akan menerima sedekah yang berasal dari uang judi. Begitu juga haji. Ketika seorang berhaji dengan uang hasil korupsi, hajinya tidak diterima sama sekali.

Membatalkan
Thabrani dan Isbaheni meriwayatkan sebuah hadis Nabi yang menjelaskan, orang yang berhaji dengan harta yang

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan