Indeks Korupsi Indonesia 2006

Transparency International kembali mengeluarkan indeks persepsi korupsi (corruption perception index/CPI) untuk tahun 2006. Dalam hasil survei kali ini, peringkat korupsi Indonesia semakin baik dengan nilai indeks 2,4, meningkat dari tahun sebelumnya, 2,2. Nilai indeks ini juga ikut mendongkrak urutan Indonesia satu peringkat dari negara terkorup keenam (dari 159 negara) pada 2005 menjadi ketujuh (dari 163 negara) pada tahun ini. Pertanyaannya: dapatkah indeks ini digunakan untuk menggambarkan penurunan nilai korupsi dan menjadi indikator kinerja pemberantasan korupsi pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla?

Indikator CPI
CPI adalah indeks persepsi terhadap korupsi yang dibuat untuk melihat tingkat korupsi, terutama yang terjadi di sektor pelayanan publik dan politikus. Survei ini didasari data yang berkaitan dengan korupsi yang didapatkan dari survei yang dilakukan oleh ahli dan pelaku bisnis.

Pada tahun ini terdapat sembilan lembaga yang dijadikan sumber untuk pembuatan peringkat, di antaranya Bank Dunia, Freedom House, Economist Intelligence Unit, Merchant International Group, dan World Economic Forum. Lembaga ini masing-masing membuat survei rutin dengan berbagai fokus yang menjadi pertanyaan utama. Indeks dalam bentuk CPI yang dirumuskan Transparency International adalah survei atas survei lembaga-lembaga ini (a poll of polls) yang sangat bergantung pada indikator yang diusung oleh hasil survei lembaga yang dijadikan sumber.

Bank Dunia, misalnya, akan lebih menyoroti persoalan konflik kepentingan dan konversi dalam kaitan dengan pengelolaan dana pinjaman yang dilakukan di 76 negara yang mendapatkan pinjaman. Dalam survei ini, pertanyaan diajukan kepada tim pemerintah dan ahli yang ada di dalam tim di negara bersangkutan. Survei ini berbeda dengan apa yang dilakukan Freedom Institute, yang melakukan survei di 29 negara dan lebih berfokus pada perluasan korupsi di pemerintahan sesuai dengan pemberitaan media, termasuk penilaian terhadap pelaksanaan inisiatif pemberantasan korupsi di masing-masing negara tersebut. World Market Research Center adalah lembaga yang terluas cakupan surveinya, yang mencakup 186 negara dengan fokus pada suap di birokrasi hingga korupsi politik yang dikaitkan dengan faktor risiko bisnis.

Pemeringkatan CPI yang didasari hasil-hasil survei ini dilakukan dengan sumber yang berbeda untuk masing-masing negara karena survei-survei yang dilakukan bersifat parsial dan dengan cakupan yang berbeda, tergantung kepentingan lembaga masing-masing. Political and Economic Risk Consultancy, yang hasil survei tahunannya dipublikasikan lewat Asian Intelligence Newsletter, bisa jadi termasuk rujukan utama Transparency International untuk mendeskripsikan kondisi korupsi di Asia yang mencakup 14 negara dalam dua tahun terakhir. Lembaga ini sebenarnya melakukan survei hanya kepada kalangan eksekutif dari bisnis asing yang beroperasi di setiap negara, termasuk Indonesia. Pertanyaan yang dikemukakan pun cukup sederhana, yaitu bagaimana para ekspatriat ini melihat praktek korupsi di negara tempat mereka bekerja dengan kondisi di negara masing-masing.

Meskipun dari berbagai sumber dengan fokus berbeda-beda, Transparency International mengambil fokus korupsi pada sektor publik yang dikaitkan dengan penyalahgunaan wewenang di sektor publik untuk kepentingan pribadi. Ini termasuk pembagian keuntungan (kickback) dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah serta penggelapan dana publik yang menyangkut dua kategori korupsi sekaligus, yaitu korupsi birokrasi dan korupsi politik. Survei ini juga mencoba menilai seberapa berdayanya regulasi yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi di negara masing-masing.

Tapi, dalam penjelasan hasil surveinya, Transparency International mengaku tidak dapat membuat peringkat korupsi berdasarkan tingkat penyuapan atau jumlah kerugian negara yang diderita setiap negara, juga tidak dapat mengurutkan negara berdasarkan kemajuan penindakan kasus-kasus korupsi berdasarkan jumlah kasus yang diproses di pengadilan. Survei ini benar-benar berdasarkan persepsi yang diberikan atas dasar pengalaman responden di negara masing-masing.

Pekerjaan rumah Indonesia
Agenda pemberantasan korupsi telah menjadi agenda besar pemerintah Yudhoyono-Kalla. Pengarusutamaan pemberantasan korupsi tidak hanya terdapat di dalam janji-janji kampanye pemilu, tapi juga telah diterapkan dalam berbagai bentuk paket kebijakan, pembentukan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan pengalokasian anggaran yang memadai untuk Komisi Pemberantasan Korupsi. Meskipun telah muncul dampak lewat berjalannya proses hukum beberapa kasus korupsi dan munculnya dampak keterpantauan (deterrence effect), upaya hukum masih tebang pilih dan penciptaan sebuah tata pemerintahan yang baik masih sangat jauh dari harapan banyak pihak.

CPI Indonesia tahun 2006 menunjukkan peningkatan nilai indeks sebesar 0,2 dan kenaikan peringkat Indonesia berdasarkan skor pada posisi ke-47 dari 53 peringkat yang dibuat Transparency International. Dilihat dari jumlah survei yang digunakan untuk menilai posisi Indonesia, peringkat ini ditetapkan berdasarkan 10 survei dari total 12 survei yang dijadikan dasar oleh Transparency International. Ini berarti indikator yang digunakan sudah cukup menyeluruh dan dapat dijadikan dasar bagi penilaian terhadap kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia. Setidaknya berdasarkan persepsi para ahli dan pelaku usaha yang pernah bersentuhan dengan proses-proses di birokrasi ataupun dengan aktor dan lembaga politik yang ada di Indonesia.

Namun, nilai CPI 2,4 masih sangat kecil untuk dapat dibanggakan. Dalam kategori Transparency International, nilai CPI di bawah 3 masih dikategorikan sebagai negara yang kondisinya sangat parah dalam persoalan korupsi (severe corruption problem). Nilai indeks yang sangat rendah harus menjadi tamparan yang keras bagi pemerintah Yudhoyono-Kalla yang sudah menginjak tahun kedua. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan reformasi birokrasi lewat pembenahan sistem pengadaan, peningkatan profesionalitas, dan penerapan sanksi yang keras dan tegas. Transparency International juga menyarankan adanya peningkatan transparansi dalam proses penganggaran agar dapat meminimalkan terjadinya transaksi korupsi.

Ibrahim Fahmy Badoh, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 13 November 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan