Jaksa Mulai Sentuh BPPN; Karena Jual Murah Pabrik Gula

Aparat penegak hukum semakin bersemangat melacak praktik kejahatan di tubuh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dibubarkan pemerintah sejak Februari 2004. Setelah dicurigai menguapkan aset koruptor BLBI David Nusa Wijaya dan Atang Latief, BPPN diduga kuat menjual aset di bawah harga pasar, sehingga merugikan negara.

Untuk menyelidiki kebenaran dugaan tersebut, kemarin Kejati DKI Jakarta memeriksa mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsjad Temenggung. Dia dimintai keterangan terkait dengan penjualan Pabrik Gula Rajawali III yang dinilai tidak wajar.

Pada Oktober 2003, pabrik gula di Tolangohula, Gorontalo, tersebut dijual jauh di bawah harga pasar, yakni Rp 84 miliar. Harganya jauh dari taksiran sebesar Rp 600 miliar. Diduga kuat, ada ketidakberesan dalam harga itu yang tidak memenuhi asas kepatutan dan kewajaran.

Pemeriksaan Temenggung yang berlangsung sekitar delapan jam itu adalah pemeriksaan pertama. Sekarang masih penyelidikan. Tapi, sangat mungkin ditingkatkan menjadi tahap penyidikan dan status tersangka. Kita tunggu saja, jelas Kajati DKI Jakarta Rusdi Taher.

Mantan Kajati Bengkulu tersebut menyatakan, pengusutan kasus itu dimulai beberapa bulan lalu. Hal itu dilakukan setelah intelijen Kejati DKI Jakarta menemukan bukti serta kesaksian dugaan penyimpangan tersebut.

Menurut dia, sebelum memeriksa Temenggung, Kejati DKI memeriksa 14 saksi. Empat di antaranya adalah mantan pejabat BPPN. Salah satunya berinisial SS. Kami akan menangani kasus ini secara proporsional dan profesional. Jangan ada yang main-main dan coba-coba bermain dalam kasus ini, tegas Rusdi yang dulu merasakan teror pembakaran rumah dinasnya gara-gara menangani korupsi di Pemkot Bengkulu tersebut.

Asisten Intelijen Kejati DKI Faried Harianto menambahkan, penyelidikan dilakukan karena locus delicti-nya memang terjadi di Jakarta. Memang benar asetnya ada di Gorontalo. Tapi, BPPN melakukan transaksi penjualan di Jakarta, jelasnya.

Pabrik Rajawali III awalnya bernama PT Nagamanis Plantation milik Prajogo Pangestu (kemudian menjadi obligor terbesar BPPN dengan kredit macet mencapai Rp 9,4 triliun). Pabrik tersebut dibangun pada 1990 dan didanai Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), serta beberapa lembaga keuangan lain.

Pada 1996, perusahaan mengalami kesulitan pendanaan. Beberapa bank tidak bersedia menambah pinjaman untuk melanjutkan pembukaan lahan karena pemegang saham tidak menambah setoran modal. Akibatnya, pabrik yang sudah siap dioperasikan itu tidak mendapatkan pasokan bahan baku.

Pemerintah akhirnya campur tangan dan ikut membenahi. BUMN PT RNI (Rajawali Nusantara Indonesia) diminta meneruskan proyek tersebut melalui pengambilalihan seluruh saham perusahaan. Untuk memperbaiki struktur modal, pinjaman pada BBD direstrukturisasi dan sebagian pokok pinjaman dikonversi menjadi saham.

Komposisi kepemilikan saham menjadi BBD sebesar 66,6 persen dengan hak opsi dan PT RNI sebesar 33,3 persen kebagian hak pemegang manajemen dengan perjanjian pengelolaan selama 20 tahun. Namun, pada Oktober 2003 (empat bulan sebelum BPPN bubar), kepemilikan saham BBD dialihkan pada perusahaan swasta asing melalui program penjualan aset strategis oleh BPPN yang dinamai Program Penjualan Aset Strategis-II.

Itu merupakan salah satu program penjualan yang dilaksanakan BPPN untuk memenuhi target setoran APBN Rp 26 triliun. Selain pabrik gula, saat itu ikut ditawarkan tiga aset lain. Yakni, grup Texmaco, grup Chandra Asri, dan Bali Nirwana Resort.

Di antara aset-aset tersebut, pabrik gula paling diminati. Sempat ada empat calon investor yang hendak membeli dan akhirnya yang menang adalah sebuah PMA. Inilah awal masalah yang kini diusut Kejati DKI ini.

Lalu bagaimana hasil pemeriksaan seharian kemarin? Faried Harianto menjawab, pihaknya akan lebih dulu mempelajari keterangan Temenggung. Kami akan pelajari keterangannya malam ini (tadi malam) atau besok (hari ini). Setelah itu, kita rencanakan kapan melanjutkan pemeriksaan, ujar mantan asisten Tindak Pidana Umum Kejati Riau ini.

Temenggung tidak banyak berkomentar soal pemeriksaan dirinya itu. Saya diminta keterangan terkait penjualan satu aset kita. Saya hanya diminta informasi. Itu saja, ujarnya singkat dan buru-buru masuk mobil kijang hitam B8659NS usai pemeriksaan. Saat ditanya adanya kejanggalan penjualan yang cukup murah, doktor ekonomi jebolan Cornell University, New York, itu mengatakan, Saya kira tidak.

Dihubungi secara terpisah, salah seorang mantan Dirut PT RNI mengatakan, proses masuknya RNI ke Pabrik Rajawali III itu sesaat setelah dirinya pensiun. Karena itu, dia tidak tahu banyak bagaimana perkembangannya. Tapi saya yakin, saat dijual BPPN itu pun pasti sudah mendapat persetujuan BBD (sekarang merger dengan Mandiri, Red), ujarnya.

Apakah harga Rp 84 miliar adalah harga yang wajar? Ditanya begini, dia yang sudah bergelut dengan pabrik gula lebih dari 30 tahun itu menjawab, Memang murah. Tapi, siapa yang mau beli kalau mahal? Memang perlu dicari tahu adakah komisi yang masuk kantong pribadi dalam praktik jual beli semacam ini? (naz)

Sumber: Jawa Pos, 3 Februari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan