Kebablasan Hakim Tipikor

Mengejutkan! Dalam persidangan kasus suap dengan terdakwa Harini Wijoso, Rabu (26/4), majelis hakim tindak pidana korupsi menolak permintaan jaksa untuk menghadirkan Bagir Manan, Parman Suparman, dan Usman Karim sebagai saksi.

Dalam penegakan hukum, penolakan hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) tidak saja menyimpangi prinsip equality before the law, tetapi juga potensial mengaburkan kebenaran materiil pengungkapan kasus suap yang terjadi di tubuh Mahkamah Agung (MA). Tidak hanya itu, sikap hakim tipikor tersebut menambah daftar kontroversi yang terjadi di sekitar kasus ini.

Sebelumnya, ketika kasus yang melibatkan banyak kalangan internal MA ini terungkap, Bagir Manan sempat menolak diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pemeriksaan terhadap Ketua MA itu baru dapat dilakukan setelah ada pertemuan segi tiga antara Presiden Yudhoyono, Ketua MA Bagir Manan, dan Ketua KPK Taufikurrahman Ruki.

Ketika hakim tipikor menolak permintaan jaksa, pertanyaan mendasar yang patut dikemukakan: cukup kuatkah (secara hukum) alasan menolak kehadiran Bagir Manan, Parman Suparman, dan Usman Karim sebagai saksi? Lalu, langkah apakah yang harus dilakukan jaksa dalam menghadapi penolakan tersebut?

Tidak kuat
Dalam proses penyelesaian kasus pidana, pelimpahan perkara ke pengadilan disertai dengan dakwaan jaksa. Dengan pelimpahan itu, beban pembuktian berada di tangan jaksa. Untuk itu, selama proses persidangan, jaksa akan mengemukakan semua alat bukti yang mendukung dakwaan jaksa. Dari semua alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), keterangan saksi berada pada urutan pertama.

Menyadari posisi keterangan saksi, dalam proses persidangan kasus suap dengan terdakwa Harini Wijoso (pengacara Probosutedjo), jaksa KPK mengajukan permohonan untuk meminta kesaksian Bagir Manan. Menurut Jaksa KPK Khaidir Ramli, kesaksian Bagir Manan (dan Parman Suparman serta Usman Karim) diperlukan. Alasannya, dalam dakwaan jaksa terungkap adanya pertemuan antara Harini Wijoso dan Bagir Manan.

Setelah melalui perdebatan, majelis hakim tipikor sampai pada kesimpulan, jaksa penuntut umum tidak perlu menghadirkan Bagir Manan. Argumentasi hakim tipikor: kasusnya sudah terputus, jadi tidak ada kaitannya saksi-saksi itu dihadirkan (Kompas, 27/4). Masalahnya, apa yang dimaksud dengan kasusnya sudah terputus sehingga hakim berani mengatakan bahwa tidak ada kaitan saksi yang diajukan jaksa dengan terdakwa Harini Wijoso.

Dengan adanya keberanian menyatakan bahwa tidak ada kaitan saksi untuk dihadirkan, hakim tipikor telah mengingkari prinsip beban pembuktian berada di tangan jaksa. Kalau ditelusuri lebih jauh, jaksa pasti lebih banyak mengetahui fakta hukum karena mereka sudah mendalami kasus tersebut dari awal. Dalam bahasa yang sederhana, penolakan terhadap saksi yang diajukan jaksa potensial mengaburkan fakta hukum yang telah terungkap sejak proses penyidikan.

Argumentasi hakim makin melemah dengan menyandarkan penolakan pada Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 1985 tentang Seleksi terhadap Saksi-saksi yang Diperintahkan untuk Hadir di Sidang Pengadilan (SEMA No 2/1985). Kalau dibaca dengan teliti, SEMA No 2/1985 tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menolak saksi yang punya kaitan langsung dengan perkara yang sedang disidangkan.

Paragraf pertama SEMA No 2/1985 menyatakan, hakim dapat membatasi jumlah saksi di depan sidang pengadilan kalau berdampak pada pemborosan penggunaan keuangan negara sehingga asas peradilan yang sederhana, cepat, dengan biaya yang ringan tidak terlaksana. Di samping itu, pembatasan juga dapat dilakukan kalau penyelesaian perkara akan berlangsung tidak efisien.

Dengan menggunakan SEMA No 2/1985, argumentasi hakim tipikor terkesan mengada-ada. Dikatakan demikian, sulit untuk dibuktikan bahwa saksi yang diajukan jaksa KPK akan menimbulkan pemborosan terhadap keuangan negara atau menyebabkan proses persidangan berlangsung tidak efisien. Kalau tidak ada perubahan, bukan tidak mungkin penolakan hakim yang justru akan mengganggu proses peradilan yang cepat dan efisien sehingga kebenaran materiil tidak tercapai.

Di samping itu, argumentasi menggunakan SEMA semakin menghilangkan wibawa KUHAP. Pasal 160 Ayat (1) Huruf c KUHAP menegaskan: Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa, penasihat hukum, atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.

Berdasarkan ketentuan itu, KUHAP mewajibkan hakim untuk mendengar keterangan saksi yang diajukan jaksa penuntut umum. Artinya, hakim tipikor semakin kehilangan argumentasi untuk menolak saksi karena nama yang diajukan tercantum dalam berkas acara yang dilimpahkan ke pengadilan. Dengan demikian, dengan menolak kehadiran saksi (apalagi kalau diyakini jaksa termasuk saksi kunci), hakim dapat dikatakan berupaya menyembunyikan peluang munculnya kebenaran materiil.

Ajukan lagi
Sekalipun hakim tipikor telah menolak Bagir Manan (dan Parman Suparman serta Usman Karim) sebagai saksi, jaksa KPK tidak boleh menyerah. Kalau berhenti sampai di situ, penilaian Trimedya Panjaitan bahwa jaksa penuntut umum kurang gigih untuk memperjuangkan dihadirkannya Bagir Manan sebagai saksi (Kompas, 28/4) bisa jadi benar.

Oleh karenanya, jaksa KPK semestinya mencoba mengajukan kembali. Landasan hukum untuk mengajukan kembali amat kuat. Pasal 160 Ayat (1) Huruf c KUHAP tidak melarang untuk mengusulkan ulang nama yang telah pernah diajukan. Pengajuan itu dapat dilakukan selama berlangsungnya sidang dan sebelum vonis hakim.

Yang perlu diperhatikan, bagaimana membangun argumentasi hukum sehingga hakim tidak punya pilihan lain kecuali mengabulkan permintaan jaksa. Sekiranya dengan argumentasi yang kuat dan bernas masih ditolak, maka hakim tipikor dapat dikatakan kebablasan karena gagal menghentikan proses hukum yang memihak kepada penguasa.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Tulisan ini disalin dari Kompas, 1 Mei 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan