Kasus MA: Ujian buat Komisi Yudisial

Selama ini masyarakat dibuat resah dan frustrasi oleh apa yang bernama mafia peradilan. Hampir semua orang, terutama yang terlibat dalam proses peradilan, merasakan keberadaan lingkaran mafia itu. Mulai kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan, yang namanya mafia peradilan sudah hampir menjadi penguasa utama ketimbang proses peradilan itu sendiri. Di tengah hegemoni mafia ini, terasa seperti lelucon memburu keadilan di lembaga peradilan tanpa membawa modal untuk menyelesaikan transaksi kotor. Ironis memang, tapi begitulah kenyataannya

#

Gejala mafia peradilan, meminjam istilah Emha Ainun Najib, hanya bisa dijelaskan dengan, maaf, teori kentut, baunya begitu kuat menusuk hidung, tapi gerak-gerik dan bendanya tidak terlihat. Jadi memburu mafia peradilan ibarat memburu hantu, gentayangan tapi tidak kasatmata.

Namun, rasa frustrasi masyarakat kini agaknya sedikit mulai pupus. Serangkaian lingkaran mafia peradilan sedikit demi sedikit mulai terungkap ke publik. Pengakuan pengusaha Probosutedjo tentang uang Rp 16 miliar yang dipakai mengurus perkara, mulai pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga Mahkamah Agung, menyibakkan tabir hitam sistem peradilan di negeri kita. Meski mafhum, masyarakat sedikit terhenyak oleh terbongkarnya kasus suap tersebut. Betapa tidak, lembaga tertinggi tempat pertaruhan terakhir keadilan ternyata tidak steril dari keberadaan kasus suap-menyuap.

Sebenarnya, sebelumnya sudah terbongkar kasus serupa, yaitu terungkapnya kasus suap perkara yang dilakukan oleh pengacara Gubernur NAD Abdullah Puteh. Kasus ini juga mengungkap pesan penting betapa di setiap tingkat pengadilan, praktek suap-menyuap sudah menjadi kebiasaan.

Contoh kasus di atas sebenarnya hanya sedikit dari begitu marajalelanya mafia peradilan di negeri kita. Selama belum ada perubahan sistem yang baik, mafia peradilan masih akan merajalela, dan tentunya akan lebih canggih lagi cara-cara yang dilakukannya, mengingat sudah ada kasus yang terbongkar.

Di tengah bobroknya lembaga peradilan yang kian hari kian terbuka tabirnya, keberadaan Komisi Yudisial memainkan peran penting. Menurut UU Nomor 22/2004, Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Lembaga yang baru terbentuk ini harus segera bekerja keras dan menjalankan fungsi dan wewenangnya dalam melakukan pengawasan dan pembinaan para hakim.

Sebagaimana diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi telah mengawali dengan baik, yaitu dengan menangkap seorang pengacara Probosutedjo dan lima orang pegawai MA dengan tuduhan menerima suap. Awal yang bagus ini harus segera ditindaklanjuti oleh Komisi Yudisial dengan melakukan gebrakan pembaruan di lingkungan peradilan. Saat ini masyarakat sangat berharap besar terhadap Komisi Yudisial untuk memperbaiki wajah peradilan.

Memang berat bagi lembaga baru seperti Komisi Yudisial harus menangani kebobrokan lembaga peradilan yang sudah cukup berumur. Peran berat Komisi Yudisial salah satunya adalah harus berani memotong tradisi buruk di lingkungan peradilan dan menggantikan dengan tradisi baru, dan mungkin juga orang-orang baru. Hanya dengan cara itu lembaga peradilan akan mendapat kembali kepercayaan dari masyarakat.

Paling tidak ada empat langkah penting yang bisa dilakukan oleh Komisi Yudisial untuk memperbaiki wajah peradilan. Pertama, secepat mungkin menyusun dan memasyarakatkan kode etik bagi para hakim. Kode etik ini salah satunya tentu saja harus mempersempit ruang gerak hakim untuk melakukan transaksi kotor dengan pihak-pihak yang beperkara.

Kedua, mendorong pengisian formulir laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang sudah diterbitkan KPK bagi hakim di seluruh Indonesia, terutama Hakim Agung yang menangani perkara. Formulir ini sebagai alat pengawasan perilaku, dalam hal kekayaan dan gaya hidup para hakim. Karena itu, pengisian formulir ini harus segera direalisasi sebagai alat untuk mencegah maraknya jual-beli perkara lebih lanjut. Selain itu, pengisian formulir ini penting sebagai alat deteksi dini bagi kemungkinan hakim yang terlibat dalam praktek-praktek mafia peradilan.

Ketiga, menyusun dan mendorong sistem pengelolaan hakim yang lebih transparan dan akuntabel. Sebagai langkah awal, perlu dilakukan assessment terhadap semua hakim, baik assessment individu maupun assessment kinerja. Hal itu perlu dilakukan mengingat semakin banyaknya keputusan pengadilan yang menyimpang dan semakin maraknya mafia peradilan. Dari data yang terdapat di MA, saat ini ada lebih dari 6.000 hakim di seluruh Indonesia. Jumlah itu lebih dari cukup untuk menangani perkara yang ada. Karena itu, tidak diperlukan lagi rekrutmen hakim. Apalagi muncul kecenderungan, semakin banyak hakim semakin marak mafia peradilan.

Yang diperlukan bukan penambahan hakim, melainkan peningkatan kapasitas dan kapabilitas hakim dalam menangani perkara. Karena itu, diperlukan suatu sistem pembinaan hakim dalam menangani perkara. Pembinaan itu di antaranya perlunya mengenalkan berbagai metode dan teknologi baru dalam menangani perkara. Sebagaimana jamak diketahui, metode kejahatan, terutama korupsi, dari waktu ke waktu semakin canggih model dan metodenya. Apabila menggunakan cara-cara lama dalam menangani perkara, besar kemungkinan para pelaku kejahatan akan lolos dari jerat hukum. Hal lain yang perlu segera dilakukan adalah pembinaan perilaku hakim dengan mendorong sistem reward and punishment yang adil.

Keempat, memperketat sanksi. Kode etik adalah rambu yang disusun untuk mengatur ruang gerak hakim. Tapi tanpa sanksi, kode etik menjadi tidak berguna. Komisi Yudisial perlu merumuskan mekanisme sanksi yang tegas terhadap segala bentuk pelanggaran kode etik. Saat ini Komisi Yudisial memang tidak bergigi dalam urusan sanksi, karena kewenangannya hanya mengusulkan. Komisi Yudisial tidak memiliki kewenangan melakukan eksekusi untuk sanksi itu sendiri. Karena itu, tepat kiranya bila Komisi Yudisial melakukan amendemen terhadap UU Nomor 22/2004 tentang Komisi Yudisial. Hal ini agar Komisi Yudisial memiliki kewenangan yang lebih besar lagi.

Akhirnya, betapapun berat medan yang harus dilalui Komisi Yudisial, memang itu tugas yang harus dikerjakan. Sekarang masa pembuktian bahwa Komisi Yudisial memang lembaga yang dihadirkan pada kondisi dan momentum yang tepat untuk memperbaiki wajah peradilan di Indonesia. Salah satu batu ujian pertama Komisi Yudisial adalah bagaimana kasus suap MA mendapat penanganan yang setepat-tepatnya.

Oleh: Agung Hendarto
Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia

Koran Tempo, 18 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan