Jangan Batasi Wewenang KPK; Perlindungan Terhadap Pejabat jangan berlebihan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pemerintah tidak membatasi wewenang penyidik dalam menangani kasus korupsi di daerah. Jika pemerintah dan pejabat daerah khawatir atas munculnya fitnah dan pemerasan, yang harusnya dilakukan adalah memperkuat pengawasan di lembaga penegak hukum.

KPK memahami kekhawatiran pemerintah dan pejabat daerah atas terjadinya pemerasan dan fitnah. Namun, mestinya bukan diselesaikan dengan membuat Badan Pengawas Internal, tapi memperkuat kinerja penegak hukumnya, agar sebelum seorang pejabat diperiksa, penegak hukum sudah punya bukti-bukti yang kuat, ujar Wakil Ketua KPK bidang penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean, di Jakarta, Selasa (20/6), menanggapi rencana terbitnya Instruksi Presiden tentang mekanisme penanganan kasus korupsi dengan melibatkan pengawas internal pemerintah,

Wacana soal perlunya aturan soal mekanisme penganganan kasus korupsi dengan melibatkan aparat pengawas internal pemerintah, jangan menghambat wewenang KPK mengusut korupsi di daerah. Dalam draf Instruksi Presiden itu disebut bahwa , lembaga pengawas internal pemerintah harus melakukan klarifikasi terhadap laporan masyarakat guna mendapatkan bukti awal terjadinya indikasi korupsi.

Namun, Panggabean mengingatkan bahwa UU Otonomi Daerah menegaskan peradilan adalah urusan pemerintah pusat. Masalah peradilan bukan cuma pengadilan. Penyidikan juga masuk wilayah peradilan. Jangan sampai Inpres membatasi KPK mengusut kasus korupsi. Kalau kasus itu diperiksa dulu oleh Bawasda, yang ada di bawah kepala daerah, bagaimana Bawasda bisa independen mengusut korupsi? tanya Panggabean.

Menurut Panggabean yang harusnya diperkuat adalah pengawasan di lembaga-lembaga penegak hukum, serta pematangan kasus dugaan korupsi dengan berbagai analisis dan mengumpulkan bahan dan keterangan sebelum pemeriksaan pejabat daerah. Ini akan menghindarkan fitnah fitnah bagi pejabat yang belum tentu terbukti bersalah.

Panggabean merujuk keputusan bersama Jaksa Agung dan Mendagri beberapa tahun lalu yang mengharuskan Kejaksaan Agung memberitahu Mendagri, jika ingin menyelidiki kasuskorupsi di daerah. Bukan izin, cuma pemberitahuan. Namun, prakteknya harus ada izin Mendagri sebelum jaksa mengusut korupsi, katanya.

Arus Balik
Ketua Ad Interim Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Patra Zen, Selasa (20/6) mengatakan, rencana pemerintah membuat aturan yang melindungi pejabat adalah berlebihan. YLBHI menolak, karena bisa memunculkan praktik impunitas pejabat. Pemerintah tak perlu membuat pengecualian bagi pejabat, ujarnya.

Jika memang ada persoalan berkaitan dengan pejabat publik, pemerintah bisa memakai jalur jalur pengadilan tata usaha negara, jika persoalan tersebut berkaitan dengan gugatan administratif. Sedangkan untuk kasus berbau kriminal, pemerintah dapat menggunakan jalur pengadilan umum.

Anggota DPR M Yasin Kara (Fraksi Partai Amanat Nasional, Kalimantan Timur), Selasa (20/6). menyatakan, rencana Inpres itu perlu diperbaiki. Jasin setuju harus ada takaran objektivitas dalam menilai kasus dugaan korupsi akan diteruskan atau tidak, sehingga mesti dibuka peluang auditor independen untuk memberi pendapatnya.

Namun, menurut Jasin perlu ada tambahan ketentuan bahwa polisi dan jaksa bisa meminta auditor independen untuk memberi pendapat. Itu bisa menjamin pemberantasan korupsi berdasar pada standar objektif.

Yasin mengingatkan adanya dua kecenderungan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Awalnya, penangkapan pejabat menjadi ukuran prestasi polisi dan jaksa. Berikutnya, ada kecenderungan besar untuk melindungi para pejabat. Karenanya, mestinya rancangan inpres itu dimatangkan dengan mencari standar yang obyektif.

Sementara anggota Komisi II DPR Suharso Monoarfa (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Gorontalo) menilai, rancangan inpres itu sangat rancu. Pengawas internal tidak dalam posisi membuka hasil pemeriksaan dan lebih diperlukan untuk kegiatan preventif. Jika terkait kepentingan publik, mestinya auditor eksternal yang bekerja. Mestinya yang diberdayakan adalah BPK sebagai supreme-auditor. Rancangan inpres itu makin mengaburkan rencana penataan sistem pemeriksaan, kata Suharso.

Sebaliknya, Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan,Sumatera Utara II) setuju dengan semangat rancangan Inpres itu. Namun, Trimedya tidak memungkiri adanya kesan Inpres itu disiapkan untuk melindungi pejabat. Namun faktanya, praktik penegakan hukum yang tidak benar memang menyulitkan para pejabat menjalan kebijakannya. (dik/JOS/VIN)

Sumber: Kompas, 21 Juni 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan