Integrasi Sistem Pemberantasan Korupsi

Seleksi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi terus berlanjut. Sebanyak 546 nama telah lolos dalam tahap seleksi administrasi.

Dominasi praktisi hukum pada nama-nama yang lolos seakan menunjukkan bahwa KPK cenderung mencerminkan upaya penindakan dalam pemberantasan korupsi. Minimnya kasus korupsi besar yang ditangani KPK memang melahirkan kekecewaan. Namun, maraknya program pencegahan KPK dalam setahun terakhir ternyata belum mampu melahirkan kepuasan. Dalam hal ini, setiap proses pemberantasan korupsi yang dilakukan belum terlihat atau dirasakan maksimal oleh berbagai pihak.

Undang-Undang tentang KPK telah memberikan definisi pemberantasan korupsi, yaitu serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Definisi tersebut memberikan ruang lingkup pemberantasan korupsi, yaitu mulai sektor pencegahan, penindakan, termasuk proses persidangan, koordinasi, hingga pada partisipasi masyarakat.

Adapun Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah diratifikasi dalam UU Nomor 7 Tahun 2006 mengatur hal pencegahan, kriminalisasi dan penegakan hukum, kerja sama internasional, serta pengembalian aset. Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia, prioritas diletakkan pada sektor penindakan. Buktinya, dari sekian institusi yang mendukung pemberantasan korupsi, jumlah institusi yang bergerak dalam fungsi penindakan jauh lebih banyak, di antaranya kepolisian, kejaksaan, lembaga pengadilan, dan KPK. Melalui Konvensi Antikorupsi PBB atau yang disebut dengan UNCAC (United Nation Convention Against Corruption), kita diingatkan bahwa pemberantasan korupsi tidak semata bertujuan memberi hukuman kepada koruptor.

Korupsi adalah tindakan merampas hak-hak ekonomi dan sosial warga negara, yang ditandai dengan berkurangnya fungsi ekonomi serta sosial yang diberikan oleh negara atau swasta yang berperan untuk itu. Dengan demikian, pemberantasan korupsi harus memiliki tujuan mengembalikan kondisi yang rusak akibat korupsi. Tujuan rehabilitasi dan rekonstruksi ini dapat terealisasi jika pengembalian aset telah optimal. Dalam hal ini, pengembalian aset tidak masuk kategori penghukuman, tapi untuk merehabilitasi serta merekonstruksi fungsi ekonomi dan sosial yang rusak oleh para koruptor. Dalam konteks korupsi politik, tentu ranah yang harus direhabilitasi menjadi lebih luas. Hal inilah yang belum terlihat dalam sistem pemberantasan korupsi di Indonesia.

Bertindak luar biasa

Status korupsi hingga saat ini masih masuk kategori tindak pidana luar biasa. Meskipun secara internasional tidak disebutkan secara spesifik, korupsi resmi menjadi transnational crimes. Bahkan, dengan putusan Mahkamah Konstitusi, kita dapat melihat bahwa korupsi telah melanggar hak-hak konstitusional masyarakat. Becermin pada hal ini, sudah sewajarnya Indonesia memiliki KPK. Setelah berpikir luar biasa, kita pun harus mampu bertindak luar biasa.

Hal yang sering kali terlupakan adalah, untuk bertindak diperlukan sebuah alat. Siapa pun dapat memberi kritik dan saran yang mendorong KPK memberi kontribusi terbaik. Namun, perlu diingat bahwa KPK pun memiliki keterbatasan. Dari sekian banyak tugas dan tanggung jawab, KPK belum memiliki kebebasan mengambil keputusan institusional. Jumlah pemimpin yang lebih dari satu pun cenderung menghambat kelincahan KPK dalam mengambil keputusan bertindak. Selain itu, adanya kepolisian dan kejaksaan yang inheren dengan KPK sama dengan membentuk sistem baru dengan karakter lama.

Bertindak luar biasa memang tidak berarti liar. Namun, KPK yang telah cukup umur sudah harus mampu memiliki karakter yang kuat dalam pemberantasan korupsi. Tidak hanya bertindak mengikuti opini publik, apalagi bertindak atas kepentingan politik. KPK dapat bertindak luar biasa dengan karakter yang luar biasa. Pertama, optimalisasi fungsi trigger mechanism. Sering kali KPK dibenturkan dengan kepolisian atau kejaksaan. Jika dibandingkan dengan kedua lembaga tua tersebut, KPK bukanlah apa-apa, karena minimnya pengalaman, sumber daya manusia, wilayah kerja, hingga ketiadaan hukum acara khusus. Karena selama ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dirancang untuk perkara yang ada di kepolisian dan kejaksaan, tidak bijak jika kita membandingkan KPK dengan kepolisian dan kejaksaan. Yang perlu diingat adalah KPK dibentuk untuk memberi pengaruh positif terhadap institusi yang telah ada. KPK diharapkan mampu menularkan virus antikorupsi kepada institusi yang telah terpuruk dalam sistem yang korup.

Penularan ini dapat terwujud jika telah terbentuk sistem pemberantasan korupsi yang terintegrasi. Jika dalam sistem peradilan pidana integrasi ini belum terbentuk, KPK dapat memulainya dalam ranah antikorupsi. Di sinilah sektor pencegahan, penindakan, kerja sama, pengembalian aset, hingga pemulihan (rehabilitasi) menjadi satu kesatuan sistem yang utuh. KPK, kepolisian, kejaksaan, hingga masyarakat dapat membentuk sistem secara simultan. Institusi yang terlibat tidak lagi bermodal arogansi lembaga, tapi harus berpikir luar biasa untuk dapat menciptakan alat dalam sistem yang luar biasa. Hanya dengan ini, korupsi dapat dimusnahkan.

Kedua, menentukan prioritas. Prioritas tidak hanya pada sektor yang akan dijalankan, apakah pencegahan atau penindakan. Tapi prioritas diambil dalam setiap sektor. Untuk sektor pencegahan, misalnya, KPK dapat menentukan prioritas untuk reformasi birokrasi. Karena, tanpa adanya pembenahan dalam sistem birokrasi yang cenderung korup, pemberantasan korupsi akan terhambat. Dalam sektor penindakan, KPK dapat mengambil beberapa prioritas kasus yang cenderung berdampak luas dalam wilayah kekuasaan negara yang berbeda, misalnya dengan menyelesaikan satu kasus korupsi terbesar dalam lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Adapun untuk sistem pengembalian aset dan kerja sama, KPK harus mulai membangun sistem yang terintegrasi dengan sistem yang telah ada selama ini, di antaranya dengan melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, serta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan dalam menelusuri uang negara yang telah atau berpotensi hilang.

Sistem pemberantasan korupsi harus terintegrasi di setiap aspek, baik secara institusional, sistem, maupun peraturan perundang-undangan. Panitia seleksi calon pemimpin KPK dan KPK secara institusional harus mampu membuat benang merah antara apa yang dibutuhkan dan apa yang dipikirkan. Saat ini panitia seleksi memegang peran strategis membentuk sistem pemberantasan korupsi yang terintegrasi, dengan menemukan sosok pemimpin yang mampu berpikir dan bertindak luar biasa. Kompleksitas ranah pemberantasan korupsi harus dilihat dari berbagai disiplin ilmu. Sebab, pada akhirnya, kebutuhan menindak koruptor tidak jauh lebih penting daripada kebutuhan mencegah korupsi. Terlebih jika sistem pengembalian aset yang berfungsi merehabilitasi tidak berjalan baik di Indonesia.

Ida Syafrida Harahap, PENELITI MASYARAKAT TRANSPARANSI INDONESIA

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 20 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan