Hendardi Dukung Penangguhan; Yang Penting Alasannya Logis

Pengamat hukum Hendardi menyambut baik kebijakan Kapolri yang tidak akan menangguhkan penahanan para tersangka korupsi. Masyarakat juga bisa menerima sepanjang alasannya logis. Dia dan masyarakat menolak kebijakan tersebut jika alasannya mengada-ada.

Memang, kata direktur Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) itu, permintaan penangguhan penahanan tersebut dibenarkan secara hukum. Tapi, Kapolri berhak menetapkan kebijakan tersebut. Kapolri memiliki hak subjektif dan wewenang penuh untuk menolak atau mengabulkan permohonan penangguhan penahanan.

Karena itu, kebijakan Kapolri harus dilihat dari sudut pandang logis. Jika dikhawatirkan bisa menyulitkan penyidikan, penangguhan penahanan bisa diterima. Tapi, bila alasan polisi tidak masuk akal dan terkesan mengada-ada, itu wajib dipertanyakan.

Seperti diberitakan, Kapolri Jenderal Pol Sutanto mengeluarkan instruksi untuk tidak memberikan penangguhan penahanan terhadap para tersangka korupsi. Instruksi tersebut telah disampaikan kepada seluruh jajaran Polri. Kebijakan terhadap para koruptor itu menyusul kebijakan terhadap pelaku perjudian serta narkoba.

Sebelumnya, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh memperkirakan, para tersangka korupsi lari ke luar negeri, antara lain, karena mendapatkan penangguhan penahanan atau pengalihan status dari tahanan rutan menjadi tahanan kota.

Peniadaan penangguhan penahanan bagi koruptor tersebut ditentang sebagian pengacara yang menangani kasus korupsi. Pengacara mantan Direktur Kepatuhan BNI Mohamad Arsyad, T. Nasrullah, menganggap kebijakan itu sangat kebablasan.

Dalam KUHP, kata dia, diatur masalah penangguhan dan pengalihan penahanan tersebut. Karena itu, dia berharap Kapolri tidak terjebak dalam euforia penegakan hukum yang berlebihan.

Sesuai KUHP, status penahanan bisa ditangguhkan, asalkan tidak ada indikasi tersangka menghilangkan barang bukti atau melarikan diri. Kalau semua tidak boleh ditangguhkan, berarti melanggar KUHP, tegasnya kepada wartawan koran ini.

Dia mencontohkan, kondisi kesehatan kliennya, Arsyad, sedang drop. Arsyad mengalami penyempitan kateter jantung. Penyakit yang diderita sejak 1992 itu semakin parah. Bahkan, sekarang penyempitan yang terjadi mencapai 80 persen.

Dokter RS Kramat Jati yang memeriksa kliennya selama ini merekomendasikan untuk dilakukan operasi. Operasi pemasangan cincin di jantung Arsyad dicanangkan pada 11 dan 23 Januari lalu. Karena itu, dibutuhkan izin kepolisian. Permohonan diajukan sejak dia ditahan pada 23 November 2005. Tapi, sampai kini, izin belum dikeluarkan. Kalau terjadi apa-apa terhadap klien saya, siapa yang bertanggung jawab? Saya akan menuntut, ujarnya.

Dia juga meminta agar polisi tidak merusak sistem dengan membuat hukum baru. Mereka (polisi, Red) kan tidak membuat hukum, tapi hanya memiliki wewenang untuk melaksanakan, tegasnya.

Nasrullah menyatakan, sama dengan penangguhan penahanan, penghentian penyidikan diatur dalam undang-undang. Kita kan tahu, surat perintah penghentian penyidikan (SP3) itu diatur UU. Jadi, Kapolri harus melihat kondisi klien dan kasusnya. Jangan menyamaratakan, ungkapnya.

Ampuan Situmeang, pengacara Johanes Kennedy, tersangka dugaan mark up pengadaan proyek pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) di Sumatera Selatan, tenang-tenang saja. Sebab, status kliennya masih tersangka dan menjalani pemeriksaan.

Bila sampai 3 Februari belum ada bukti yang bisa diajukan ke pengadilan, sesuai KUHP, pemeriksaan harus dihentikan. Tanggal 3 Februari itu pemeriksaan terakhir. Kami berharap tidak diperpanjang. Ini kan baru dugaan mark up. Bagaimana mereka bisa membuktikan? ujar pria yang juga duduk di Dewan Pimpinan Cabang Ikatan Advokat Indonesia Kota Batam tersebut. (yun/gup)

Sumber: Jawa Pos, 30 januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan