Kekuasaan Kehakiman; Independensi Hakim Versus Loyalitas Bawahan

Hari-hari ini, mungkin hari yang menyesakkan bagi tiga hakim ad hoc Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, I Made Hendra Kusumah, Dudu Duswara, dan Achmad Linoh. Betapa tidak, hukum ternyata mudah dibolak-balik. Kebenaran dan ketidakbenaran menjadi wilayah abu-abu yang mudah dijungkirbalikkan.

Dengan dalih berhalangan hadir, Ketua Pengadilan Khusus Tipikor Cicut Sutiarso mengganti ketiga hakim ad hoc ini. Landasannya adalah Pasal 198 KUHAP, karena ketiga hakim ini berhalangan menghadiri sidang, maka mereka dinilai Cicut layak diganti. Penetapan ini dikeluarkan Cicut setelah melakukan hubungan intensif dengan Mahkamah Agung.

Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas mengaku terperanjat. Mengapa tidak dilihat alasan mereka keluar dari ruang persidangan? Mengapa yang diganti hanya mereka bertiga, bukan seluruh majelis atau ketua majelis yang melanggar KUHAP, tegasnya.

Perang prinsip antara tiga hakim ad hoc dan dua hakim karier mempertontonkan kepada publik apa makna independensi hakim dan apa makna loyalitas seorang bawahan. Ketiga hakim ad hoc menyetujui ketua majelis kasasi Probosutedjo, Bagir Manan, dihadirkan sebagai saksi. Dengan dua argumen kuat, Pasal 160 KUHAP dan nama Bagir ada dalam dakwaan.

Terlepas dari itu semua, siapakah mereka itu? Made Hendra datang jauh dari Singaraja Bali, meninggalkan keluarga dan pekerjaannya sebagai notaris. Dudu juga meninggalkan istri dan anaknya di Bandung, hanya sebuah keinginan sederhana, ingin ikut berkiprah memperbaiki wajah peradilan. Achmad Linoh yang tertua di antara mereka meninggalkan keluarga dan pekerjaannya di Jember.

Mulai awal mereka bekerja, segudang halangan muncul. Mulai dari gaji yang tidak turun hingga mereka terpaksa makan tabungan, bahkan diusir dari apartemen Kemayoran oleh mantan Kepala Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan upaya sendiri dan rajin mendatangi pihak yang berwenang, termasuk pejabat Sekretariat Negara, akhirnya mereka memperoleh tempat berteduh, di Apartemen Kemayoran.

Mereka mulai mendapatkan gaji Rp 8,5 juta sebulan, jauh di bawah penghasilan mereka sebelum menjabat sebagai hakim. Namun, mereka menerima tanpa mengeluh. Mereka berupaya untuk bisa cukup dengan gaji yang mereka peroleh, salah satu kiatnya memasak sendiri.

Kendaraan dinas yang seharusnya mereka peroleh, tidak kunjung diberikan. Bahkan kendaraan dinas itu digunakan mantan Kepala Pengadilan Negeri Jakpus. Mereka terpaksa menumpang mobil Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebab jika tidak, mereka harus bergelantungan di bus kota dan bergonta-ganti bus. Setelah mendapat kritik, dua tahun kemudian ketiga hakim ad hoc ini mendapat kendaraan dinas. Kami lebih baik rewel dibandingkan harus disuap koruptor, kata Dudu.

Ketiga hakim ini kembali menghadapi problem saat menangani perkara suap di tubuh MA. SMS berisi cercaan atas langkah yang mereka ambil pun bertubi-tubi menyerang mereka. Kami kini bukan saja besi, melainkan kami sudah menjadi baja, kata Linoh.

Padahal, blunder ini bermula dari keinginan mereka yang sederhana. Keinginan agar diajak musyawarah oleh ketua majelis. Mereka kini dipersalahkan pimpinan peradilan, dianggap melalaikan kewajiban mereka bersidang. Tidak satu pun pimpinan peradilan yang ingin mendengar alasan mengapa mereka keluar dari ruang persidangan.

Bagaimana mereka memaknai peristiwa yang mereka alami ini? Made mengatakan, Kami ini tidak menghamba pada siapa pun. Kami tidak menghamba pada segelintir orang, kami hanya ingin hakim menjadi sebuah profesi yang independen. Hakim tidak digaji MA, hakim digaji negara. Seorang hakim harus benar-benar independen dan mandiri.

Sebagai seorang yang berasal dari luar dunia peradilan, ketiga hakim ad hoc ini hanya bisa berujar singkat, Kami belum bisa menembus sistem peradilan yang ada.

Sinyalemen yang dilontarkan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas akan adanya kultur feodalisme dalam dunia peradilan, dengan pola patron-klien di mana atasan masih begitu berkuasa kepada bawahan, hal ini pun sulit ditampik.

Problemnya, kata Made, karena infrastruktur peradilan belum diperbaiki. Hakim masih terlalu khawatir kariernya terhambat karena MA masih berkuasa penuh atas karier seorang hakim. Lontaran itu pernah disampaikan Sutiyono, salah seorang hakim karier tipikor, saat diperiksa Komisi Yudisial. Hati nurani saya sebenarnya setuju untuk memanggil saksi Bagir Manan, tapi bagaimana karier saya, demikian Sutiyono sebagaimana diuraikan kembali oleh Busyro Muqoddas.

Meski kini telah diganti, ketiganya tidak khawatir akan nasib mereka. Jangankan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, hidup itu kan penuh rintangan. Jabatan itu sebuah ujian, kami sama sekali tidak khawatir akan nasib kami, kata Dudu sederhana.(Vincentia Hanni)

Sumber: Kompas, 14 Juni 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan