Kekayaan Minyak Jadi Kutukan; Korupsi Mirip dengan Penjarahan

Lebih dari 500 praktisi perminyakan dan pertambangan di Oslo, Selasa (17/10), mencari jalan dalam rangka mengubah sumber daya alam dari kutukan menjadi berkah. Pasalnya, sebagian besar dari 3 miliar warga miskin dunia justru hidup di negara-negara yang kaya sumber daya alam.

Pertemuan itu bertajuk Menjadikan Transparansi sebagai Norma Global. Dalam pertemuan itu hadir Presiden Bank Dunia Paul Wolfowitz dan menteri dari sekitar 40 pemerintahan, lembaga-lembaga internasional, organisasi-organisasi perminyakan, dan berbagai organisasi nonpemerintah.

Jika Anda mengamati pengalaman umum berbagai negara dalam soal ini, yakni kepemilikan sumber daya alam, saya kira wajar jika dikatakan bahwa itu merupakan kekayaan yang diperoleh dengan cuma-cuma. Namun, sayang, hal itu lebih sering menjadi kutukan (curse) ketimbang berkah (blessing), kata Wolfowitz.

Menurut estimasi Bank Dunia, penyebab utama kemiskinan adalah korupsi. Setiap tahun terjadi kerugian sebesar 1.000 miliar dollar AS di seluruh dunia karena korupsi.

Pemborosan akibat korupsi lebih dari sekadar pemborosan sumber daya (alam). Sebab, korupsi merusak perekonomian lokal dan memberi dampak berupa demoralisasi pada masyarakat. Dalam kondisi yang paling buruk, korupsi bahkan bisa membuat pemerintah menjadi penjarah serta memicu pecahnya perang saudara dan kekacauan sosial, papar Wolfowitz.

Wolfowitz menyebut Liberia contoh dari negara di mana sumber daya alam menjadi kutukan. Perdagangan berlian asal Liberia telah memicu terjadinya dua kali konflik berdarah.

Dalam konferensi yang ketiga, kelompok Inisiatif Transparansi Industri Pertambangan (Extractive Industries Transparency Initiative/EITI) juga membicarakan berbagai sumber mineral yang masih tersedia.

Meski terdapat berbagai sumber daya alam yang melimpah, dalam kurun waktu 25 tahun, jumlah mereka yang hidup dalam kondisi kemiskinan ekstrem di Afrika sub-Sahara telah meningkat dua kali lipat hingga mencapai 300 juta jiwa.

Diperkirakan, dalam tiga dekade terakhir, Afrika telah menangguk keuntungan dari minyak sampai sebesar 500 miliar dollar AS. Namun, sangat sedikit uang itu digunakan untuk membantu rakyat miskin, kata Wolfowitz.

Peningkatan transparansi
Secara umum diketahui, Norwegia merupakan satu-satunya negara kaya sumber energi yang yang tak punya masalah korupsi dan kemiskinan. Norwegia juga dipuji karena telah melakukan pembagian yang adil atas hasil minyak dan gas.

Di negara Skandinavia itu, yang merupakan negara pengekspor minyak terbesar ketiga di dunia, pemerintah telah menghimpun dana pensiun dalam jumlah yang luar biasa besar. Semua itu didapatkan dari kekayaan minyak. Namun, negara yang berkelakuan baik itu pun tak sepenuhnya terbebas dari persoalan. Maskapai perminyakan Statoil, yang 70,9 persen sahamnya dikuasai Norwegia, Jumat lalu, mengungkap, pihaknya terpaksa menyuap sejumlah pejabat untuk mengamankan akses ke pasar minyak Iran.

Para delegasi peserta konferensi juga memuji Nigeria, negara produsen minyak terbesar di Afrika, karena usahanya mengurangi korupsi yang melibatkan petro-dolar.

Saya kira, jumlah kerugian yang sebenarnya jauh lebih besar dari 1 triliun dollar AS, kata Peter Eigen, pendiri organisasi nonpemerintah Transparency International. Kerugian yang riil adalah salah kelola (mismanagement) di bidang ekonomi, salah kelola dalam program investasi berbagai negara, yang memicu merebaknya kemiskinan, penderitaan, konflik, dan terorisme, katanya.

Untuk menumpas masalah ini, para peserta konferensi EITI sepakat untuk secara sukarela mengambil berbagai langkah guna meningkatkan transparansi di sektor minyak, gas, dan pertambangan lain. (AFP/AP/muk)

Sumber: Kompas, 18 Oktober 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan