Kejagung Buka Lagi Kasus Cessie Rp 546 M; Mantan Gubernur BI Syahril Sabirin Kaget

Skandal korupsi kasus Bank Bali Rp 904,64 miliar dibuka lagi. Kejaksaan Agung kini mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang membebaskan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Syahril Sabirin dan Dirut PT Era Giat Prima (EGP) Djoko S. Tjandra.

PK juga diajukan atas putusan kasasi yang menghukum empat tahun penjara kepada mantan Wakil Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Pande Nasorahona Lubis.

Melalui PK, Kejagung berharap agar barang bukti berupa dana hak tagih (cessie) Rp 546 miliar dikembalikan kepada negara. Saat kasus Syahril diputus pada 8 Maret 2004, dana cessie tersimpan di rekening penampung (escrow account) Bank Permata (hasil merger Bank Bali).

Pada 8 Oktober 2004, Bank Permata dijual ke konsorsium Standard Chartered (Stanchart) dan PT Astra International Tbk. Nah, dengan penjualan tersebut, praktis dana cessie dimiliki konsorsium itu.

Sekretaris JAM Pidana Khusus (Sesjampidsus) Kemas Yahya Rahman optimistis, jika PK dikabulkan, dana cessie dapat dikembalikan untuk negara meski asing ikut memiliki saham Bank Permata. Siapa pun pemilik Bank Permata, dia harus mengembalikan dana cessie tersebut. Itu uang negara, tegas Kemas dalam jumpa pers memperingati HUT Adhyaksa di gedung Kejagung kemarin.

Menurut Kemas, PK diajukan setelah MA dianggap tidak konsisten menyikapi barang bukti dalam kasus Bank Bali. MA tidak menjelaskan (dana cessie) itu uang siapa, ujar jaksa yang ditunjuk Presiden SBY menjadi JAM Pidana Khusus (Pidsus) itu.

Kemas lantas membeber satu per satu kejanggalan putusan tersebut. Dalam kasus dengan terdakwa Djoko S. Tjandra, MA menolak kasasi jaksa. MA menguatkan putusan PN Jaksel pada 28 Agustus 2000 bahwa Djoko bebas dari segala tuntutan hokum. Barang bukti berupa dana cessie dikembalikan untuk terdakwa (Djoko), kata Kemas. Namun, MA menghukum terdakwa Pande Lubis empat tahun. Sedangkan status dana cessie tidak diputus.

Untuk terdakwa Syahril, MA menguatkan putusan bebas Pengadilan Tinggi (PT) DKI. MA juga memerintah jaksa mengembalikan dana cessie ke escrow account pada Bank Bali atas nama PT EGP, jelas mantan kepala Kejati Jambi itu. Dana cessie masih tersimpan di Bank Permata. Kejaksaan ngotot bahwa uang itu milik negara, meski Djoko selalu mendesak Kejari Jaksel untuk mencairkan untuk PT EGP.

Kasus dana cessie ini bermula dari piutang Bank Bali di Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) sebesar Rp 598 miliar dan Bank Umum Nasional (BUN) Rp 200 miliar. Pada 11 Januari 1999, Bank Bali dan PT EGP (yang mengaku bisa menarik kembali dana tersebut), lantas membuat perjanjian pengalihan hak tagih piutang.

Pada 3 Juni 1999, BPPN menginstruksikan transfer dana dari rekening Bank Bali di Bank Indonesia (BI) ke sejumlah rekening senilai Rp 798 miliar secara bersamaan (Rp 404 miliar ke rekening PT EGP di Bank Bali Tower, Rp 274 miliar ke rekening Djoko S. Tjandra di BNI Kuningan, dan Rp 120 miliar ke rekening PT EGP di BNI Kuningan).

Setelah tagihan itu cair, PT EGP menyurati BPPN bahwa permintaan agar kewajiban BUN kepada Bank Bali Rp 204 miliar dan bunga Rp 342 miliar (total Rp 546 miliar) dibayarkan kepada PT EGP. Selanjutnya, uang Rp 546 miliar tersebut menjadi fee PT EGP yang berhasil mengalihkan piutang. Namun, karena kasusnya mencuat dan Djoko S. Tjandra diadili, PT EGP menaruh duit tersebut di escrow account Bank Bali.

Syahril juga ikut diadili dalam kasus tersebut. Sebab, transfer dana ke rekening Bank Bali di BI tidak termasuk program penjaminan pemerintah sehingga negara dirugikan Rp 904,64 miliar.

Kasus dana cessie Bank Bali bertabur bintang. Selain ketiga terdakwa, diduga ada keterlibatan mantan Men Pemberdayaan BUMN Tanri Abeng, pejabat BI Erman Munzir, mantan Bendahara Partai Golkar Satya Novanto, dan mantan Dirut Bank Bali Rudy Ramli.

Ditanya kemungkinan menyidik sejumlah nama tersebut, Kemas mengatakan, kejaksaan menunggu keluarnya putusan PK. Itu nanti saja, kata Kemas.

Di tempat terpisah, Syahril Sabirin mengatakan kaget atas rencana kejaksaan mengajukan PK. Itu kan sudah diputus pengadilan. Lantas, mengapa kejaksaan mau membuka lagi kasus tersebut, kata Syahril yang dihubungi koran ini tadi malam. Meski demikian, Syahril menyilakan kejaksaan mengajukan PK jika memang tujuannya mengejar barang bukti dana cessie.

Menurut Syahril, apa pun putusan PK kelak, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Syahril berdoa semoga Tuhan memberi petunjuk dalam kasus tersebut. Saya percaya pada kekuasaan Allah. Apa pun putusannya, saya berharap agar kejaksaan tidak menzalimi saya sebagai pihak yang tidak bersalah, jelas Syahril yang kini mengisi hari-hari tuannya di rumahnya yang asri di kawasan Cinere, Jakarta Selatan.

Syahril memastikan akan berkoordinasi dengan tim pengacara dan divisi hukum BI untuk menyikapi rencana kejaksaan mengajukan PK.(agm)

Sumber: Jawa Pos, 19 Juli 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan