Keharusan Transparansi BUMN

Koran Tempo edisi Rabu, 13 Juni 2007, memuat pendapat Arya Gunawan, yang mengatakan agar badan usaha milik negara tidak dikecualikan dari cakupan Undang-Undang tentang Kebebasan Memperoleh Informasi (KIP).

Pendapat itu muncul karena--dalam tulisan tersebut dijelaskan--ada upaya sebaliknya dari sebagian pihak, yaitu di samping untuk mengubah judulnya menjadi Keterbukaan Informasi Publik, untuk mengecualikan BUMN dari undang-undang itu. Alasan pengecualian ini adalah BUMN (dan badan usaha milik daerah) adalah entitas bisnis, sedangkan UU KIP adalah entitas politik. Juga karena sudah ada perangkat hukum/peraturan terkait (di antaranya UU Pasar Modal), yang dianggap sudah cukup banyak menampung rambu-rambu guna menjamin transparansi BUMN.

Keterbukaan atau transparansi merupakan salah satu parameter penting dari budaya kepemerintahan yang baik, yang telah memicu perubahan besar-besaran dalam penataan negara kita melalui reformasi. Perubahan itu mencakup kehidupan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, dan penerapan hukum, dengan meletakkan peran publik secara proporsional untuk melakukan kontrol sosial atas penyelenggaraan birokrasi. Badan usaha milik pemerintah adalah organ yang secara nyata merupakan persinggungan langsung antara wilayah birokrasi dan wilayah publik. Badan ini mewadahi pemenuhan hak-hak publik atas pemanfaatan dan perlindungan berbagai sumber daya alam (natural resources) ataupun buatan manusia (manmade) yang strategis agar tidak sepenuhnya dikelola dengan pendekatan murni bisnis serta untuk bidang-bidang yang penting bagi publik tapi tidak diminati atau terlalu berat ditangani swasta. Kewenangan negara atas sumber-sumber daya strategis itu harus dibaca sebagai kewenangan publik dan kepemilikan pemerintah atas badan usahanya mewakili publik. Sebagai persinggungan kedua wilayah--pemerintah dan publik--transparansi dari badan ini dapat dilihat sebagai pantulan budaya perusahaan (corporate culture) yang sekaligus bisa mencerminkan budaya kepemerintahan yang baik (good governance).

Terkait dengan aspek keuangan, transparansi tidak semata diperlukan untuk menghindari diperasnya dana-dana (seperti yang sudah menjadi rahasia umum, terjadi di BUMN basah), tapi sangat penting pula agar publik bisa memberi masukan nyata mengenai kemungkinan pemupukan dana apabila badan usaha milik pemerintah menghadapi masalah keuangan. Contohnya, BUMN yang dekat dengan bidang audiovisual yang saya geluti adalah Perum Produksi Film Negara yang diketahui miskin dana dibanding program yang menjadi tanggung jawabnya.

Tidak jarang pula diberitakan bahwa sejumlah BUMN yang besar dan terkenal basah ternyata mengalami masalah keuangan. Posisinya sebagai sapi perah antara lain karena pemerintah, untuk kelancaran tugasnya, sering kali perlu melakukan fast track, yang tidak memungkinkan pencairan dana melalui standard operation procedure birokrasi yang butuh waktu. Contohnya, untuk penanganan bencana alam, kecelakaan, dan ancaman keamanan yang tidak terduga, yang bisa memberikan dampak musibah berantai menjadi besar atau dahsyat sehingga perlu ditangani secara cepat. Tapi, tanpa adanya transparansi, bagaimana publik bisa memberikan second opinion untuk jalan keluar?

Di samping badan-badan usaha milik pemerintah yang menjadi sumber dana-dana taktis, yang terakhir ini terkuak adanya ribuan rekening liar yang membuat makin tidak percayanya publik terhadap lembaga birokrasi. Keterbukaan mengenai hal ini semestinya menjadi momentum untuk sekaligus membuka semua borok, tidak semata menyudutkan satu mantan menteri yang terkesan ketiban sial dari ribuan keliaran itu. Tentu saja pandangan ini bertitik tolak dari kebutuhan birokrasi yang sehat, yang mendukung kepemerintahan yang baik. Jadi jelas, tidak termasuk di dalamnya kebutuhan-kebutuhan dana untuk pribadi, kelompok, dan partai, seperti yang terungkap, antara lain, dalam proses pengadilan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan dan banyak kasus BUMN yang telah diutarakan Arya Gunawan.

Publik perlu diberi pemahaman yang utuh bahwa birokrasi melakukan semua kegiatan dengan uang rakyat. Apabila ada keterbukaan, rakyat sebagai pemilik uang pasti bisa mengerti pentingnya dana-dana taktis untuk kelancaran operasional kepemerintahan, sepanjang dapat dipahami secara jelas bahwa pada akhirnya hal itu kembali untuk kepentingan rakyat. Sistem keuangan kemudian tentunya bisa didukung dengan peraturan hukum tentang SOP yang memungkinkan cash flow secara tepat waktu. Namun, apabila tertutup, sekalipun semua ketentuan pembukuan rapi dan akuntabilitas sudah dipenuhi, hal itu akan tetap mengundang buruk sangka sehingga menambah ketidakkepercayaan rakyat kepada pemerintah.

Sudah sangat cukup parade kenyataan di depan mata yang menunjukkan bahwa kepemerintahan yang baik dari birokrasi belum berjalan sebagaimana mestinya. Berbagai alasan untuk menghindari transparansi sama dengan membodohi publik. Keterbukaan informasi yang dipandang sebagai entitas politik harus bertolak dari pengertian politik tidak dalam arti sempit, tapi mencakup penataan negara secara luas, meliputi semua aspek kehidupan kita.

Di samping itu, suatu kewajaran apabila UU KIP memuat rambu-rambu yang tercakup pula dalam undang-undang lainnya, seperti UU Pasar Modal. Banyak undang-undang yang saling terkait dan masing-masing tetap memiliki lingkup penekanan sesuai dengan bidang yang menjadi pokok pengaturannya. Contohnya, UU Perairan dengan UU Lingkungan Hidup dan dengan RUU Persampahan yang sedang dalam proses. Ketiganya sama-sama memuat ketentuan tentang perlindungan sumber-sumber daya alam, termasuk air. UU Lingkungan Hidup dengan UU Kehutanan sama-sama memuat ketentuan perlindungan sumber daya hutan, dan sebagainya.

Melalui keterbukaan informasi badan-badan usaha milik pemerintah sekaligus akan dapat ditumbuhkan kondisi yang mewadahi parameter lainnya dari kepemerintahan yang baik, yaitu akuntabilitas, partisipasi publik, profesionalisme, wawasan ke depan, penegakan hukum, daya tanggap, kesetaraan, dan pengawasan, termasuk pula parameter efisiensi dan efektivitas yang terkait langsung dengan tanggung jawab atas pengelolaan uang rakyat. Pemberdayaan birokrasi dengan demikian dapat berjalan seiring dengan pemberdayaan publik, yang tampaknya masih kurang diperhitungkan sebagai potensi yang besar oleh pemerintah. Arogansi itu justru akan menjerumuskan pemerintah sendiri pada tudingan sebagai satu-satunya sumber penyebab berbagai ketimpangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Budiyati Abiyoga, PRODUSER FILM

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 30 Juni 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan