Indeks Korupsi dan Kepentingan Bisnis

Corruption perception index (CPI) tahun 2006 yang dirilis Transparency International (TI) pada 4 November lalu meletakan Indonesia pada peringkat 7 negara terkorup dari 163 negara.

Senin, 04 Desember 2006

Oleh :

Posisi ini naik 1 peringkat dari tahun 2005 yang menempati posisi 6 negara terkorup dari 159 negara. Namun nilai indeks 2,4 yang dikantongi Indonesia pada tahun ini belum menandakan adanya perbaikan berarti. Nilai di bawah 3 masih dikategorikan negara yang memiliki masalah korupsi sangat parah (severe corruption problem). Karena CPI merupakan indeks yang dibuat berdasarkan survei banyak lembaga survei ekonomi, rendahnya CPI juga dapat menunjukan buruknya kalangan bisnis menilai Indonesia.

Sumber data CPI
TI membuat CPI sebagai cara untuk melihat tingkat korupsi negara-negara dengan fokus utama korupsi yang terjadi di sektor pelayanan publik dan politisi. Survei dalam membuat rating CPI sebenarnya adalah survei dari banyak survei (poll of polls) menggunakan data hasil survei beberapa lembaga yang dianggap kredibel. Di tahun ini, terdapat 9 lembaga yang dijadikan sumber untuk pembuatan peringkat di antaranya; Country Risk Service and Country Forecast, Economist Intelligence Unit, Merchant International Group, World Economic Forum, dan World Market Research centre. Lembaga-lembaga ini adalah lembaga yang melakukan riset rutin yang berkaitan dengan kepentingan bisnis dan iklim investasi. Misalnya, World Economic Forum melakukan survei tingkat kompetisi global (global competitiveness report) setiap tahun yang di tahun 2006 dilakukan di 125 negara. Selain itu terdapat juga lembaga lain yang melakukan riset serupa seperti World Market Research Center yang melakukan penelitian tentang tingkat resiko (risk ratings) dengan wilayah cakupan lebih luas, di 186 negara.

Selain lembaga-lembaga yang bersifat global terdapat juga lembaga-lembaga yang bersifat regional seperti United Nations Economic Commission for Africa yang melakukan survei tata pemerintahan yang baik di Afrika (Africa Governance Report). Selain itu juga ada Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang sudah sering kita dengar dengan hasil survei tahunannya yang dipublikasikan lewat Asian Intelligence Newsletter. Hasil survei PERC bisa jadi termasuk rujukan utama TI untuk melihat tingkat korupsi di Asia yang mencakup 14 negara dalam 2 tahun terakhir.

Bisnis dan korupsi
Masing-masing dari lembaga tersebut membuat survei rutin dengan berbagai fokus sesuai dengan ciri khas lembaga. Di antara fokusnya itu menyangkut risiko bisnis, tingkat kompetisi, dinamika dari area abu-abu (grey area dinamics) di setiap negara dan bagaimana pengaruh korupsi terhadap ekonomi yang pada akhirnya dapat memengaruhi aktivitas dunia usaha.

Hal yang nyata terlihat dari masing-masing hasil survei ini adalah perhatian yang sangat serius terhadap isu korupsi sebagai indikator utama. Seperti survei Merchant International Group (MIG) yang melihat bagaimana fenomena suap dari tingkat menteri di suatu negara sampai tingkat pegawai terendah. Data ini kemudian menunjukkan bagaimana korupsi juga menjadi salah satu faktor area abu-abu yang menyebabkan investasi di bidang pasar non-domestik dapat menemui kegagalan atau tidak berjalan semestinya (under perform). Dalam metode yang digunakan oleh MIG, faktor korupsi disejajarkan dengan 10 kriteria lain seperti ancaman ekstremisme, keamanan aset, kriminal terorganisasi, persaingan tidak sehat, dan faktor birokrasi.

Dari riset lembaga-lembaga pembuat rating ini terlihat bahwa korupsi dipandang sebagai faktor yang sangat diperhitungkan oleh kalangan bisnis. World Market Research Center (WMRC) sebagai lembaga yang terluas cakupan surveinya bahkan tidak hanya menyoal korupsi dalam kaitan dengan birokrasi seperti suap dalam perizinan yang tergolong korupsi skala kecil (petty corruption). Lembaga ini bahkan menyoal hingga korupsi skala besar seperti korupsi politik yang terkait dengan keterlibatan berbagai kekuatan politik sebagai penghambat masuknya investasi.

Kepentingan Bisnis
Keterlibatan berbagai lembaga survei ekonomi dalam pembuatan peringkat korupsi harus dibaca dalam setidaknya 2 perspektif yang berbeda. Pertama, dari sisi TI sebagai lembaga yang melakukan survei, data yang dari lembaga-lembaga ini sangat valid dan terbarui (up to date). TI bahkan memiliki mekanisme tertentu dalam memilih lembaga survei sebagai sumber data seperti tidak menyertakan hasil survei dari Universitas Colombia (State Capacity Survey) karena sudah berumur lebih dari 2 tahun.

Selain karena dapat menyediakan data yang baru dan valid, pemilihan lembaga-lembaga ini juga didasarkan pada asumsi bahwa responden yang digunakan di dalam survei lembaga-lembaga ini dipandang sebagai pihak yang cukup berjarak dengan pemerintah negara yang bersangkutan. Responden yang kebanyakan dari kalangan ahli dan pelaku ekonomi (kebanyakan pekerja asing) juga dianggap pihak yang mengalami atau melihat langsung fenomena korupsi yang terjadi.

Kedua, pemilihan lembaga-lembaga ini juga menunjukkan bahwa indeks CPI yang dibuat TI lebih banyak mengakomodasi kepentingan bisnis dibandingkan isu lain yang terkait dengan korupsi seperti demokratisasi, penegakan hukum, atau peningkatan akses orang miskin terhadap layanan publik. Hal ini membuat CPI tidak mampu menjelaskan mengapa negara-negara yang tidak menganut demokrasi justru berada di peringkat jauh di atas negara-negara yang telah menganut sistem demokrasi. Padahal agenda pemberantasan korupsi merupakan agenda yang koheren dengan agenda demokratisasi. CPI juga tidak menjadikan progres penagangan kasus korupsi di sebuah negara sebagai bagian dari indikator. Padahal keberhasilan pemberantasan korupsi di suatu negara kerap menjadi indikator utama, dilihat dari seberapa banyak kasus korupsi yang diproses dan pada level mana saja.

Namun demikian, nilai CPI yang rendah harus dipandang sebagai tamparan keras bagi pemerintahan SBY-Kalla. Setelah 2 tahun memerintah, ternyata persoalan suap di birokrasi masih tak tersentuh. Korupsi politik terutama dalam implementasi anggaran pemerintah juga masih menjadi pemandangan sehari-hari. Pemerintah harus mengikuti saran TI dalam rilisnya yang menyarankan agar negara-negara yang rendah nilai CPI-nya untuk meningkatkan kode etik profesional aparatur pemerintah dan menerapkan transparansi dalam penganggaran untuk mencegah terjadinya transaksi korupsi.

Ibrahim Fahmy Badoh, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Republika, 4 Desember 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan