Harus Ada Mekanisme Pemeriksaan Pejabat Daerah

Pemerintah harus segera membuat sebuah peraturan mengenai mekanisme pemeriksaan pejabat daerah yang diduga melakukan korupsi. Namun, aturan itu juga diharapkan tidak menyurutkan langkah-langkah pemberantasan korupsi.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti yang dihubungi pada Minggu (18/6) mengatakan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sudah mengatur mekanisme pemeriksaan pejabat daerah yang diduga terlibat kasus korupsi, tetapi belum ada petunjuk pelaksanaan untuk mekanisme tersebut. Beberapa waktu lalu, Mendagri menjanjikan akan membuat mekanisme itu, tetapi hingga kini belum juga terwujud.

Ray mengatakan bila mekanisme pemeriksaan pejabat daerah yang diduga terlibat korupsi itu sudah ada, diharapkan penegak hukum (jaksa, polisi, dan hakim) tidak mempermainkan kasus korupsi untuk kepentingannya sendiri.

Bisa jadi ujung-ujungnya duit. Karena itu, juklak mekanisme itu seharusnya ada, tetapi jangan sampai membuat aparatur penegak hukum sulit menjerat pelaku tindak pidana korupsi. Aparat penegak hukum juga jangan main-main. Kalau ada pertanyaan, mana yang lebih penting, apakah menjalankan pemerintahan atau memberantas korupsi, tentu saya memilih pemberantasan korupsi, kata Ray.

Menurut dia, penyelenggaraan pemerintahan daerah tetap bisa berjalan meski ada pejabat negara yang diperiksa berkaitan dengan korupsi. Misalnya saja, bila gubernur diperiksa karena dugaan korupsi, masih ada wakil gubernur yang menggantikan tugasnya, dan bila keduanya diperiksa, ada sekretaris daerah.

Dihubungi terpisah, Kepala Pusat Kajian Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara Deddy Supriady Bratakusumah mengatakan saat ini banyak anggaran di APBD yang belum bisa dilaksanakan karena pegawai negeri sipil takut ditunjuk menjadi pimpinan proyek. Seharusnya, kata dia, badan pemeriksa jangan dulu memeriksa proyek yang sedang berjalan.

Saat ini reformasi sistem keuangan negara, penegakan hukum, dan birokrasi belum tuntas, belum sejalan, bukan hanya di daerah, di pusat juga. Ketika penegakan hukum didorong, cara kerja para birokrat masih memakai sistem lama, ungkapnya.

Ia mencontohkan pimpinan proyek harus mencari dana taktis untuk memenuhi kebutuhan tak terduga, karena takut diperiksa, mereka membuat laporan pertanggungjawaban fiktif. Sebenarnya mereka tidak berniat korupsi, tetapi pimpro harus menyediakan dana taktis, misalnya untuk menyetor ke pejabat daerah atau untuk melicinkan proyeknya. Nah, ini yang belum ada solusinya sehingga sekarang pun mereka takut menjadi pimpro, kata Deddy.

Menurut Deddy, pimpro seharusnya berani untuk mengatakan tidak ada dana untuk pejabat daerah atau untuk hal-hal lainnya di luar proyek. Pimpro jangan jadi sapi perah. Mereka mempunyai tugas yang berat, tetapi mendapat gaji yang kecil, kira-kira hanya Rp 750.000 per bulan. Seharusnya itu ditambah, misalnya 5 persen dari nilai proyek sehingga dia pun tidak perlu melakukan mark-up, ujarnya. (SIE)

Sumber: Kompas, 19 Juni 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan