Heboh Polisi Kita
Polri sekarang memang luar biasa. Perhatian bangsa ini kepada Polri begitu besar. Tak heran jika proses pencalonan Kepala Polri menjadi begitu heboh dibandingkan proses pencalonan Panglima TNI.
Sayangnya, Presiden SBY yang membawahkan Polri tak mencermati ini. Karena itu, proses pengangkatan Timur Pradopo sebagai calon Kapolri dilakukan lebih cepat daripada ”mengarbit buah”.
Senin, 4 Oktober 2010, setelah keluar tergesa-gesa dari sidang kabinet di Istana Merdeka, Jakarta, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengeluarkan Telegram Rahasia (TR) Mutasi terhadap Irjen Timur Pradopo dari Kapolda Metro Jaya menjadi Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Polri. Dalam hitungan jam, Timur langsung dilantik dan dinaikkan pangkatnya menjadi komisaris jenderal.
Padahal, TR Mutasi yang dikeluarkan Kapolri pada Kamis, 30 September 2010, terhadap puluhan perwira Polri hingga kini belum dilakukan pelantikannya. Dalam hitungan jam pula, Presiden mencalonkan Timur sebagai Kapolri dan menyerahkan surat pencalonannya kepada DPR.
Aksi ”pengarbitan” ini makin mengejutkan tatkala publik mengetahui ternyata Timur tak masuk daftar yang dicalonkan Kapolri dan Komisi Kepolisian Nasional kepada Presiden. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dalam memilih calon Kapolri, Presiden harus memerhatikan masukan kedua lembaga. Memang, dalam menentukan calon Kapolri, Presiden memiliki hak prerogatif. Meski demikian, sangatlah elok jika Presiden memerhatikan etika, tradisi, dan kebiasaan yang menjadi kepatutan dalam proses pencalonan Kapolri selama ini.
Kasus hampir serupa pernah terjadi di era Presiden Megawati. Saat itu Kapolri Jenderal Bimantoro yang akan diganti menyerahkan tiga nama calon. Mega tak setuju dan mengembalikannya serta meminta Polri melakukan rapat ulang Dewan Kebijakan. Hasilnya, Bimantoro menyerahkan tiga nama baru. Nama Komjen Da’i Bachtiar ada di antaranya. Mega lalu memilih Da’i dan menyerahkannya kepada Komisi III. Proses pemilihan Kapolri berjalan lancar tanpa cacat dan tak menimbulkan protes serta heboh di sana-sini.
Belajar dari kasus Timur, elite pemerintahan ataupun elite kepolisian sudah saatnya mau menyadari, Polri adalah lembaga yang sangat peka sekarang ini. Berbagai kasus menyangkut Polri selalu menimbulkan kehebohan. Lihat saja kasus Cicak-Buaya, kasus Gayus, kasus Susno, kasus rekening gendut, dan lainnya. Ini fakta yang harus dihadapi dan disikapi dengan cermat.
Polri diuntungkan
Kehebohan-kehebohan ini juga buah reformasi. Dengan reformasi, Polri sesungguhnya paling diuntungkan. Reformasi membuat Polri terpisah dari TNI, yang membuat Polri seperti lembaga ”superpower” yang tak tersentuh. Sejak berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak satu pun pejabat Polri diperiksa. Sementara begitu banyak kepala daerah, pejabat departemen, jaksa, hakim, duta besar, dan anggota legislatif diperiksa KPK serta diadili di Pengadilan Tipikor. Apakah ini karena pejabat Polri benar-benar bersih? Tentu tidak.
Keuntungan lain Polri dari buah reformasi dan kerap menimbulkan iri adalah soal anggaran. Sepanjang era reformasi, Polri mendapatkan kenaikan anggaran 900 persen. Tahun 1999/2000 anggaran Polri hanya Rp 3,2 triliun. Tahun 2010 dan 2011 melonjak menjadi Rp 27,1 triliun dan Rp 28,1 triliun. Bandingkan dengan anggaran TNI. Tahun 1999/2000 hanya Rp 9,9 triliun dan tahun 2010 menjadi Rp 42 triliun. Hanya naik 424 persen untuk lima lembaga (angkatan darat, laut, udara, Mabes TNI, dan Kementerian Pertahanan). Ironisnya, kenaikan anggaran yang begitu besar tak berbanding lurus dengan kenaikan kinerja dan pelayanan kepada masyarakat. Keluhan terhadap Polri masih terus bermunculan.
Munculnya berbagai keluhan ini akibat tidak konsistennya elite kepolisian menjalankan reformasi di institusinya. Kemudian, masih salah kaprahnya penggunaan anggaran dan tajamnya diskriminasi di internal Polri. Salah kaprah penggunaan anggaran terlihat dalam Program Pembangunan dan Rencana Kebutuhan Baseline Polri 2010-2014 yang menghabiskan Rp 143 triliun. Dalam program ini, elite Polri lebih mengarahkan institusinya sebagai ”pemadam kebakaran”, bukan mengedepankan polisi sebagai aparat yang melakukan cegah dini atau tindakan preventif. Ini terlihat dari minimnya anggaran intelijen yang hanya Rp 1 miliar untuk Pengembangan Strategi Kamtibmas selama lima tahun.
Tajamnya diskriminasi di dalam Polri juga makin mengkhawatirkan. Diskriminasi menyangkut suku, agama, ras, antara Akpol dan non-Akpol, serta antara lelaki polisi dan wanita polisi. Figur-figur non-Akpol diposisikan sebagai warga negara kelas dua. Mereka kerap termarjinalisasi.
Sangat ”tak mungkin” bagi mereka bisa masuk ke Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Sekolah Staf dan Pimpinan, dan Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi. Sangat mustahil bagi mereka bisa mendapatkan pangkat brigadir jenderal. Jika di internalnya saja masih bercokol kanker diskriminasi, bagaimana jajaran Polri mampu bersikap profesional dan mengedepankan kesetaraan dalam melakukan penegakan hukum di tengah masyarakat?
Melihat kompleksnya persoalan di internal Polri, institusi ini memang sangat membutuhkan figur Kapolri yang punya kapabilitas serta integritas tinggi dan bukan figur ”karbitan”. Ada tiga hal yang harus dilakukan dengan konsisten oleh Kapolri baru, yaitu mau bersikap tegas, mau menjadi teladan, dan mau menjalankan fungsi kontrol secara maksimal. Selama ini banyak figur di Polri yang mampu menjalankan ketiga hal tersebut.
Persoalannya, mereka tidak mau. Kalaupun mau, tidak pernah konsisten. Akibatnya, pimpinan kepolisian selalu terlihat tak tegas. Polri dilanda krisis keteladanan berkepanjangan. Sistem kontrol tak pernah berjalan maksimal. Di mana-mana publik mengeluhkan sikap, perilaku, dan kinerja polisi. Kehebohan selalu muncul dari institusi Polri. Tak mudah menjadi Kapolri di tengah besarnya perhatian bangsa kepada kepolisian dan tingginya tuntutan publik kepada Polri. Namun, jika Presiden sebagai institusi yang membawahkan Polri senantiasa cermat menyikapi dinamika masyarakat dan masyarakat secara bersama-sama mencermati dinamika Polri, tentu Kapolri baru akan lebih bisa membenahi institusinya.
Neta S Pane Ketua Presidium Indonesia Police Watch
Tulisan ini disalin dari Kompas, 8 Oktober 2010