Jangan Jadikan Pakta Integritas Seolah Paspor Bebas Korupsi

Ketika mengetahui ada banyak anggota DPR mau ikut menandatangani Pakta Integritas, Ketua Transparency International Indonesia Todung Mulya Lubis tidak serta-merta senang. Dia justru risau. Dia tidak yakin seluruh anggota Dewan memiliki tafsiran sama pada gerakan moral ini.

Bila Pakta Integritas (PI) diobral dan akhirnya disalahgunakan pihak-pihak tertentu, dia justru khawatir gerakan moral ini akan mengalami inflasi, kehilangan makna. Berikut petikan wawancara singkat dengannya.

Apakah gerakan ini sudah cukup selektif memilih orang?

Saat ada sejumlah anggota DPR mau tanda tangan, saya sudah minta kepada teman-teman untuk di-hold, ditunda sementara. Saya tidak setuju, Pakta Integritas ini dijadikan paspor untuk mengesankan bahwa seakan bebas korupsi. Saya juga khawatir ada pemahaman yang salah. Pakta itu berarti perjanjian. Pada tingkat internasional, Pakta Integritas dipraktikkan di antara pemerintahan daerah dengan pihak-pihak lain, seperti bank, sebuah badan, dan pemasok barang. Dengan demikian, di antara pihak terikat perjanjian dan apabila perjanjian itu dilanggar, ada mekanisme pengaduan serta pertanggungjawaban hukum.

Di sini, Pakta Integritas disalahtafsirkan menjadi hanya sekadar pernyataan. Karena itu, akan lebih tepat kalau disebut Integrity Pledge, Ikrar Integritas, bukan Integrity Pact. Kalau sebatas Integrity Pledge oke saja. Tapi, Ikrar Integritas itu hanya gerakan moral, tidak ada konsekuensi hukum apa pun.

Apa yang seharusnya ditingkatkan dari gerakan ini?

Kita perlu membuat mekanisme pengawasan, pemantauan, implementasi, serta mekanisme pengaduan yang lebih matang sehingga bisa menjamin terlaksananya Pakta Integritas yang sesungguhnya.

Tiga Pilar Kemitraan harus lebih hati-hati ke depan dalam menawarkan penandatanganan Pakta Integritas. Panandatanganan Pakta Integritas di Kabupaten Solok itu berbeda karena sudah dibuatkan sistemnya, peraturan daerah yang menunjang, dan mekanisme pengawasan. Sementara itu, penandatanganan Pakta Integritas di DPR mekanismenya belum jelas.

Saya terus terang tidak ingin PI disalahgunakan seakan bisa dijadikan Surat Bebas Korupsi. Sebagai Ketua Transparency Internasional di Indonesia, saya minta di-hold agar tak terjadi inflasi gerakan ini. (sutta Dharmasaputra)

-----------------
Membangun Integritas di DPR
Menggunung atau Terkikis Habis?

Sutta Dharmasaputra

Pada suatu sore, tepatnya Jumat, 23 Juni 2006, Ketua Badan Kehormatan DPR Slamet Effendy Yusuf secara tidak sadar telah membuat gebrakan baru. Ketika ditemui Sekjen Tiga Pilar Kemitraan Ai Mulyadi Mamoer, tanpa omong panjang lebar dia langsung mendukung gerakan moral penandatanganan Pakta Integritas anti-KKN.

Menanggapi antusiasme itu, dua pekan berikutnya, Tiga Pilar Kemitraan pun langsung menyodorkan piagam Pakta Integritas beserta modulnya kepada Slamet. Dalam acara sederhana, hanya disaksikan sejumlah staf dan beberapa wartawan DPR, Slamet langsung menandatanganinya, 7 Juli 2006, di atas kertas bermeterai Rp 6.000.

Saya, Slamet Effendy Yusuf, anggota DPR RI dalam rangka berpartisipasi memperbaiki masa depan kehidupan bangsa, menyatakan sebagai berikut: Menggunakan segala potensi yang saya miliki untuk proaktif mencegah terjadinya korupsi dan praktik suap di DPR RI dan tak melibatkan diri dalam perbuatan tercela, demikian satu butir dari enam butir isinya.

Ketika ditanya apa yang membuat dirinya terdorong melakukan itu, Slamet, anggota DPR Partai Golkar (Jateng VIII) itu, hanya menjawab, Saya ingin agar ini bisa jadi snow bowling, bola saju yang bergulir dan membesar.

Tapi, niatan itu sepertinya mulai menjadi kenyataan. Sebelas hari kemudian, muncul gelombang berikutnya yang lebih besar, yang dilakukan sembilan anggota DPR, yang berkumpul di ruang kerja Wakil Ketua MPR AM Fatwa (Partai Amanat Nasional/Jabar). Arbab Paproeka (PAN/Sulawesi Tenggara), Benny K Harman (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia/NTT I), Mutammimul

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan