Jaksa-Hakim Tak Kompak

Kejaksaan dan pengadilan tidak kompak soal penempatan tahanan pelaku korupsi yang kini mendekam di Rutan Kejagung (Kejaksaan Agung). Kejagung selama ini menginginkan seluruh tersangka dan terdakwa dipindah ke Rutan Salemba, tetapi pengadilan selalu punya alasan lain sehingga mereka tetap ditahan di Rutan Kejagung.

Kita (kejaksaan, Red) sebenarnya sudah minta agar tersangka yang sudah diadili bisa dipindah ke Rutan Salemba, tetapi hakimnya tidak pernah mengabulkan. Padahal, ruang tahanan di Kejagung sangat terbatas, kata JAM Pidsus Hendarman Supandji di Kejagung akhir pekan lalu.

Para tahanan umumnya memang memilih Rutan Kejagung sebagai lokasi penahanan mereka. Maklum, ruang tahanannya relatif lebih nyaman daripada Rutan Salemba atau Lapas Cipinang. Mereka bisa bebas berobat ke rumah sakit yang diinginkan. Para tahanan korupsi juga leluasa kapan pun dibesuk keluarga atau melakukan aktivitas selain terkait perkaranya. Bahkan, seperti yang pernah disaksikan koran ini, para tahanan acapkali bercengkerama di luar tahanan bersama keluarganya di luar jam besuk.

Fasilitas itu jelas tidak mungkin diperoleh tersangka di Rutan Salemba atau Lapas Cipinang. Di sana, mereka tidak bisa seenaknya bertemu keluarga. Bahkan, sejumlah kalangan yang ingin membesuk harus mendapat izin langsung dari kepala rutan (Karutan) atau Kalapas.

Para tahanan yang masih menghuni Rutan Kejagung, antara lain, D.L. Sitorus (kasus korupsi perambahan hutan di Padang Lawas, Sumut, diadili di PN Jakpus), Sumantri dkk (korupsi importasi beras ilegal dari Vietnam, diadili di PN Jakut), Andry Djemi Lumanuw (dugaan pemerasan saksi kasus PT Jamsostek, diadili di PN Jaksel), Achmad Djunaidi (korupsi PT Jamsostek, perkaranya sudah diadili di PN Jaksel), dan Zainul Arifin (korupsi Petral, diadili di PN Jakpus).

Menurut Hendarman, proses hukum tahanan di Rutan Kejagung dibagi dua, yakni masa penyidikan dan penuntutan. Nah, kejaksaan selama ini membutuhkan penahanan tersangka ketika masa penyidikan. Sebab, lokasi penahanan satu kawasan dengan Gedung Bundar.

Nah, tahanan yang masuk tahap penuntutan merupakan kewenangan pengadilan. Mereka tetap di Rutan Kejagung karena perpanjangan penahanan dari pengadilan. Mengapa mereka masih ditahan di sini (Rutan Kejagung), itu wewenang hakim, jelas Hendarman.

Yang menarik, banyak alasan yang membuat pengadilan enggan memindahkan penahanan ke Rutan Salemba. Pertama, menyetujui keinginan terdakwa yang minta lokasi penahanannya dekat dengan rumah sakit. Ada tahanan yang mengaku sakit jantung. Nah, dia tetap perlu ditahan di Rutan Kejagung karena harus rutin ke RSPP (Rumah Sakit Pusat Pertamina) yang lokasinya memang berdekatan, jelas Hendarman. Alasan lain adalah status Rutan Kejagung yang juga cabang Rutan Salemba.

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengatakan, keterbatasan ruangan di Rutan Kejagung seharusnya dipertimbangkan hakim untuk memindahkan seluruh tahanan ke Rutan Salemba.

Tetapi, tahanannya juga tetap ingin di Rutan Kejagung dengan berbagai alasan, termasuk sakit jantung, jelasnya. Nah, kejaksaan memastikan akan meneliti lebih detail siapa saja tahanan yang sebenarnya menderita sakit jantung atau sekadar mengajukan alasan dibuat-buat agar bisa nyaman mendekam di Rutan Kejagung. (agm)

Sumber: Kompas, 10 Juli 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan