Kejagung Siap Proses Obligor

Para obligor BLBI (Bantuan Likuditas Bank Indonesia) dibayangi ketidakpastian hukum. Kejagung tidak menjamin pelunasan utang para obligor BLBI di Depkeu menjadi tiket pembebasannya dari jerat hukum.

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menegaskan, para obligor masih diselidiki, apakah perolehan BLBI-nya sudah memenuhi prosedur hukum atau sebaliknya.

Apabila sudah ada pelunasan utang, bukan berarti perkara hukumnya tuntas. Mereka masih akan diselidiki kemungkinan terjadinya penyimpangan pidana, kata Arman -sapaan Abdul Rahman Saleh- dalam raker dengan jajaran Komisi III DPR (membidangi hukum) di Gedung MPR/DPR Jakarta kemarin.

Hadir dalam acara tersebut Wakil Jaksa Agung Basrief Arief, JAM Pidsus Hendarman Supandji, JAM Intelijen Muchtar Arifin, dan sejumlah pejabat eselon I Kejagung.

Pernyataan jaksa agung itu merupakan respons ketika sejumlah anggota Komisi III DPR mencecar pertanyaan seputar kelanjutan proses hukum para obligor BLBI, khususnya bagi mereka yang menyalahi prosedur dalam perolehan BLBI-nya.

Arman menyatakan, delapan obligor BLBI yang ditunggu pelunasannya di Depkeu adalah penanda tangan perjanjian kewajiban pemegang saham (PKPS) beberapa tahun silam. Sesuai Kepmenkeu, mereka telah menunggak pelunasan BLBI begitu lama.

Depkeu kini sedang menghitung nilai utang BLBI yang harus dibayar. Kewajibannya dihitung sebelum pembayaran terakhir pada akhir tahun ini, jelas mantan pengurus YLBHI yang lahir di Pekalongan ini. Dalam penghitungan disebutkan berapa kewajiban pembayarannya, berapa utang, dan berapa denda yang harus disetor akibat keterlambatan pelunasan BLBI.

Arman melanjutkan, mekanisme pelunasan BLBI kali ini berbeda seratus persen dibandingkan era pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Di era Megawati, kata Arman, jika obligor berhasil melunasi, praktis mereka akan memperoleh SKL (surat keterangan lunas) yang bisa dijadikan rujukan kejaksaan mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Setelah lunas, mereka harus datang ke kejaksaan. Itu yang terjadi di era Megawati, jelasnya.

Mekanisme yang dilaksanakan sekarang tidak seperti itu. Menurut dia, kebijakan pelunasan tidak secara otomatis menjadi dasar penerbitan SP3. Kejaksaan perlu mengecek terlebih dahulu. Kalau tidak ada unsur pidananya, setelah pelunasan bisa langsung diterbitkan SP3. Kalau ada unsur pidana, baru diberi deponering, ujar Arman. Deponering adalah kewenangan jaksa agung dalam penghentian penyidikan dan penuntutan sebuah perkara demi kepentingan umum.

Ditanya apakah kejaksaan sudah menerima laporan Depkeu terkait pelunasan delapan obligor, Arman menegaskan belum. Menurut dia, kejaksaan menyerahkan sepenuhnya kepada Depkeu terkait teknis pelunasan BLBI. Kami menunggu hingga akhir 2006. Jika mereka tidak kooperatif alias tidak membayar, tentu kami akan memproses hukum, ujarnya.

Sekadar mengingatkan, pemerintah akan memberikan fasilitas deponering (pengabaian perkara hukum) terhadap delapan obligor jika kooperatif mengikuti program pengembalian BLBI di Depkeu. Mereka adalah Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Atang Latif (Bank Indonesia Raya), James Januardy (Bank Namura Internusa), Adi Saputra Januardy (Bank Namura Internusa), dan Omar Putirai (Bank Tamara). Berikutnya, Lidya Muchtar (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multi Karsa), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Bank Istimarat). (agm)

Sumber: Jawa Pos, 23 Mei 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan