Ke Mana Rekening Gendut Polri?
Laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang diungkap ke publik akan keberadaan rekening gendut sejumlah petinggi Polri tidak menemukan penyelesaian apa pun.
Klarifikasi yang disampaikan ke hadapan publik (16/7/2010) seolah-olah menjadi penyelesaian dan pembenaran sepihak Polri akan keberadaan rekening tersebut. Hasil ini dianggap final oleh Kapolri dan tidak akan berlanjut ke arah penyelidikan.
Jamak diketahui, keberadaan sejumlah uang di rekening petinggi Polri atas alasan apa pun tetap dicurigai bermasalah karena rekening gendut itu tidak sepadan dengan profil seorang petinggi Polri. Apalagi pemeriksaan yang dilakukan secara tertutup oleh internal Polri dan penolakan intervensi pihak luar semakin meyakinkan bahwa rekening tersebut memang bermasalah.
Kecurigaan publik semakin memuncak manakala klarifikasi yang disampaikan hanya sebatas menyatakan bahwa sebanyak 17 rekening dianggap wajar dan sisanya masih diteliti. Tidak ada penjelasan mengapa rekening tersebut dianggap wajar, dan ketika publik meminta penjelasan apa yang menjadi kriteria kewajaran dimaksud Polri justru berlindung di balik UU Pencucian Uang yang mengatur tentang kerahasiaan informasi tertentu.
Sejumlah petinggi Polri yang memiliki rekening gendut pun angkat bicara, keberadaan uang itu dianggap wajar, walaupun diketahui aliran dana berasal dari beberapa pengusaha. Tafsir kewajaran ini nyaris membuat publik semakin yakin institusi Polri memang resisten dalam upaya pemberantasan korupsi di lembaga pengayom masyarakat ini.
Peter Verhezen (2009) mengungkapkan ambiguitas pemberian hadiah, di satu sisi ini bentuk penghargaan dalam pergaulan sosial, tetapi pada sisi yang lain akan mengarah kepada praktik suap jika melibatkan pejabat publik di dalamnya. Pemberian hadiah sebagai bentuk penghargaan sosial dalam masyarakat telah menjadi budaya, misalnya dalam pesta pernikahan, pesta adat, maupun bentuk kegiatan lain. Dalam filsafat hadiah tidak dapat dimungkiri, pemberian hadiah akan membuat penerima memiliki rasa untuk membalas di kemudian hari (reciprocity).
Jika dikaitkan dengan pemberian sesuatu kepada pejabat publik, diakui atau tidak akan memunculkan rasa untuk melakukan sesuatu kepada si pemberi. Praktik semacam ini akan semakin mengkhawatirkan jika ”balas budi” pejabat publik dikaitkan dengan kewenangan yang melekat pada jabatannya. Jika ini terjadi, maka di sinilah peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik.
Dalam konteks hukum, pemberian sesuatu kepada pejabat publik menurut UU 31/1999 jo UU 20/2001 dikategorikan sebagai suap, bahkan menjanjikan sesuatu saja sudah dapat dianggap suap. Tidak ada ruang untuk menginterpretasikan, pemberian hadiah kepada pejabat publik adalah sebuah kewajaran.
Jika saja pemerintah konsisten dengan penegakan hukum, seharusnya keberadaan ”rekening gendut” diproses hukum karena memang terindikasi korupsi. Penyelesaian secara internal sama sekali tidak memberikan penyelesaian hukum karena proses maupun hasilnya tidak memberikan kepastian hukum apa pun.
Pidato kosmetik
Pidato SBY (16/8/2010) mengungkapkan pentingnya pemberantasan praktik korupsi di lingkungan birokrasi negara, termasuk kolusi yang melibatkan pejabat negara dan pengusaha yang nyata-nyata melanggar hukum. SBY mencoba tidak jujur dalam melihat situasi bangsa hari ini, terutama menyangkut institusi Polri. Padahal, banyak peristiwa menggambarkan memang ada masalah di tubuh Polri.
Sebut saja kasus kriminalisasi pimpinan KPK, dugaan rekayasa kasus Gayus Tambunan, sampai kasus kepemilikan rekening gendut oleh beberapa petinggi Polri. Bahkan indikasi kebohongan Polri akan keberadaan rekaman pembicaraan antara Ary Muladi dan Ade Rahardja dalam kasus Anggodo Widjojo begitu membuat publik semakin miris.
Dalam beberapa kesempatan kita menyaksikan Presiden terkesan tidak tegas memerintahkan kepada Kapolri untuk menyelesaikan kasus itu secara hukum. Pernyataan Presiden pun hanya jadi semacam imbauan sehingga terkesan basa-basi.
Sikap abai SBY akan kondisi ini sangat tidak konsisten dengan apa yang disampaikannya dalam pidato. Presiden sebagai pemimpin pemerintahan seharusnya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas semua kasus yang menghinggapi Polri, termasuk kasus kepemilikan rekening gendut. Pidato hanya akan menjadi ”kosmetik” pelengkap dalam pencitraan yang biasa dilakukannya jika SBY tidak serius menyelesaikan kasus ini dengan membawa ke proses hukum.
Sejujurnya kita tidak ingin kasus rekening gendut ini menguap dan sengaja dibiarkan hilang seperti kasus Bank Century yang telah tenggelam (Kompas, 31/5/2010). Jika ini terjadi, maka reformasi terhadap institusi Polri yang telah dimulai 11 tahun yang lalu akan menemui kegagalan yang sama karena kelalaian Presiden.
Reza Syawawi Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency Internasional Indonesia
Tulisan ini disalin dari Kompas, Senin, 23 Agustus 2010 | 08:46 WIB