Kasus Soeharto Terbuka dan Dilanjutkan

Judul itu adalah salah satu diktum putusan praperadilan kasus Soeharto yang baru beberapa hari lalu diputus. Akhirnya, Hakim PN Jakarta Selatan membuat putusan praperadilan yang membuat kasus Soeharto terbuka untuk dilanjutkan.

Kendati di satu sisi, putusan dimaksud telah mengakomodasi kepentingan sebagian besar publik; di sisi lain masih timbul tanda tanya, bagaimana melanjutkan persidangan kasus Soeharto? Yang menarik dari putusan itu, ada beberapa alasan penting yang menjadi pertimbangan hukum.

Posisi
Ada hal penting yang lepas dari perdebatan hukum, tetapi telah dikemukakan secara implisit dalam putusan praperadilan terkait Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) Soeharto, yaitu posisi kasus itu.

Surat Ketua PN Jaksel 8 Maret 2002 yang merespons surat Kepala Kejari Jaksel akhir Februari 2002 menyatakan, ... hemat kami tidak ada urgensinya berkas perkara tetap berada di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sehingga kami serahkan kembali berkas perkara Reg. No. 842/ Pid.B.2000/PN Jak.Sel... pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Bandingkan dengan putusan PN Jaksel yang menetapkan mengembalikan berkas perkara... pada jaksa penuntut umum... dan mencoret nomor perkara pidana biasa dalam tahun yang sedang berjalan...

Berpijak dari uraian itu, posisi kasus Soeharto dikualifikasi masih dalam otoritas PN Jaksel karena surat Ketua PN Jaksel kepada kejaksaan hanya pengembalian berkas perkara, tidak mencoret nomor perkara dari registrasi perkara di pengadilan. Dengan demikian, tindakan penghentian penuntutan seharusnya mempertimbangkan posisi kasus dimaksud. Selain itu, tindakan itu harus dikualifikasi sebagai tindakan yang bersifat administratif dari Ketua PN Jaksel.

Putusan praperadilan juga menyatakan penghentian penuntutan tidak cukup hanya dengan surat-menyurat saja..., lebih-lebih pada perkara dimaksud ... sudah dilimpahkan kepada majelis hakim dan sudah sampai kasasi, namun ada hambatan karena terdakwa sakit.... Pertimbangan hukum praperadilan implisit mengemukakan, tindakan administratif juga bertentangan dengan diktum putusan MA yang memerintahkan jaksa melakukan pengobatan terdakwa hingga sembuh untuk selanjutnya setelah sembuh dihadapkan ke persidangan. Yang menarik, pertimbangan dimaksud dirumuskan tanpa harus eksplisit mengemukakan kekeliruan tindakan Ketua PN Selatan terdahulu dalam merespons surat Kajari Jaksel.

Demi hukum
Hal lain yang menarik dikaji, terkait alasan demi hukum. Putusan peradilan tegas menyatakan, alasan demi hukum yang didasarkan atas Pasal 140 Ayat 2 huruf a KUHAP juncto Pedoman Pelaksanaan KUHAP sesuai Putusan Menteri Kehakiman No M.01.PW.07.03 Tahun 1982.

Dalam ketentuan dikemukakan, alasan demi hukum dapat digunakan hanya jika terkait alasan meninggalnya terdakwa, kedaluwarsa, dan kasus ne bis in idem. Alasan lain yang terkait peniadaan pidana selain hal itu seperti: overmacht, sakit yang tidak dapat disembuhkan, usia sudah lanjut, dan alasan kemanusiaan, tidak serta-merta menjadi kewenangan penuntut umum untuk digunakan dalam menghentikan penuntutan; justru alasan dimaksud merupakan kewenangan hakim.

Pertimbangan hukum pada putusan praperadilan menegaskan kembali otoritas lembaga penuntutan dalam menggunakan kewenangan penghentian penuntutan dengan alasan demi hukum yang sifatnya harus terbatas, dan tidak dapat diperluas sesuai kepentingan sepihak.

Putusan MA
Pertimbangan hukum lain yang menarik dikemukakan, pertimbangan yang tegas membela putusan MA atas kasus dimaksud yang telah eksplisit disebut dalam diktum putusan MA. Putusan itu menyatakan memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melakukan pengobatan sampai sembuh atas biaya negara untuk selanjutnya setelah sembuh dihadapkan ke persidangan.

Tindakan itu sudah tepat karena putusan MA tidak dapat disimpangi surat lainnya. Karena itu, pertimbangan praperadilan tidak menyentuh surat berupa fatwa dalam bentuk surat Ketua MA No KMA/865/KU/2001 tanggal 11 Desember 2001 yang potensial ditafsirkan tidak sepenuhnya sejalan dengan putusan MA.

Belum berakhir
Putusan praperadilan yang baru saja diputuskan Ketua PN Jaksel sebagai hakim tunggal peradilan, belumlah akhir segala polemik dalam kasus Soeharto. Tantangan yang harus diselesaikan, bukan sekadar perdebatan pasal-pasal prosedural untuk membawa atau dapat-tidaknya terdakwa dibawa ke persidangan. Mungkin baik, lebih dulu ditetapkan, apa politik hukum yang harus dikedepankan atas kejahatan korupsi yang dikualifikasi sebagai extra ordinary crime.

Apakah kondisi kesehatan yang unfit bisa mengalahkan rasionalitas tuntutan keadilan dan melepaskan terdakwa dari tanggung jawab hukum, padahal penjelasan Pasal 154 (4) KUHAP menyatakan kehadiran terdakwa di sidang merupakan kewajiban terdakwa, bukan haknya.

Pengalaman Korea Selatan mengajarkan, mewujudkan supremasi hukum dan melakukan tindakan politik yang memberi konsesi pimpinan yang bersalah untuk tidak menjalankan hukuman di tahanan. Dengan demikian dapat didamaikan dua kepentingan, menegakkan keadilan sekaligus memberi penghormatan yang proporsional pada pemimpin yang pernah berjasa.

Bambang Widjojanto Pengamat dan Praktisi Hukum

Tulisan ini disalin dari Kompas, 21 Jun 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan