Jalan Panjang Pemburu Koruptor

Riwayat perburuan korupsi di Indonesia telah dimulai sejak 1960. Ketika itu Presiden Soekarno menelurkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Belakangan, perpu ini dikukuhkan menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960.

Undang-undang ini yang dijadikan dasar pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi, yang diketuai Jaksa Agung Sugih Arto oleh Penjabat Presiden Soeharto, pada 2 Desember 1967. Enam bulan setelah dilantik oleh MPRS sebagai penjabat presiden, Soeharto membentuk tim ini dengan mandat membantu pemerintah memberantas korupsi secepat-cepatnya dan setertib-tertibnya.

Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 31 Januari 1970, Soeharto membentuk Tim Empat, yang diketuai Wilopo, untuk memberangus korupsi. Gebrakan Tim Empat yang cukup terkenal adalah menemukan skandal yang melibatkan seorang jenderal yang dikenal dekat dengan Soeharto dalam kasus pupuk Bimas (Coopa) dan kasus dugaan korupsi di Pertamina. Baik kasus pupuk Bimas maupun Pertamina tak pernah sampai ke pengadilan.

Enam bulan kemudian, Tim Empat dibubarkan dan Soeharto membentuk Komite Antikorupsi, yang personelnya merupakan eksponen 66, seperti Akbar Tandjung, Asmara Nababan, dan Thoby Mutis. Tim ini hanya hidup dua bulan dan pada 15 Agustus 1970 dibubarkan.

Pada 1977, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban. Dari Juli 1977 hingga Maret 1981, operasi itu menangani 1.127 perkara yang melibatkan 8.026 tersangka dengan beberapa di antaranya masuk kategori kasus besar. Selama periode ini pula uang negara yang bisa diselamatkan berjumlah sekitar Rp 200 miliar.

Pada 1982, dibentuklah Tim Pemberantas Korupsi yang beranggotakan antara lain J.B. Sumarlin, Sudomo, Ali Said, dan Awaludin Jamin. Surat keputusan presiden atas pembentukan tim ini tak pernah terbit, begitu juga catatan kasus yang pernah diungkap dan keberhasilan tim.

Hingga 1999, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, dibentuklah Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara di bawah pimpinan Yusuf Syakir. Lembaga ini diberi tugas menerima dan memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara. Setahun berikutnya, Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGTPK). Tim ini berada di bawah koordinasi Jaksa Agung Marzuki Darusman, dan diketuai Adi Andojo Soetjipto serta didukung 25 personel kepolisian dan kejaksaan. Hanya, upaya yang dilakukan TGTPK tak mendapat dukungan. Lembaga ini dibubarkan setahun kemudian lewat gugatan judicial review tiga hakim agung yang pernah diperiksa TGTPK.

Di era Presiden Megawati, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), KPKPN dilebur menjadi bagian KPK. Sekaligus menandai lahirnya KPK sebagai lembaga pemburu koruptor di negeri ini untuk ke sekian kalinya. Dipimpin Taufiequrachman Ruki, belum setahun berdiri, KPK menerima laporan masyarakat sebanyak 1.452 kasus korupsi.

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono naik ke kursi presiden pada 2004, dia membentuk Tim Pemburu Koruptor, yang dikomandani Wakil Jaksa Agung Basrief Arief. Tim ini menurunkan tim yang menjejak para koruptor dan aset-asetnya hingga ke Singapura, Australia, Cina, Hong Kong, dan Amerika Serikat.

Yang paling mutakhir adalah pada 2 Mei 2005, Presiden Yudhoyono membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji dan beranggotakan 45 orang. AGUS HIDAYAT | PUSAT DATA DAN ANALISA TEMPO

Sumber: Koran Tempo,27 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan